Tersangka Kasus Perjalanan Dinas KLH Belum Disidang

Surat Perintah Penyidikan Keluar 5 Oktober 2011

Senin, 23 Juli 2012, 09:39 WIB
Tersangka Kasus Perjalanan Dinas KLH Belum Disidang
Adi Toegarisman

rmol news logo Lebih dari 40 saksi sudah diperiksa penyidik Kejaksaan Agung terkait dugaan biaya perjalanan dinas fiktif tahun 2009 pada Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Tapi, Bagian Penyidikan belum melimpahkan perkara ini ke Bagian Penuntutan. Padahal, proses penyidikan terhadap tiga tersangka, sudah dimulai pada Oktober tahun lalu.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman beralasan, proses pe­n­gusutan perkara ini masih ber­langsung. Selain, karena belum diperoleh hasil audit Badan Pe­me­riksa Keuangan (BPK) me­nge­nai jumlah kerugian negara yang pasti, penyidik juga masih mendalami keterkaitan sejumlah pihak dalam kasus tersebut.

“Kami telah meminta BPK un­tuk menghitung kerugian negara da­lam kasus ini. Hingga saat ini, kami masih menunggu hasil penghitungan dari BPK te­r­se­but,” katanya di Gedung Ke­jak­sa­an Agung, Jalan Sultan Ha­sa­nuddin, Jakarta Selatan pada Ju­mat lalu, 20 Juli.

Bekas Kepala Kejaksaan Ting­gi Kepulauan Riau ini me­nam­bah­kan, penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Agung masih men­da­la­mi kasus tersebut untuk mem­perkuat bukti-bukti dalam pem­berkasan. “Telah diperiksa sekitar 40 orang saksi. Kemudian, sudah di­lakukan tindakan hukum beru­pa penyitaan terhadap dokumen-dokumen SPPD dan bukti-bukti pertanggungjawaban yang di­duga fiktif,” kata Adi.

Kasus ini terjadi pada tahun ang­garan 2009 di Biro Umum Sekretariat Kementerian Ling­ku­ngan Hidup terhadap DIPA APBN Belanja Perjalanan Dinas Umum Dalam Negeri dengan pagu Rp 9.474.713.000 dengan rea­lisasi Rp 9.474.397.410. “Tapi, dalam pelaksanaannya, pada pengeluaran atau belanja perjalanan dinas tersebut terdapat kegiatan yang tidak dilak­sa­na­kan,” jelasnya.

Kemudian, lanjutnya, Kepala Sub Bagian Akuntansi dan Ve­rifikasi Kementerian Lingkungan Hidup Sulaeman disangka mem­buat pertanggungjawaban fiktif yang seolah-olah terjadi pe­nge­lua­ran anggaran. Perbuatan Su­lae­man dalam membuat per­tang­gungjawaban fiktif tersebut, lan­jutnya, diduga disetujui Kepala Biro Umum Pudji Hastuti selaku Kuasa Pengguna Anggaran dan Kepala Bagian Keuangan KLH Amat Syukur selaku Pejabat Pem­buat Komitmen I. “Kerugian ke­uangan negara yang ditim­bulkan akibat perbua­tan mereka diduga sekitar Rp 1,2 mi­liar,” kata Adi.

Perkara tindak pidana korupsi ini sudah memasuki tahap pe­nyi­dikan pada bulan Oktober 2011. Akan tetapi, tiga tersangka kasus ter­sebut tidak ditahan.

Penyidik Kejaksaan Agung sudah menetapkan tiga tersangka kasus ini. Pertama, bekas Kepala Biro Asdep Kelembagaan Ling­ku­ngan Deputi 7 Pudji Astuti, ber­da­sarkan Surat Perintah Pe­nyi­dikan Nomor: Print-132/F.2/Fd.1/10/2010, tanggal 5 Oktober 2011.

Kedua, Sulaeman, Kasubbag Verifikasi pada bagian Keuangan Biro Umum KLH RI berdasarkan Su­rat Perintah Penyidikan No­mor: Print-133/F.2/Fd.1/10/2010, tanggal 5 Oktober 2011. Ketiga, Amat Syukur, Inspektur Ke­uangan KLH (Bekas Kabag Ke­uangan pada Biro Umum KLH) berdasarkan Surat Perintah Pe­nyidikan Nomor: Print-134/F.2/Fd.1/10/2010, tanggal 5 Oktober 2011.

REKA ULANG

Tetap Jadi Tersangka, Meski Diklaim Cuma Salah Administrasi

Menurut Sekretaris Kemen­terian Lingkungan Hidup (KLH) Hermin Roosita, perkara dugaan korupsi biaya perjalanan dinas ini muncul setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan pe­langgaran. Akan tetapi, lan­jut­nya, perkara tersebut sebetulnya hanya kesalahan administrasi.

Terkadang, kata Hermin, para pegawai KLH terpaksa me­lang­gar ketentuan administrasi untuk menyesuaikan rute perjalanan di­nas karena tugas kantor yang men­dadak. Misalnya, ketika be­rangkat dengan tiket Jakarta-Ma­nado, pegawai harus mengubah rute karena tiba-tiba harus ber­tu­gas ke Gorontalo.

Jika hal seperti itu terjadi, me­nu­rut Hermin, pegawai harus me­nyesuaikan jadwal tugas dengan pindah ke maskapai penerbangan lain, meski sudah kadung boo­king. “Tidak ada unsur ke­se­nga­jaan, apalagi untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain,” tegasnya.

Tetapi, Kejaksaan Agung tidak mau begitu saja mempercayai ala­san seperti itu. Kejagung me­netapkan tiga pegawai negeri si­pil (PNS) Kementerian Ling­ku­ngan Hidup sebagai tersangka ka­sus korupsi uang perjalanan dinas ini. Ketiga tersangka dianggap berperan terhadap bocornya dana dan verifikasi laporan per­tang­gungjawaban (LPJ) fiktif yang me­ngakibatkan kerugian keu­a­ngan negara. “Mereka ditetapkan se­bagai tersangka, tapi tidak di­tahan,” kata Kepala Pusat Pene­rangan Hukum Kejagung waktu itu, Noor Rochmad di Gedung Kejaksaan Agung, pada Jumat, 21 Oktober 2011.

Tiga pegawai negeri itu adalah Kepala Bagian Keuangan Biro Umum Kementerian Lingkungan Hi­dup Amat Sukur, Kepala Sub Ba­gian Verifikasi Biro Umum KLH Sulaiman dan bekas Asisten De­partemen Kelembagaan Ling­kungan Hidup Deputi 2 Biro Umum KLH Puji Hastuti. Mere­ka disangka melanggar Pasal 2 dan 3 Undang Undang Pem­be­ran­tasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Menurut Noor, modus operan­di para tersangka itu adalah me­malsukan LPJ dan menentukan be­saran tarif perjalanan dinas ti­dak sesuai fakta. Apalagi, pe­nge­lo­laan dana perjalanan dinas di­atur secara otonom di setiap sa­tuan ker­ja (satker). Namun, ke­bi­jakan oto­nom itu justru me­ngakibatkan penyimpangan peng­gunaan ang­garan negara. Ujung-ujungnya, terjadi kerugian keuangan negara.

Bekas Kepala Kejaksaan Ting­gi Gorontalo itu menambahkan, Amat Sukur ditetapkan sebagai tersangka karena dia yang men­cairkan dana. Sedangkan Su­lae­man berperan dalam mem­ve­ri­fi­kasi LPJ perjalanan dinas.

Banyak Kasus Yang Ngambang

Yenti Garnasih, Pengamat Hukum

Pengamat hukum Yenti Gar­nasih sangat menyayangkan proses pengusutan perkara du­gaan korupsi perjalanan dinas fiktif tahun anggaran 2009 pada Kementerian Lingkungan Hi­dup (KLH) ini, tidak kunjung naik ke proses penuntutan.

“Entah kenapa banyak per­kara korupsi yang mengambang di kejaksaan. Apakah karena ti­dak cukup bukti saat akan me­ne­rapkan pasal. Atau ada hal lain di luar masalah teknis se­per­ti itu,” kata Yenti.

Menurutnya, proses hukum yang tampak setengah hati se­perti itu, tidak akan bisa mem­buat Indonesia menjadi baik. “Hal seperti ini tidak baik untuk se­muanya. Tersangka juga ter­siksa karena penuh ke­tidak­je­la­san, rawan pemerasan. Itu pan­dangan atau kecurigaan kita ke­pada penegak hukum yang se­perti itu. Atau terjadi pen­yua­pan, sehingga perkara bisa d­i­ulur-ulur,” curiganya. “Ke­cu­ri­ga­an se­perti itu perlu, sebagai ben­tuk kon­trol sosial,” lanjutnya.

Lebih lanjut Yenti menya­ta­kan, perkara yang menggantung pada proses penyidikan, ke­mung­kinan akan distop melalui Surat Perin­tah Penghentian Pe­nyidikan (SP3). “Bisa-bisa ke­luar SP3. Ini menjadi salah satu yang tidak ada di KPK. Mes­ti­nya begitu, tidak bisa di­hen­ti­kan. Mesti sampai pada proses pem­buk­tian yang terbuka bagi masyarakat di pe­nga­dilan, apa­kah tersangka ko­rupsi atau ti­dak,” katanya.

Rasanya, kata dia, sangat sulit berharap pada kejaksaan agar bertindak profesional dalam mengusut kasus korupsi seperti ini. “Sedangkan di KPK juga ada masalah lain. Lalu, apa yang bisa kita harapkan untuk pe­me­ran­tasan korupsi di In­donesia ya?” ucap doktor pada bidang tindak pidana pencucian uang ini.

Lantaran itu, dia kian pesi­mis­tis melihat penegakan hu­kum di Indonesia. Terutama da­lam hal pengusutan kasus ko­rupsi yang sudah di depan mata. “Tampaknya mafia hukum ma­sih merajalela. Kenyataan­nya, masih banyak penegak hukum yang korupsi ketika menangani per­kara korupsi,” ujarnya.

Tidak Rumit Kenapa Lama

Taslim Chaniago, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Taslim Chaniago menyam­pai­kan, dugaan korupsi biaya per­ja­lanan dinas di Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) ini, semestinya bisa cepat dis­e­le­sai­kan karena polanya sama saja dengan departemen yang lain.

“Maka apabila kejaksaan sudah menangani kasus serupa di departemen lain, tentu kasus di KLH bisa diselesaikan de­ngan cepat, kita sangat me­nya­yangkan pola kerja kejaksaan yang lambat,” ujar anggota DPR dari Fraksi PAN ini.

Sejatinya, nilai Taslim, per­kara dugaan korupsi biaya per­jalan dinas ini, bukanlah kasus yang rumit. Lantaran itu, dia heran, kenapa Kejaksaan Agung tidak kunjung mem­ba­wa para tersangka kasus ini ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Lantaran itu, dia meminta Kejaksaan Agung segera mem­bawa para tersangka kasus ini ke pengadilan. Sehingga, kasus korupsi ini tidak mandeg atau mangkrak. “Kasus ini harus se­gera dituntaskan kejaksaan, su­paya ada efek jera. Agar kasus serupa tidak terjadi lagi di KLH dan kementerian lainnya,” ujar Taslim.

Gara-gara kasus ini belum juga bergulir ke pengadilan, me­nurutnya, KPK perlu me­man­tau penanganannya. Bah­kan, Komisi Pemberantasan Ko­rupsi bisa mengambil alih ka­sus ini karena nilai kerugian nega­ra­nya lebih dari Rp 1 mi­liar.

“Kasus perjalan dinas fiktif, saya kira tidak hanya di KLH, tapi hampir di semua depar­te­men. Tidak tertutup kemung­kinan ada di kejaksaan juga,” ujarnya.

Bahkan, kata Taslim, modus seperti ini sudah menjadi tra­disi, sehingga kejaksaan enggan mengusutnya sampai tuntas. “Saya yakin, kalau diusut sam­pai tuntas, akan banyak sekali yang terlibat. Sehingga, kejak­saan berhati-hati dalam masalah ini,” ujarnya.

Kendati begitu, tegas Taslim, kejaksaan tetap harus mem­bong­kar tradisi lama itu dan harus mengusutnya sampai tun­tas. “Saya berharap kejak­saan berani mengusutnya, sehingga po­la perjalanan fiktif berhenti di setiap kementerian dan lembaga lainnya,” ujar Taslim. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA