Sejak tahun 2006, dua orang pihak swasta ditetapkan sebagai tersangka kasus penyalahgunaan kredit sebesar Rp 51,542 miliar di Bank Mandiri. Tapi, hingga kini, dua tersangka itu tak kunjung dibawa kejaksaan ke pengadilan.
Kedua tersangka yang berasal dari Direksi PT A atau AT itu pun berkasnya sudah masuk ke tahap penuntutan pada waktu itu. Akan tetapi, setelah enam tahun berÂlalu, dua tersangka itu tidak kunÂjung disidang. Alias kasusnya maÂsih ngendon di kejaksaan. KeÂdua tersangka itu berinisial CAH dan HS.
Mengenai keanehan dalam penanganan kasus tersebut, Jaksa Agung Basrief Arief berjanji akan menindaklanjutinya. “Tunggu dulu yang dua tadi ya. Nah, itu akan kami tindak lanjuti,†kataÂnya seusai sholat Jumat di Masjid Baitul Adli, Kejaksaan Agung, Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan pada 27 Juli lalu.
Padahal dalam proses peÂninÂjauan kembali (PK) di MahkÂaÂmah Agung, dua tersangka lainÂnya, yakni bekas Group Head CorÂporate Relationship Bank ManÂdiri Fachrudin Yasin dan bekas Group Head Corporate CreÂdit Approval Roy Ahmad Ilham terbukti berÂsalah karena menyalurkan kredit kepada PT A atau AT tanpa mÂeÂlalui prosedur dan syarat-syarat yang ditentukan bank.
Sebelumnya, Direktur PenyiÂdikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Arnold Angkouw membenarkan adanya penetapan tersangka dari pihak swasta daÂlam kasus ini pada tahun 2006. “Memang benar, Kejaksaan Agung telah menetapkan dua terÂsangka dari unsur swasta, yakni CAH dan HS,†kata Arnold di GeÂÂdung Bundar, Kejaksaan Agung, Senin sore, 23 Juli.
Menurut Arnold, berkas dua tersangka dari pihak swasta itu bahkan sudah masuk ke tahap peÂnuntutan. Tapi, kenapa setelah enam tahun berlalu, dua terÂsangÂka itu tidak kunjung dibawa ke peÂngadilan. “Iya, dua terÂsangka itu sudah sempat masuk penunÂtutan per tanggal 3 Agustus 2006. Satu berkas dua orang,†ujar beÂkas Kepala Kejaksaan TingÂgi Sulawesi Utara ini.
Padahal, tersangka dari pihak Bank Mandiri sudah dihukum, karena peninjauan kembalinya (PK) ditolak Mahkamah Agung.
Namun, Arnold mengaku beÂlum mengetahui perkemÂbaÂngan terakhir penanganan kedua berÂkas tersangka dari pihak swasta itu. Yang dia ketahui, sejak tangÂgal 3 Agustus 2006, berkas kedua tersangka itu sudah dinyatakan lengkap (P21) oleh Bagian PeÂnyidikan Kejaksaan Agung.
“Saat itu, Direktur Penyidikan adalah SuÂwandi. Rencana peÂnunÂtutannya waktu itu di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan,†katanya.
Arnold bahkan sempat meneÂlepon Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Masyhudi untuk mempertanyakan kelanjutan peÂnanganan kasus ini. Namun, MaÂsyhudi mengaku belum meÂngeÂtahui perkembangannya. “ToÂlong dicek perkembangannya dan beritahu kepada saya,†pinta ArÂnold kepada Kajari Jaksel meÂlalui telepon.
Masyhudi pun berjanji akan menelusuri berkas perkara kedua tersangka yang tak kunjung disiÂdang selama enam tahun itu. “Kami masih menelusurinya,†ujar Masyhudi ketika dikonÂfirÂmasi Rakyat Merdeka.
Kelanjutan proses hukum terÂhadap dua tersangka dari PT A atau AT itu dipertanyakan, setelah dua terdakwa dari unsur Bank Mandiri, yakni Fachruddin Yasin dan Roy Ahmad Ilham ditolak peninjauan kembalinya oleh MA, seÂhingga mereka tetap divonis lima tahun penjara.
REKA ULANG
Dari Putusan Bebas Hingga 5 Tahun Penjara
Bekas Group Head Corporate Relationship Bank Mandiri FachÂrudin Yasin dan bekas Group Head Corporate Credit Approval Bank ManÂdiri Roy Ahmad Ilham kena huÂkuman lima tahun penÂjara. SoalÂnya, Mahkamah Agung pada 14 Juni lalu menolak peÂninÂjauan kembali (PK) yang mereka ajuÂkan atas dakwaan penyaÂlaÂhÂguÂnaÂan penyaluran kredit Rp 51,542 miliar.
Perkara Nomor 31 PK/Pid.Sus/2012 ini diputus Ketua Majelis HaÂkim Artidjo Alkostar dan haÂkim anggota, antara lain ZaÂhaÂruddin Utama. Perkara ini masuk ke MA pada 24 Januari 2012 dan diketok pada 14 Juni lalu.
Sekadar mengingatkan, FachÂrudin dituntut lima tahun penjara dalam sidang di Pengadilan NeÂgeri Jakarta Selatan. Fachrudin dan Roy didakwa meÂngÂgeÂlonÂtorÂkan kredit kepada PT Arthabama Textindo/PT Artharismutika TexÂtindo secara melawan huÂkum. YaÂitu, tanpa melalui proÂseÂdur dan syarat-syarat yang diÂtentukan bank pada kurun 2001-2002. Akibatnya negara diruÂgiÂkan Rp 51,542 miliar.
Pengadilan Negeri Jakarta SeÂlaÂtan pada 20 Januari 2010 meÂmutus bebas Fachrudin dan Roy. Majelis hakim PN Jaksel meÂmuÂtus, keduanya tidak berÂsalah. TiÂdak terima, jaksa langÂsung kasasi atas putusan bebas tersebut.
Pada 29 November 2010, MA menerima kasasi jaksa dengan menghukum kedua terdakwa itu sesuai tuntutan, yaitu 5 tahun penÂjara. Kasasi diputus tiga haÂkim agung, yaitu Djoko Sarwoko, Komariah E Sapardjaja dan SurÂya Jaya. “Perbuatan terdakwa diÂlakukan belum lama setelah krisis moneter terjadi. Para terdakwa telah menguntungkan para deÂbitur nakal,†ujar Djoko dalam salinan putusan kasasi.
Tidak puas, Fachrudin dan Roy mengajukan peninjauan kembali (PK). Tapi, Mahkamah Agung menolak PK tersebut. Sehingga, Fachrudin dan Roy kena hukuÂman lima tahun penjara.
MA juga telah menghukum beÂkas Direktur Utama Bank ManÂdiri E.C.W. Neloe serta Direktur Risk Management I Wayan PuÂgeg dan Direktur Corporate BanÂking M Sholeh Tasripan masing-masing 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 buÂlan kurungan.
“Majelis memutus dalam rapat terbuka 13 September 2007. TerÂdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berkelanjutan,†kata Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Andi Samsan Nganro saat membacakan petikan putusan MA di kantornya pada Jumat, 14 September 2007.
Dengan keputusan ini, majelis hakim MA yang dipimpin Bagir Manan dan beranggotakan IskanÂdar Kamil, Djoko Sarwoko, HariÂfin A Tumpa dan Rehngena Purba membatalkan putusan majelis hakim PN Jakarta Selatan nomor 2068/Pid.B/2005/PN Jaksel tertanggal 20 Februari 2006.
Saat itu, majelis hakim PN JaÂkarta Selatan memvonis bebas tiga terdakwa kasus pengucuran kredit Rp 160 miliar ke PT Cipta Graha Nusantara ini. Mereka didakwa melanggar Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam pertimbangan majelis hakim Jakarta Selatan disebutkan unsur setiap orang, unsur meÂlangÂgar hukum, dan unsur memÂperÂkaya diri sendiri atau korporasi telah terbukti. Namun, unsur keÂrugian negara tidak terbukti. KeÂmudian, jaksa yang saat itu meÂnuntut 20 tahun penjara, meÂngajukan kasasi atas putusan ini.
Tak Ada Alasan Petieskan Kasus
Pieter C Zulkifli, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Pieter Zulkifli mengingatkan, tiÂdak ada alasan bagi aparat peÂnegak hukum untuk memÂpeÂtieskan kasus-kasus yang sudah memiliki bukti kuat dan meÂruÂgikan keuangan negara.
Kasus-kasus masa lalu yang berÂhubungan dengan kerugian keÂuangan negara tapi tak jelas ujungnya, lanjut Pieter, harus secepatnya ditindaklanjuti dan dituntaskan di pengadilan. “Supaya tidak ada preseden, huÂkum hanya berlaku bagi orang-orang miskin,†tandasnya.
Lantaran itu, dia berharap, kasus ini dibawa kejaksaan ke pengadilan secepatnya. “Agar masyarakat tahu bahwa persaÂmaÂan di muka hukum daÂpat diÂlaksanakan. Rasa keadilan maÂsyarakat baru akan terpenuhi jika hukum dilaksanakan tanpa pandang bulu,†ujar anggota DPR dari Partai Demokrat ini.
Pieter mendesak Kejaksaan Agung agar segera memeroses setiap orang yang diduga terliÂbat kasus ini. “Siapa pun yang terÂlibat, harus ditindaklanjuti. Tidak boleh pandang bulu. KaÂlau ada bukti-bukti yang sah, kuat dan meÂmenuhi unsur-unsur tindak pidÂana, maka lembaga hukum harus menindaklanjuti,†ujarnya.
Jika proses hukum itu meÂnyeÂret banyak orang, kata Pieter, aparat hukum harus tetap berÂtindak sesuai aturan yang ada. “Hukum tak boleh tebang pilih atau pilih-pilih. Hukum itu sama bagi siapa saja yang terÂbukti bersalah. Termasuk okÂnum apaÂrat penegak hukum yang terbukti terlibat,†tandasnya.
Dia menambahkan, peneÂgaÂkan hukum yang adil, serta pemÂberantasan korupsi yang serius, akan membuat Indonesia menjadi negara yang sangat disegani di dunia internasional. “Indonesia akan menjadi besar dan disegani, jika mampu tak pandang bulu dalam meneÂgakÂkan hukum,†ujarnya.
Tidak Terlihat Upaya Serius Berantas Korupsi
Frans Hendra Winarta, Dosen Hukum
Dosen Hukum Universitas PeÂlita Harapan Frans Hendra WiÂnarta menilai, pengusutan perkara tindak pidana korupsi sering tidak menjadi prioritas.
Menurutnya, banyak hal yang mengakibatkan penguÂsuÂtan kasus korupsi mandeg, bahkan tidak diteruskan sama sekali. “Gejala seperti itu sudah berlangsung lama, tapi kurang ada perhatian serius dari peÂmeÂrintah.Tidak mungkin pimpinan tidak tahu,†ujar Frans.
Lantaran itu, katanya, keÂseÂriusan aparat penegak hukum masih di ambang ketidakÂperÂcaÂyaÂan publik. Sehingga, pemÂbeÂrantasan korupsi masih diÂangÂgap masyarakat sebatas lips service. “Sekarang masalahnya, kita mau berubah ke arah yang lebih baik atau tidak. Kecintaan kepada tanah air dan naÂsioÂnaÂlisme para pemimpin kita seÂdang diuji. Kalau ada kemauan politik, pasti bisa,†ucapnya.
Frans tidak menampik, dalam pengusutan perkara korupsi ada saja kesulitan yang terjadi. NaÂmun, upaya serius juga tidak terÂlihat dilakukan aparat peneÂgak hukum.
“Umumnya peÂnaÂnganan perÂkara korupsi lamban karena pemÂbuktiannya sulit dan maÂsalahnya kompleks. Karena itu, perlu jaksa khusus dan terÂlatih. Begitu pula kesadaran mengeÂnai bahaya korupsi serta keruÂgiÂan negara yang diakibatkannya.â€
Sayangnya, Frans menilai, sampai saat ini penegakan huÂkum hanya topeng yang kerap diÂkampanyekan. “Penegakan huÂkum belum dianggap penÂting, malah kepentingan politik yang dianggap utama. AkiÂbatÂnya, penegakan hukum lemah dan kerap ada intervensi politik dalam kasus-kasus korupsi. MaÂkaÂnya, tidak aneh jika kasus ini berjalan lamban,†katanya. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: