Alat Kesehatan Belum Lengkap Tapi Ditandatangani Rustam

Diduga Rugikan Negara Rp 22 Miliar

Sabtu, 11 Agustus 2012, 11:18 WIB
Alat Kesehatan Belum Lengkap Tapi Ditandatangani Rustam
Rustam Syarifuddin Pakaya

rmol news logo Bekas Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan Rustam Syarifuddin Pakaya didakwa merugikan keuangan negara sekitar Rp 22 miliar. Bagaimana modusnya?

Berdasarkan dakwaan jaksa penuntut umum (JPU), Rus­tam secara sendiri-sendiri mau­pun bersama-sama Direktur Uta­ma PT Graha Ismaya Masrizal Achmad Syarief, sekitar Maret 2007 sampai Desember 2008 di Kantor Pusat Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan, Ja­lan Rasuna Said, Kuningan Ja­karta Selatan, melakukan pe­ngatu­ran proses pengadaan alat kese­hatan 1 untuk kebutuhan Pusat Penanggulangan Krisis dari dana Daftar Isian Pelaksanaan Angga­ran (DIPA) Revisi APBN 2007.

Cara pengaturan itu, yakni me­ngarahkan penyusunan spe­si­fi­kasi teknis untuk pengadaan alkes 1 pada merek tertentu, me­nye­tu­jui pengadaan tanpa pe­ngu­mu­man di media cetak nasional, me­ngesahkan harga perkiraan sendiri (HPS) yang disusun tidak berdasarkan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan, tidak mengendalikan pelaksanaan kontrak sebagaimana mestinya.

“Yakni, menandatangani Be­rita Acara Penerimaan Barang yang menyatakan telah diterima secara lengkap, padahal ke­nya­ta­a­nnya belum lengkap,” kata JPU Agus Sa­lim di Pengadilan Ti­pikor Jakarta.    

Pengaturan itu, menurut JPU Komisi Pemberantasan Korupsi, bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Akibat pengaturan itu, Rustam didakwa melakukan perbuatan memperkaya diri sen­diri, orang lain atau suatu kor­po­rasi. Sehingga, merugikan keua­ngan negara sekitar Rp 22 miliar.    

Pada September 2007, Rustam melakukan pertemuan dengan Masrizal di ruang kerjanya, Kan­tor Pusat Penanggulangan Krisis Depkes. Dalam pertemuan itu, Masrizal mempromosikan pro­duk yang dimiliki PT Graha Is­maya. Masrizal mengatakan,

“Saya punya banyak barang. Ka­lau ada pengadaan alat kese­hatan, mohon dipertimbangkan.” Masrizal pun menyorongkan profil perusahaan dan brosur alat kesehatan kepada Rustam. “Nanti kita pelajari dulu,” jawab Rustam dalam dakwaan.

Pertemuan Rustam dengan Masrizal merupakan kelanjutan dari kedatangan staf marketing PT Graha Ismaya Nugroho Budi Ra­harjo sekitar April 2007 yang mem­berikan company profile, katalog alat kesehatan, setingan alat untuk kamar operasi dan in­tensive care unit (ICU), daftar har­ga alat kese­hatan, serta lam­piran spesi­fi­ka­sinya kepada Rus­tam yang di­ti­tip­kan melalui se­k­retaris Rustam.  

Menindaklanjuti pertemuan de­ngan Masrizal, Rustam me­mang­gil Ketua Tim Teknis Yus Rizal ke ruang kerjanya. Rustam kemudian memerintahkan Yus Rizal untuk menyusun spesifikasi alat kesehatan sambil mem­be­ri­kan dokumen yang diterimanya dari Dirut PT Graha Ismaya.

“Tolong dipelajari dan diikuti, jangan sampai keluar dari do­ku­men ini untuk menyusun spesi­fikasi pengadaan alat kesehatan. Agar diatur, jangan sampai me­ngunci spesifikasinya,” kata Rus­tam kepada Yus dalam dakwaan.

Atas arahan Rustam, selan­jut­nya Yus Rizal menyusun spesi­fi­kasi teknis dan jumlah unit ke­bu­tuhan alat kesehatan yang akan diadakan tanpa menggunakan sumber data lainnya, dan hanya ber­dasarkan spesifikasi alkes se­bagaimana dokumen yang di­be­ri­kan terdakwa.

Selanjutnya, Rustam me­nan­da­tangani spesifikasi teknis alkes itu pada 27 September 2007. Spesifikasi itu telah mengarah pada merk atau produk yang di­di­stribusikan PT Graha Ismaya. Padahal seharusnya, spesifikasi teknis tidak boleh menunjuk me­rek atau produk tertentu. Soalnya, itu bertentangan dengan Kepres Nomor 80 tahun 2003 tentang Pe­doman Pelaksanaan Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah.

Itulah antara lain dakwaan JPU KPK kepada Rustam dalam si­dang di Pengadilan Tipikor Jakar­ta pada Kamis, 9 Agustus.

REKA ULANG

Siti Kesenggol Bekas Anak Buahnya

Bekas Kepala Pusat Penang­gu­langan Krisis Departemen Kese­hatan Rustam Syarifuddin Paka­ya, menjalani sidang perdana di Pe­ngadilan Tindak Pidana Ko­rup­si Jakarta pada Kamis, 9 Agustus.

Rustam didakwa memperkaya diri sendiri, suatu perusahaan dan orang lain, sehingga menim­bulkan kerugian negara sekitar Rp 22 mi­liar dalam pengadaan alat kese­hatan untuk Pusat Pe­nang­gu­la­ngan Krisis pada tahun anggaran 2007. Persisnya, nilai keru­gian negara itu Rp 22,051 miliar.

Menurut jaksa KPK, Rustam me­langgar Pasal 2 Ayat 1 dan Pa­sal 3 Undang Undang Pem­be­ran­tasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman hukuman maksimal­nya 20 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.

Dalam dakwaan, jaksa penun­tut umum (JPU) Agus Salim dkk menyebut Rustam memperkaya diri sendiri sebesar Rp 2,47 mi­liar, bekas Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari Rp 1,275 miliar. Selanjutnya, ELS Mangundap Rp 850 juta, Amir Syamsuddin Ishak Rp 100 juta, Mediana Hutomo dan Gunadi Soekemi Rp 100 juta, Tan Suhartono Rp 150 juta, Teng­ku Luckman Sinar Rp 25 juta, PT In­dofarma Global Me­dika Rp 1,763 miliar dan PT Gra­ha Ismaya Rp 15,226 miliar.

Saat dikonfirmasi, bekas Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengaku tidak pernah menerima uang terkait kasus itu. “JPU mendakwa Rustam dengan menyebut memberi uang ke saya sejumlah itu. Saya tidak mengerti itu. Saya tidak pernah terima uang,” ujarnya ketika dihubungi Rakyat Merdeka.

Selanjutnya, Siti meminta agar dakwaan yang dialamatkan ke­pada Rustam tidak dikait-kaitkan ke­pada dirinya. “Saya mem­ban­tah dakwaan bahwa saya me­ne­ri­ma uang itu. Tanya saja sama Rus­tam. Saya tidak tahu me­nahu soal aliran dana itu. Tunggu jawaban dari Rustam saja,” ujar anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini.

Secara terpisah, kuasa hukum Siti, Yusril Ihza Mahendra me­ngatakan, jika JPU telah menye­but seseorang menerima uang da­lam dakwaan, tentu harus dibuk­tikan. “Buktikan saja, benar atau tidak. Kalau tidak bisa dibuk­tikan, mereka bisa dituntut balik,” ujarnya ketika dikontak Rakyat Merdeka.

Yusril berharap jaksa penuntut umum tidak salah dalam mem­buat dakwaan. “Jadi, buktikan sajalah,” katanya.

Sebelumnya, Siti sudah ber­kali-kali diperiksa penyidik KPK sebagai saksi kasus alkes yang berbeda-beda, dengan tersangka yang berbeda-beda pula. Tapi, para tersangka itu adalah bekas anak buahnya.

Bahkan, Siti mengaku sudah enam kali dimintai keterangan. “Pemeriksaan hari ini sebagai sak­si untuk Ibu Ratna Umar ter­kait APBNP 2007. Sebelumnya, saya menjadi saksi bagi beliau dari kasus APBN 2006. Memang saya menterinya waktu itu, dan harus ada yang diterangkan,” ujar Siti setibanya di Gedung KPK pada pagi hari, 7 Februari lalu.

Ratna Dewi Umar adalah bekas Direktur Bina Pelayanan Medik yang menjadi tersangka kasus pengadaan alat kesehatan tahun 2006 dan 2007.

Siti mengaku rela memberikan penjelasan berkali-kali kepada pe­nyidik, mengenai perkara-per­kara korupsi yang telah menyeret sejumlah bekas anak buahnya menjadi tersangka itu. Bekas anak buah Siti itu berasal dari ese­lon dua dan eselon tiga Ke­men­kes.

“Saya datang ke sini berkali-kali, kasusnya berbeda-beda. Kira-kira tujuh kasus. Satu-satu saya harus memberikan kon­fir­ma­si dan klarifikasi,” ujarnya.

Mesti Jelas Saksi Atau Tersangka

Yenti Garnasih, Pengamat Hukum

Doktor bidang pencucian uang Yenti Garnasih menyam­paikan, seseorang yang disebut dalam dakwaan turut menerima uang, harus dijelaskan seperti apa proses dan perannya. Se­bab, seseorang yang disebut me­nerima uang namun tanpa sta­tus yang pasti, akan me­nimbulkan polemik.

“Kalau di dalam dakwaan di­sebutkan, ya harus dilihat dulu perannya dalam peristiwa hu­kum itu. Apakah hanya sebatas saksi atau justru termasuk se­ba­gai salah satu orang yang bisa dikatagorikan sebagai peserta pelaku,” ujar Yenti.

Bagi Yenti, agak aneh bila di­sebut dalam dakwaan menerima uang, tetapi statusnya belum jelas, tersangka atau bukan.

“Agak aneh, apalagi kasus ini sudah bergulir ke persidangan. Berarti kan sudah diperiksa se­bagai saksi, berarti bagi pe­nyi­dik dianggap tidak terlibat, atau hanya saksi,” ujarnya.

Dia meminta agar status orang-orang yang disebut me­nerima uang dalam dakwaan, diperjelas terlebih dahulu. “Se­harusnya semua yang terima uang kalau itu dalam rangka suapnya, ya berarti turut serta ko­rupsi. Kalau terima uangnya se­telah terjadi korupsi, berarti tin­dak pidana pencucian uang,” je­las dosen Universitas Trisakti ini.

Agar terhindar dari keran­cuan, kata Yenti, jaksa penuntut umum mesti membuat terang perkara dengan menjelaskan keter­libatan dan status h­u­kum­nya. “Kalau disebut menerima uang tentu kemungkinan besar bukan saksi,” ujarnya.

Bekas Kepala Pusat Pe­nang­gulangan Krisis Departemen Kesehatan Rustam Syarifuddin Pakaya, menjalani sidang per­dana di Pengadilan Tindak Pi­dana Korupsi Jakarta pada Ka­mis, 9 Agustus.

Rustam didakwa mem­per­kaya diri sendiri, suatu peru­sa­haan dan orang lain, sehingga menimbulkan kerugian negara sekitar Rp 22 miliar dalam pe­ngadaan alat kesehatan untuk Pusat Penanggulangan Krisis pada tahun anggaran 2007. Persisnya, nilai kerugian negara itu Rp 22,051 miliar.

Kasus Alkes Jangan Dibuat Menggantung

Deding Ishak, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Deding Ishak mengingatkan, pembuktian perkara dugaan korupsi pengadaan alat-alat kesehatan (alkes) harus benar-benar obyektif.

Menurutnya, jika jaksa pe­nuntut umum (JPU) dalam dak­waan berani menyebutkan, se­jumlah pihak telah menerima ali­ran uang korupsi, maka hal itu harus dibuktikan di hadapan majelis hakim.

“Tentu mereka harus mem­buktikannya. Mereka membuat dakwaan karena telah memiliki bukti-bukti tentunya, ya silakan dibuktikan saja,” ujar anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar ini.

Lebih lanjut, dia mengatakan, kasus ini jangan sampai dibuat menggantung. Semua pihak yang kalau memang terbukti terlibat, harus diproses segera.

“Tunjukkan progresnya, ja­ngan publik dibuat bingung. Se­bab, publik akan menilai sejauh mana keseriusan aparat pene­gak hukum mengusut kasus ko­r­­upsi sampai tuntas dan mem­­berantas korupsi,” ujarnya.

Karena perkara ini sudah ma­suk pengadilan, lanjut dia, tidak ada alasan lagi bagi jaksa dan hakim untuk tidak mengusut dengan seksama. “Intinya, se­mua itu sudah di pengadilan. Tinggal bagaimana jaksa mem­buktikannya, keterangan saksi-saksi dan bagaimana hakim me­mutusnya,” kata Deding.

Pada akhirnya, kata Deding, keputusan di pengadilan akan menjadi pembuktian sekaligus menjadi acuan untuk proses hu­kum selanjutnya, jika memang ada pihak lain yang diduga ter­libat. “Sekarang, kita lihat saja proses di pengadilan dan pu­tu­san majelis hakim kasus ini,” ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA