Lebih dari 40 saksi sudah diperiksa penyidik Kejaksaan Agung terkait dugaan biaya perjalanan dinas fiktif tahun 2009 pada Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Tapi, Bagian Penyidikan belum melimpahkan perkara ini ke Bagian Penuntutan. Padahal, proses penyidikan terhadap tiga tersangka, sudah dimulai pada Oktober tahun lalu.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman beralasan, proses peÂnÂgusutan perkara ini masih berÂlangsung. Selain, karena belum diperoleh hasil audit Badan PeÂmeÂriksa Keuangan (BPK) meÂngeÂnai jumlah kerugian negara yang pasti, penyidik juga masih mendalami keterkaitan sejumlah pihak dalam kasus tersebut.
“Kami telah meminta BPK unÂtuk menghitung kerugian negara daÂlam kasus ini. Hingga saat ini, kami masih menunggu hasil penghitungan dari BPK teÂrÂseÂbut,†katanya di Gedung KeÂjakÂsaÂan Agung, Jalan Sultan HaÂsaÂnuddin, Jakarta Selatan pada JuÂmat lalu, 20 Juli.
Bekas Kepala Kejaksaan TingÂgi Kepulauan Riau ini meÂnamÂbahÂkan, penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Agung masih menÂdaÂlaÂmi kasus tersebut untuk memÂperkuat bukti-bukti dalam pemÂberkasan. “Telah diperiksa sekitar 40 orang saksi. Kemudian, sudah diÂlakukan tindakan hukum beruÂpa penyitaan terhadap dokumen-dokumen SPPD dan bukti-bukti pertanggungjawaban yang diÂduga fiktif,†kata Adi.
Kasus ini terjadi pada tahun angÂgaran 2009 di Biro Umum Sekretariat Kementerian LingÂkuÂngan Hidup terhadap DIPA APBN Belanja Perjalanan Dinas Umum Dalam Negeri dengan pagu Rp 9.474.713.000 dengan reaÂlisasi Rp 9.474.397.410. “Tapi, dalam pelaksanaannya, pada pengeluaran atau belanja perjalanan dinas tersebut terdapat kegiatan yang tidak dilakÂsaÂnaÂkan,†jelasnya.
Kemudian, lanjutnya, Kepala Sub Bagian Akuntansi dan VeÂrifikasi Kementerian Lingkungan Hidup Sulaeman disangka memÂbuat pertanggungjawaban fiktif yang seolah-olah terjadi peÂngeÂluaÂran anggaran. Perbuatan SuÂlaeÂman dalam membuat perÂtangÂgungjawaban fiktif tersebut, lanÂjutnya, diduga disetujui Kepala Biro Umum Pudji Hastuti selaku Kuasa Pengguna Anggaran dan Kepala Bagian Keuangan KLH Amat Syukur selaku Pejabat PemÂbuat Komitmen I. “Kerugian keÂuangan negara yang ditimÂbulkan akibat perbuaÂtan mereka diduga sekitar Rp 1,2 miÂliar,†kata Adi.
Perkara tindak pidana korupsi ini sudah memasuki tahap peÂnyiÂdikan pada bulan Oktober 2011. Akan tetapi, tiga tersangka kasus terÂsebut tidak ditahan.
Penyidik Kejaksaan Agung sudah menetapkan tiga tersangka kasus ini. Pertama, bekas Kepala Biro Asdep Kelembagaan LingÂkuÂngan Deputi 7 Pudji Astuti, berÂdaÂsarkan Surat Perintah PeÂnyiÂdikan Nomor: Print-132/F.2/Fd.1/10/2010, tanggal 5 Oktober 2011.
Kedua, Sulaeman, Kasubbag Verifikasi pada bagian Keuangan Biro Umum KLH RI berdasarkan SuÂrat Perintah Penyidikan NoÂmor: Print-133/F.2/Fd.1/10/2010, tanggal 5 Oktober 2011. Ketiga, Amat Syukur, Inspektur KeÂuangan KLH (Bekas Kabag KeÂuangan pada Biro Umum KLH) berdasarkan Surat Perintah PeÂnyidikan Nomor: Print-134/F.2/Fd.1/10/2010, tanggal 5 Oktober 2011.
REKA ULANG
Tetap Jadi Tersangka, Meski Diklaim Cuma Salah Administrasi
Menurut Sekretaris KemenÂterian Lingkungan Hidup (KLH) Hermin Roosita, perkara dugaan korupsi biaya perjalanan dinas ini muncul setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan peÂlanggaran. Akan tetapi, lanÂjutÂnya, perkara tersebut sebetulnya hanya kesalahan administrasi.
Terkadang, kata Hermin, para pegawai KLH terpaksa meÂlangÂgar ketentuan administrasi untuk menyesuaikan rute perjalanan diÂnas karena tugas kantor yang menÂdadak. Misalnya, ketika beÂrangkat dengan tiket Jakarta-MaÂnado, pegawai harus mengubah rute karena tiba-tiba harus berÂtuÂgas ke Gorontalo.
Jika hal seperti itu terjadi, meÂnuÂrut Hermin, pegawai harus meÂnyesuaikan jadwal tugas dengan pindah ke maskapai penerbangan lain, meski sudah kadung booÂking. “Tidak ada unsur keÂseÂngaÂjaan, apalagi untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain,†tegasnya.
Tetapi, Kejaksaan Agung tidak mau begitu saja mempercayai alaÂsan seperti itu. Kejagung meÂnetapkan tiga pegawai negeri siÂpil (PNS) Kementerian LingÂkuÂngan Hidup sebagai tersangka kaÂsus korupsi uang perjalanan dinas ini. Ketiga tersangka dianggap berperan terhadap bocornya dana dan verifikasi laporan perÂtangÂgungjawaban (LPJ) fiktif yang meÂngakibatkan kerugian keuÂaÂngan negara. “Mereka ditetapkan seÂbagai tersangka, tapi tidak diÂtahan,†kata Kepala Pusat PeneÂrangan Hukum Kejagung waktu itu, Noor Rochmad di Gedung Kejaksaan Agung, pada Jumat, 21 Oktober 2011.
Tiga pegawai negeri itu adalah Kepala Bagian Keuangan Biro Umum Kementerian Lingkungan HiÂdup Amat Sukur, Kepala Sub BaÂgian Verifikasi Biro Umum KLH Sulaiman dan bekas Asisten DeÂpartemen Kelembagaan LingÂkungan Hidup Deputi 2 Biro Umum KLH Puji Hastuti. MereÂka disangka melanggar Pasal 2 dan 3 Undang Undang PemÂbeÂranÂtasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Menurut Noor, modus operanÂdi para tersangka itu adalah meÂmalsukan LPJ dan menentukan beÂsaran tarif perjalanan dinas tiÂdak sesuai fakta. Apalagi, peÂngeÂloÂlaan dana perjalanan dinas diÂatur secara otonom di setiap saÂtuan kerÂja (satker). Namun, keÂbiÂjakan otoÂnom itu justru meÂngakibatkan penyimpangan pengÂgunaan angÂgaran negara. Ujung-ujungnya, terjadi kerugian keuangan negara.
Bekas Kepala Kejaksaan TingÂgi Gorontalo itu menambahkan, Amat Sukur ditetapkan sebagai tersangka karena dia yang menÂcairkan dana. Sedangkan SuÂlaeÂman berperan dalam memÂveÂriÂfiÂkasi LPJ perjalanan dinas.
Banyak Kasus Yang Ngambang
Yenti Garnasih, Pengamat Hukum
Pengamat hukum Yenti GarÂnasih sangat menyayangkan proses pengusutan perkara duÂgaan korupsi perjalanan dinas fiktif tahun anggaran 2009 pada Kementerian Lingkungan HiÂdup (KLH) ini, tidak kunjung naik ke proses penuntutan.
“Entah kenapa banyak perÂkara korupsi yang mengambang di kejaksaan. Apakah karena tiÂdak cukup bukti saat akan meÂneÂrapkan pasal. Atau ada hal lain di luar masalah teknis seÂperÂti itu,†kata Yenti.
Menurutnya, proses hukum yang tampak setengah hati seÂperti itu, tidak akan bisa memÂbuat Indonesia menjadi baik. “Hal seperti ini tidak baik untuk seÂmuanya. Tersangka juga terÂsiksa karena penuh keÂtidakÂjeÂlaÂsan, rawan pemerasan. Itu panÂdangan atau kecurigaan kita keÂpada penegak hukum yang seÂperti itu. Atau terjadi penÂyuaÂpan, sehingga perkara bisa dÂiÂulur-ulur,†curiganya. “KeÂcuÂriÂgaÂan seÂperti itu perlu, sebagai benÂtuk konÂtrol sosial,†lanjutnya.
Lebih lanjut Yenti menyaÂtaÂkan, perkara yang menggantung pada proses penyidikan, keÂmungÂkinan akan distop melalui Surat PerinÂtah Penghentian PeÂnyidikan (SP3). “Bisa-bisa keÂluar SP3. Ini menjadi salah satu yang tidak ada di KPK. MesÂtiÂnya begitu, tidak bisa diÂhenÂtiÂkan. Mesti sampai pada proses pemÂbukÂtian yang terbuka bagi masyarakat di peÂngaÂdilan, apaÂkah tersangka koÂrupsi atau tiÂdak,†katanya.
Rasanya, kata dia, sangat sulit berharap pada kejaksaan agar bertindak profesional dalam mengusut kasus korupsi seperti ini. “Sedangkan di KPK juga ada masalah lain. Lalu, apa yang bisa kita harapkan untuk peÂmeÂranÂtasan korupsi di InÂdonesia ya?†ucap doktor pada bidang tindak pidana pencucian uang ini.
Lantaran itu, dia kian pesiÂmisÂtis melihat penegakan huÂkum di Indonesia. Terutama daÂlam hal pengusutan kasus koÂrupsi yang sudah di depan mata. “Tampaknya mafia hukum maÂsih merajalela. KenyataanÂnya, masih banyak penegak hukum yang korupsi ketika menangani perÂkara korupsi,†ujarnya.
Tidak Rumit Kenapa Lama
Taslim Chaniago, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Taslim Chaniago menyamÂpaiÂkan, dugaan korupsi biaya perÂjaÂlanan dinas di Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) ini, semestinya bisa cepat disÂeÂleÂsaiÂkan karena polanya sama saja dengan departemen yang lain.
“Maka apabila kejaksaan sudah menangani kasus serupa di departemen lain, tentu kasus di KLH bisa diselesaikan deÂngan cepat, kita sangat meÂnyaÂyangkan pola kerja kejaksaan yang lambat,†ujar anggota DPR dari Fraksi PAN ini.
Sejatinya, nilai Taslim, perÂkara dugaan korupsi biaya perÂjalan dinas ini, bukanlah kasus yang rumit. Lantaran itu, dia heran, kenapa Kejaksaan Agung tidak kunjung memÂbaÂwa para tersangka kasus ini ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Lantaran itu, dia meminta Kejaksaan Agung segera memÂbawa para tersangka kasus ini ke pengadilan. Sehingga, kasus korupsi ini tidak mandeg atau mangkrak. “Kasus ini harus seÂgera dituntaskan kejaksaan, suÂpaya ada efek jera. Agar kasus serupa tidak terjadi lagi di KLH dan kementerian lainnya,†ujar Taslim.
Gara-gara kasus ini belum juga bergulir ke pengadilan, meÂnurutnya, KPK perlu meÂmanÂtau penanganannya. BahÂkan, Komisi Pemberantasan KoÂrupsi bisa mengambil alih kaÂsus ini karena nilai kerugian negaÂraÂnya lebih dari Rp 1 miÂliar.
“Kasus perjalan dinas fiktif, saya kira tidak hanya di KLH, tapi hampir di semua deparÂteÂmen. Tidak tertutup kemungÂkinan ada di kejaksaan juga,†ujarnya.
Bahkan, kata Taslim, modus seperti ini sudah menjadi traÂdisi, sehingga kejaksaan enggan mengusutnya sampai tuntas. “Saya yakin, kalau diusut samÂpai tuntas, akan banyak sekali yang terlibat. Sehingga, kejakÂsaan berhati-hati dalam masalah ini,†ujarnya.
Kendati begitu, tegas Taslim, kejaksaan tetap harus memÂbongÂkar tradisi lama itu dan harus mengusutnya sampai tunÂtas. “Saya berharap kejakÂsaan berani mengusutnya, sehingga poÂla perjalanan fiktif berhenti di setiap kementerian dan lembaga lainnya,†ujar Taslim. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: