Produk Ilegal Datang Dari China & Malaysia

BPOM Tangani 51 Kasus, Hukuman Tak Bikin Jera

Minggu, 30 September 2012, 08:53 WIB
Produk Ilegal Datang Dari China & Malaysia
ilustrasi/ist
rmol news logo Peredaran produk impor ilegal semakin merajalela di Tanah Air. Negara dirugikan miliaran rupiah.

Badan Pengawasan Obat dan Ma­kanan (BPOM) kerap mela­kukan pemusnahan obat, kos­metik dan makanan ilegal, tapi kasus peredaran barang ilegal itu tetap marak.

Selain itu rendahnya hukuman terhadap kejahatan tersebut tidak menimbulkan efek jera. Untuk ka­sus tindak pidana obat tradisio­nal tanpa izin edar saja sanksi ter­tinggi hanya pidana penjara 4 bu­lan 15 hari dan denda 50 juta sub­sider pidana kurungan 1 bulan.

Tercatat selama 2009 sampai 2011 BPOM berhasil memusnah­kan produk impor ilegal senilai Rp 2 miliar.

Barang ilegal tersebut merupa­kan hasil rampasan dari Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Ban­ten. Produk-produk tersebut tidak memenuhi standar dan persya­ratan yang ditetapkan perundang-undangan, seperti tidak terdaftar atau mencantumkan izin edar fiktif. “Itu semua produk impor ile­gal, mayoritas dari pangan dan kosmetik yang kita dapatkan dari tiga provinsi. Kalau dikumpulkan dari seluruh Indonesia pasti lebih banyak, terutama dari daerah-daerah perbatasan,” kata Kepala Pusat Penyidikan BPOM Hendri Siswadi kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, Sabtu lalu.

Produk yang dimusnahkan ter­diri  400 jenis produk pangan ile­gal dalam 600 kemasan, 429 jenis kosmetik ilegal dalam 400 ribu kemasan, 100 jenis obat ilegal da­lam 160 kemasan, dan 525 jenis obat tradisional mengan­dung ba­han kimia dalam 5.200 kemasan.

Di antara barang yang dimus­nahkan tersebut adalah ABC acai berry kapsul lunak, pegal linu pro­­no jiwo cairan obat dalam, la­baik kapsul, remasyah Produk, obat kuat dan tahan lama sarang, madu, asam urat flu tulang, raga prima asam urat, daun bidara ja­mu asam urat, neo rematik, teratai putih kapsul, penyehat badan cap ku­da laut, alfa salam batuk pilek, kupu kupu malam serbuk.

Kemudian rhemalin, jamu pil fa­natik, pil ramuan shin she me­rah delima, new anrat jamu tra­di­si­onal jaya, Jamu as syifa tum­pas, Jamu urat laga obat kuat ta­han lama, jamu as syifa izza ke­ce­thit, jamu as syifa izza ci­kungunya.

Diungkapkan, biasanya barang ilegal tersebut banyak dikirimkan dari China, Malaysia, Thailand, Fili­pina, dan Uni Eropa.

Lalu bagaimana peredaran pro­duk ilegal pada tahun ini? Hendri mengungkapkan, sampai Agustus lalu obat, makanan dan kosmetik impor ilegal yang dirampas di se­jumlah toko di Jakarta dan Ban­ten senilai setengah miliar. Se­dangkan hasil dari seluruh Indo­ne­sia, masih dalam pendataan. “Luar biasa. Sampai Agustus saja BPOM berhasil menyita produk im­por ilegal senilai Rp 500 juta dari provinsi Banten sebanyak satu perkara dan DKI Jakarta dua perkara saja," bebernya.

Toko-toko yang digeledah da­lam inspeksi mendadak itu dite­mukan hampir 70 persen itu ba­rangnya ilegal. Kami sedang me­nunggu laporan dari seluruh In­donesia, hasilnya diumumkan pada Oktober,” ujarnya.

Bila ditemukan tindak pidana dan bukti kuat dari penyidikan, ma­ka akan ditetapkan sebagai ter­­sangka. “Semuanya dalam pro jus­tisia. Besar kemungkinan akan dite­tapkan sebagai ter­sangka,” tukasnya.

Apalagi, kata dia, sepanjang 2009 sampai 2012 terjadi pening­katan penanganan perkara tindak pidana oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) BPOM di se­luruh Indonesia. Pada 2009 ber­ha­sil ditangani 174 perkara, 2010 se­banyak 190 perkara, 2011 se­banyak 239 perkara, “Jumlahnya terus meningkat. Dan sampai Juni 2012 sebanyak 48 perkara, ditam­bah dengan tiga perkara dari Ja­kar­ta dan Banten yang kesemua­nya dalam proses pro justisia,” terangnya.

Berdasarkan pengamatannya, masuknya barang impor ilegal se­makin marak saat menjelang pe­ra­yaan hari besar agama seperti Bu­lan Ramadhan, Idul Fitri dan Natal.

Momentum tersebut dijadikan ke­sempatan negara-negara te­ta­ng­­ga untuk menyelundupkan barang ilegal. “Menjelang hari ra­ya permintaan masyarakat sangat banyak. Namun BPOM terus mengantisipasi masuknya barang haram tersebut,” tukasnya.

Dijelaskan, mencermati tren peningkatan penanganan perkara tindak pidana obat dan makanan, BPOM melakukan optimalisasi pengawasan secara full spectrum meliputi pro-market evaluation, post market surveillance dan pemberian sanksi administratif dan pro justitia.

Adapun strategi yang dikem­bangkan yakni dengan melaku­kan pemutusan mata rantai supply dan de­mand. “Penegakan hu­kum se­cara konsisten dan ber­kesinam­bungan melalui kerja sa­ma secara sinergis dalam kerang­ka Integrated Criminal Justice System (ICJS) termasuk dengan melibatkan peran aktif masya­rakat,” jelasnya.

Sementara, Kepala Badan POM Lucky S Slamet menga­ta­kan, di luar barang haram yang dimus­nahkan tersebut ada yang sedang dalam proses pro justisia. “Ada beberapa hasil temuan 2012 yang sedang dalam proses secara hu­kum,” katanya.

Dikatakan, selama 2011 PPNS Badan POM telah melakukan penyi­­dikan sebanyak 239 perkara tindak pidana obat dan makanan. Dari 239 perkara tersebut, 27 per­kara telah mendapatkan putusan pengadilan. “Dengan putusan tertinggi yaitu pidana penjara 4 bulan 15 hari dan denda 50 juta sub­sider pidana kurungan 1 bulan untuk perkara tindak pidana obat tra­disional tanpa izin edar,” terangnya.

Menurutnya, BPOM melaku­kan pencegahan masuknya pro­duk obat dan makanan ke Indo­nesia dan melakukan pengama­nan pasar dalam negeri untuk me­lindungi kesehatan masyarakat dari risiko produk obat dan ma­ka­nan yang tidak memenuhi per­sya­ratan keamanan, khasiat/ke­manfaatan dan mutu.

Sedangkan dalam rangka mem­perkuat sistem pengawasan obat dan makanan, khususnya me­­mutus mata rantai pasokan dan permintaan obat dan maka­nan ilegal, BPOM melakukan koordinasi aktif dengan instansi pemerintah penegak hukum yang salah satunya melalui pemben­tukan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Obat dan Maka­nan Ilegal.

BPOM mengimbau kepada pe­la­ku usaha agar menaati pera­turan-peraturan yang berlaku ter­kait pengawasan obat dan ma­kanan. “Sedangkan untuk ma­sya­rakat di­imbau untuk tidak meng­konsumsi produk yang tidak me­menuhi stan­dar dan persya­ra­tan obat dan ma­kanan,” imbau­nya.

Omzetnya Capai Rp 8,74 Triliun

Luthfi Mardiansyah, Ketua International Pharmatceutical Manufaturers Group (IPMG)

Peredaran produk obat, ma­kanan dan kosmetik palsu dan se­lundupan sangat mengganggu in­dustri farmasi. Parahnya, per­tum­buhan penjualan obat palsu men­dekati pertumbuhan penjualan obat-obatan secara umum di dalam negeri.

Diperkirakan, obat palsu tum­buh hingga 11 persen rata-rata tiap tahunnya. Omzet peredaran obat palsu di dalam negeri pada tahun lalu diprediksi mencapai 2 persen dari total omzet pasar farmasi di dalam negeri. Dengan to­tal omzet farmasi pada tahun lalu mencapai Rp 38 triliun, maka peredaran obat palsu diperkira­kan memutarkan omzet sebesar Rp 7,6 triliun.

Untuk tahun ini, peredaran obat palsu diprediksi tetap tinggi. De­ngan target penjualan produk farmasi di dalam negeri mencapai Rp 43,3 triliun - Rp 43,7 triliun, pe­re­daran obat palsu tahun 2012 di­prediksi sebesar Rp 8,6 triliun hingga Rp 8,74 triliun.

Obat palsu sendiri adalah obat yang dipro­duksi pihak yang tidak berhak ber­dasarkan pera­turan pe­rundang-undangan yang berlaku atau produk obat dengan penan­da­an yang meniru identitas obat lain yang telah memiliki izin edar. Se­hingga komposisi yang ada da­lam obat palsu tidak terjamin kha­siat maupun keama­nannya.

Harga yang jauh lebih murah ketimbang obat legal menjadi pe­nyebab tingginya penjualan obat palsu. Maka tak heran bila per­sen­tase penjualan obat palsu ter­bilang tinggi. Penjualan obat pal­su ini ten­tu merugikan industri far­­masi. Omzetnya yang tinggi ten­­tu meng­u­ras omzet penjualan farma­si yang sesuai izin BPOM dan jelas membahayakan   bagi para konsumennya.

Selain itu, obat palsu yang be­re­­dar di Indonesia bukan hanya diproduksi di dalam negeri. Obat palsu impor pun banyak yang dijual di dalam negeri. Pemalsuan obat dilakukan dengan berbagai ca­ra di antaranya membuat kema­san palsu atau impor ilegal. Pro­duk obat palsu umumnya dike­mas dengan kemasan yang me­nyerupai kemasan asli.

Selain itu, peredaran obat palsu sering menggunakan kemasan obat luar negeri, namun produk­nya pal­su. Obat palsu impor mi­salnya, di­la­kukan dengan cara impor pa­ralela, yakni dengan menjual kem­bali produk ke suatu negara tanpa izin atau persetujuan dari peme­gang hak paten atau lisensi.

Kebut Pengesahan RUU Pengawasan Farmasi

Irgan Chairul Hahfiz, Ketua Panitia Khusus RUU Pengawasan Farmasi DPR

Rancangan Undang-Un­dang Pengawasan Farmasi tengah digodok DPR. Keha­di­ran undang-undang ini diharap­kan bisa melindungi masyarakat luas dari pemakaian berbagai pro­duk farmasi, ketersediaan alat kesehatan, dan perbekalan ke­­sehatan di rumah tangga de­ngan standar  mutu yang aman, ber­manfaat, sekaligus tidak mem­­beratkan. RUU ini diha­rap­kan segera disahkan tahun ini.

Saat ini memang belum ada undang-undang yang secara te­gas mengatur mengenai penga­wasan meliputi bahan obat, obat tradisional, termasuk kosmetika yang digunakan untuk perawa­tan kulit. Kehadiran undang-un­dang ini juga diharapkan mam­pu berguna bagi masyarakat. Ter­utama hak untuk menda­pat­kan mutu dan keamanan atas pro­duk kefarmasian, penye­dia­an alat kesehatan, dan perbe­ka­lan obat untuk rumah tangga.

Sejauh ini, hasil temuan BPOM ditemukan beragam je­nis peredaran obat palsu. Kare­na ketidaktahuan masyarakat, obat-obat itu mungkin telah dikonsumsi. Namun, sampai saat ini belum ada data jumlah ma­syarakat yang menjadi korban dari obat-obat ilegal ini.

Perdagangan obat ilegal di ta­nah air diprediksi mencapai ang­ka di atas Rp 3 triliun atau se­kitar 10 persen lebih dari se­luruh perdagangan obat yang beredar. Sementara itu, jumlah merek obat palsu atau dipal­su­kan juga tak terhitung banyak­nya. RUU Pengawasan Farmasi akan meni­tikberatkan soal pengawasan yang dilakukan pihak berwe­nang, agar terja­dinya pelangga­ran yang mem­bawa kerugian ma­syarakat dapat diatasi upaya hu­kum demi memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Peredaran Obat Palsu Perlu Juga Diawasi

Widyaretna Buenastuti, Ketua Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan

Bukan cuma obat impor ile­gal yang meresahkan ma­sya­ra­kat dan merugikan negara. Pe­redaran obat palsu di Indonesia pun sangat mengerikan. Pemal­suan obat menimbulkan risiko serius bagi kesehatan masyara­kat dan dapat menyebabkan ke­ga­galan dalam pengobatan, bah­kan hingga kematian.

Di Indonesia, pemalsuan obat tumbuh pesat dengan esti­masi omzet per tahun sebesar 200 juta dolar AS atau  sebesar 10 persen dari total pasar far­masi di Indonesia.

Apotik sebagai satu-satunya saluran resmi untuk mendapat­kan obat resep. Sedangkan toko obat hanya diizinkan menjual obat bebas (over-the-counter/OTC).  Namun, banyak obat re­sep dengan mudah diperoleh di toko-toko obat, bahkan di la­pak-lapak pinggir jalan.

Badan Pengawasan Obat dan Ma­kanan (BPOM) telah me­nye­­­but­kan, ada banyak jenis obat palsu di Indonesia, dianta­ranya obat anti infeksi, anti dia­betes dan obat disfungsi ereksi. Un­tuk meningkatkan jaminan ter­­hadap keaslian obat, dan men­dapatkan informasi yang te­pat, maka pasien dianjurkan  mem­­beli obat resep dengan cara bertemu langsung dengan apoteker.

MIAP bekerja sama dengan pa­ra pemangku kepentingan, ter­­masuk Ikatan Apoteker Indo­nesia (IAI), BPOM, dan Komite Farmasi Nasional untuk mem­per­kenalkan program sertifikasi untuk apoteker dengan tujuan memerangi pemalsuan obat dan melindungi kesehatan dan jiwa pasien.

Sanksi Tegas Importir Nakal

Husna Zahir, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia

Pemerintah mesti mem­be­ri­kan sanksi tegas kepada im­por­tir maupun ritel dalam me­nertibkan peredaran produk ma­kanan ilegal tanpa izin Ba­dan Pengawas Obat dan Maka­nan (BPOM) dan mempunyai stra­tegi terstruktur dalam meng­a­tasinya.

Strategi terstruktur yaitu ke­tika sebuah toko diinspeksi di­temukan berkali-kali produk ile­gal tanpa izin BPOM, harus diberikan sanksi tegas berupa penutupan sementara, jangan hanya menyita barangnya saja.

Selain itu, pemerintah harus mencegah masuknya produk ilegal tanpa izin edar itu masuk ke Indonesia. Untuk itu, penga­wasan di tiap pintu masuk In­do­nesia seperti pelabuhan dan bandara harus diperketat.

Pihak Bea Cukai harus lebih ke­tat memeriksa dokumen ke­leng­kapan barang impor terse­but. Salah satunya, barang ter­se­but harus sudah memiliki izin edar dari BPOM untuk me­mas­­ti­­kan keamanan makanan terse­but.

Untuk produk ilegal, agak su­­sah menindak importir kare­na ti­dak diketahui. Namun hal ini bi­sa diantisipasi dengan pe­me­rik­saan di toko tempat pen­jualan.

Masyarakat juga harus mem­­­perhatikan nomor re­gistrasi pro­duk makanan ketika mem­beli. Hal ini penting untuk menge­tahui ada atau tidaknya ijin dari BPOM.

Konsumen harus tahu bahwa sebuah produk ilegal itu tidak ada pihak yang bertanggung ja­wab ketika terjadi sesuatu. Jika hal ini terjadi, sambungnya, kon­sumen tidak bisa menuntut kepada siapapun terkait produk yang dibelinya itu.

Pentingnya legal karena pe­me­rintah yang beri izin edar dan dia yang bertanggung jawab ji­ka terjadi sesuatu serta importir­nya jelas.

Pasal 58 UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyata­kan, hukuman pidana penjara maksimal 3 tahun dan denda Rp360 juta pada pihak yang me­masukkan pangan kemasan im­por tanpa disertai label yang di­te­tapkan pemerintah.

Dalam PP No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, dinyatakan pangan ola­han yang masuk ke Indone­sia harus mendapatkan izin dari BPOM. Sedangkan PP itu se­but­kan sanksi administratif bagi pelanggar, mulai dari peringatan tertulis hingga denda maksimal Rp50 juta. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA