Bekas Dirut Merpati Disidang 5 Juli 2012

Jadi Tersangka Sejak Agustus 2011

Jumat, 29 Juni 2012, 11:00 WIB
Bekas Dirut Merpati Disidang 5 Juli 2012
Hotasi Nababan

RMOL. Hampir satu tahun, kasus sewa pesawat fiktif yang menyeret bekas Direktur Utama PT Merpati Hotasi Nababan sebagai tersangka, ngendon di Kejaksaan Agung.

Rencananya, Hotasi akan disidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang berada di bawah naungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Kamis, 5 Juli nanti. Bekas General Manajer Procurement PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) Tony Sudjiarto juga dijad­walkan menjalani sidang pertama pada hari yang sama.   

“Iya betul, berkas kedua ter­sangka itu sudah masuk. Kami se­dang melakukan persiapan per­sidangan,” ujar Kepala Humas Pe­ngadilan Negeri Jakarta Pusat Sujatmiko ketika dikonfirmasi Rakyat Merdeka.

Sujatmiko menjelaskan, jadwal si­dang perdana dua tersangka itu su­dah ditetapkan pihaknya. “Jad­­­w­al sidangnya, Kamis, 5 Juli, de­ngan Ketua Majelis Hakim Pang­er­an Napitupulu,” ujarnya, kemarin.

Menurut Kepala Pusat Penera­ngan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, berkas ter­sang­ka Hotasi Nababan dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Jakarta pada Jumat (22/6). Sedangkan ber­kas tersangka Tony Sudjiarto dilimpahkan pada Kamis (21/6).

“Penuntut umum untuk ter­dakwa Hotasi, yaitu Heru Wi­dar­moko, Frangky Sun dkk. Se­dang­kan penuntut umum untuk terd­ak­wa Tony adalah Rama Jasa Ma­nurung, Ismaya Hera W dkk,” katanya.

Pihak kejaksaan, lanjut bekas Ke­pala Kejaksaan Tinggi Ke­pu­lauan Riau ini, menunggu peneta­pan jadwal sidang yang biasanya diterima tujuh hari setelah pelim­pahan berkas dilakukan.

Sementara itu, berkas mantan Di­rektur Keuangan PT Merpati Nu­santara Airlines Guntur Ara­dea belum selesai. Tersangka yang satu ini masih dalam proses pe­nyi­dikan. “Masih diproses,” katanya.

Kasus sewa pesawat ini terjadi pa­da tahun 2006. Saat itu, Di­reksi PT MNA menyewa dua pe­sawat Boeing 737 dari Third­stone Air­caft Leassing Group Inc (TALG) di Amerika Serikat, seharga 500 ribu dolar AS untuk setiap pesawat.

Tapi, setelah dilakukan pem­bayaran sebesar satu juta dolar AS ke rekening lawyer yang di­tunjuk TALG, yakni Hume & As­sociates melalui transfer Bank Mandiri, hingga kini pesawat tersebut belum pernah diterima PT Merpati Nusantara Airlines. Seharusnya, sesuai perjanjian, pesawat tiba pada 5 Januari 2007 dan pada 20 Maret 2007.

Lantaran itu, lanjut Andhi, Ke­jaksaan Agung mencium indikasi korupsi sebesar satu juta do­lar Amerika Serikat atau sekitar Rp 9 miliar dalam kasus tersebut.

TALG diduga melanggar kon­trak karena tidak menyediakan dua pesawat jenis Boeing 737 seri 400 dan 500 yang dijanjikan se­belumnya. Padahal, Merpati telah mentransfer duit jaminan 1 juta dolar AS. Namun, duit yang dise­tor ke rekening lawyer yang di­tun­juk TALG, yakni Hume & Associates melalui transfer Bank Mandiri, tak bisa ditarik kembali.

Kebijakan mengirim uang ke re­kening lawyer itulah yang mem­buat Merpati sulit menarik kembali duit jaminan tersebut. Se­harusnya, duit jaminan disim­pan pada lembaga penjamin res­mi. Makanya, Kejaksaan Agung menyangka ada keinginan se­jumlah pihak untuk me­nye­le­weng­kan dana tersebut.

Kejaksaan Agung kemudian me­netapkan bekas General Ma­na­ger Air Craft Procurement PT MNA Tony Sudjiarto, bekas Di­rektur Utama PT MNA Hotasi Na­baban dan bekas Direktur Ke­uangan PT MNA Guntur Aradea sebagai tersangka perkara ko­rup­si yang merugikan negara sekitar Rp 9 miliar ini.

Tapi, Hotasi meminta Kejak­sa­an Agung tidak menge­sam­ping­­kan putusan Pengadilan Dis­trik Washington DC, Ame­rika Serikat mengenai pesawat yang tak kun­jung datang meski sudah dibayar. Menurutnya, Pe­ngadilan Distrik Washington me­nerima gugatan Merpati dan me­wajibkan TALG mengem­ba­li­kan uang milik Mer­pati.

“Upaya kami menggugat TALG menunjukkan tidak ada kongkalikong. Ini murni per­soalan wanprestasi. Bagi Mer­pati ini merupakan risiko bisnis,” katanya.

REKA ULANG

Cuma Kena Status Tahanan Kota

Sejak ditetapkan sebagai ter­sangka kasus sewa pesawat fik­tif, bekas Direktur Utama PT Mer­­pa­ti Nusantara Airlines (MNA) Ho­tasi Nababan, bekas Ge­neral Ma­najer Procurement PT MNA Tony Sudjiarto dan be­kas Direk­tur Ke­uangan PT MNA Guntur Ara­dea tidak ditahan Ke­jaksaan Agung.

Bahkan, hingga berkasnya di­limpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, tersangka Hotasi dan tersangka Tony tidak dimasukkan ke dalam rumah tahanan. “Mereka dike­na­kan tahanan kota. Itu tidak ma­salah,” kata Kepala Pusat Pene­ra­ngan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, kemarin.

Penanganan kasus ini di Kejak­saan Agung kerap dipertanyakan kalangan LSM dan DPR, sebab para tersangkanya tidak ditahan. Bah­kan, dari ketiga tersangka, ha­nya Guntur Aradea yang dikena­kan status cegah ke luar negeri.

Hotasi dan Guntur ditetapkan sebagai tersangka pada Agustus 2011 silam. Sementara Tony dite­tapkan sebagai tersangka pada 22 Desember 2011, berdasarkan su­rat perintah penyidikan (Sprintdik) Print 196/F.2/Fd.1/12/2011.

Sedangkan bekas Direktur Uta­ma PT MNA Cucuk Suryo­sup­rojo dan bekas Dirut PT MNA Sar­djono Jhoni hanya dimintai keterangan sebagai saksi kasus korupsi yang merugikan negara sekitar Rp 9 miliar ini. Cucuk di­periksa sebagai saksi pada 16 Agustus 2011, Sardjono diperiksa sebagai saksi pada 25 Mei lalu.

Menurut Sardjono Jhoni, yang pa­tut dipahami dalam kasus ini ada­lah, proses pengajuan penye­wa­an pesawat didasari kebutuhan Mer­pati yang saat itu tidak punya uang. “Kami butuh pesawat, tapi tidak punya uang, makanya di­pu­tuskan untuk menyewa. Merpati selalu merujuk pada kebijakan korporasi, bukan kebijakan per­orangan. Karena itu, kami me­ngikuti saja proses hukum yang berjalan,” ucapnya.

Kuasa hukum Hotasi, Law­rence TB Siburian mengatakan bah­wa penetapan kliennya seba­gai tersangka tidak tepat. Soal­nya, menurut dia, kasus sewa pe­sa­wat ini murni perkara perdata, bukan pidana. Lawrence menilai, Kejaksaan Agung terlalu memak­sakan diri menetapkan kasus ini ke ranah pidana.

Apalagi, lanjut Lawrence, tindak pidana korupsi harus me­miliki tiga unsur. Yakni melawan hukum, ada kerugian negara yang menguntungkan diri sendiri, orang lain atau koorporasi. “Ke­tiga hal tersebut harus terpenuhi, tidak bisa jika hanya ada satu un­sur,” katanya.

Lamanya Penyidikan Kasus Merpati Tidak Boleh Sia-sia

Yahdil Abdi Harahap, Anggota Komisi III DPR

Proses penyidikan kasus du­gaan sewa pesawat fiktif yang berjalan hampir satu tahun, me­nurut anggota Komisi III DPR Yahdil Abdi Harahap, semes­tinya menjadi modal yang kuat bagi kejaksaan untuk meng­ha­dapi proses pembuktian di pe­nga­dilan. Dengan kata lain, lama­nya proses penyidikan perkara korupsi ini tidak boleh sia-sia.

Yahdil juga mewanti-wanti jaksa penuntut umum (JPU) agar serius menjalani proses pembuktian dan kreatif me­ngem­bangkan kasus ini dalam persidangan di Pengadilan Tin­dak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. “Hakim pun bisa secara aktif melihat fakta-fakta keja­dian tersebut, dan menemukan hal-hal baru,” katanya, kemarin.

Menurut Yahdil, semua pro­ses sejak awal kasus ini terjadi, termasuk siapa saja pihak lain yang terlibat, semestinya dapat dibuktikan dalam persidangan. “Apakah ada pejabat negara dan pengusaha lain yang terlibat, misalnya. Nah, itu dalam kon­teks persidangan harus dikem­bangkan JPU dan majelis ha­kim,” tegasnya.

Karena itulah, lanjut Yahdil, da­lam persidangan sangat dibu­tuh­kan keaktifan JPU dan ma­jelis hakim mengembangkan ka­sus. “Sebab, bahan-bahan baru itu nantinya menjadi bahan berikutnya bagi jaksa untuk me­la­kukan penyidikan selan­jutnya,” ujar anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) ini.

Kemudian, para penyidik mes­ti betul-betul firm dalam melakukan penyidikan selanjut­nya itu. Sehingga, kelak betul-betul dapat dibuktikan dalam persidangan. “Jangan sampai dalam persidangan tidak cukup bukti. Sangat perlu kejelian un­tuk menangani kasus korupsi,” ujarnya.

Cepat Tuntaskan Dan Segera Ganti Kerugian Negara

Poltak Agustinus Sinaga, Ketua PBHI Jakarta

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Ja­karta Poltak Agustinus Sinaga mempertanyakan, kenapa ma­sih ada satu berkas tersangka ka­sus sewa pesawat ini yang be­lum dilimpahkan ke penga­di­lan. Sedangkan dua tersangka lainnya sudah memiliki jadwal persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta.  

“Kenapa berkas satu ter­sang­ka seperti sengaja dibuat lama? Kalau tidak mau dicurigai ma­sya­rakat, kejaksaan harus sege­ra melengkapinya dan me­ma­sukkannya ke pengadilan. Ka­lau dalam waktu dekat belum disidangkan, masyarakat akan bertanya-tanya, apakah ada per­mainan,” ingat Poltak, kemarin.

Menurut Poltak, bila model pengusutan terlalu lama atau lelet, tentu publik akan me­nyam­paikan kritikan dan me­minta pertanggungjawaban pe­negak hukum atas kinerjanya.

“Toh juga kerjaannya kejak­saan menyidangkan tersangka. Kalau tidak segera disidangkan, bisa dinilai tidak serius ker­ja­nya. Mereka bisa diminta per­tang­gungjawaban, karena me­reka digaji untuk itu,” katanya.

Dia menegaskan, jika negara sampai dirugikan sekitar Rp 9 miliar, tapi pelaku belum disi­dang­kan setelah kasus ini di­tangani hampir setahun, hal itu mengindikasikan bahwa pen­e­ga­kan hukum dan pemberan­ta­san korupsi belum serius.

“Dengan kerugian negara se­be­sar itu, sudah selayaknya apa­rat penegak hukum segera me­nyelesaikan kasus ini. Kemu­dian, uangnya dikembalikan ke­pada negara,” tandasnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA