WON Beber Kode K & P, Marzuki Alie Ngaku Heran

Kasus Suap Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah

Kamis, 28 Juni 2012, 09:45 WIB
WON Beber Kode K & P, Marzuki Alie Ngaku Heran
Wa Ode Nurhayati

RMOL. Terdakwa kasus suap dana percepatan pembangunan infrastruktur daerah (DPPID) Wa Ode Nurhayati terus “menembak” sana-sini.

Usaha Wa Ode Nurhayati (WON) membela diri dilakukan de­ngan membongkar misteri kode K dan P dalam pembahasan DPPID di DPR. Dia meminta ha­kim meng­hadirkan unsur pim­pi­nan DPR dan pimpinan Badan Anggaran (Banggar) DPR seba­gai saksi yang meringankannya.

Akan tetapi, upayanya me­nye­ret pimpinan DPR dan pimpinan Banggar DPR, belum bisa ber­jalan mulus. Soalnya, kesaksian terdakwa kasus suap DPPID ta­hun 2011 ini, tak begitu saja di­te­rima majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Hakim cenderung me­nerima keberatan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK).

JPU menilai, susbstansi pem­belaan yang diajukan WON tidak relevan. Dengan kata lain, materi pembelaan WON yang menyeret sejumlah politikus Senayan, di­anggap tidak sesuai pokok per­kara. Lantaran itu, JPU meminta hakim menolak pembelaan diri terdakwa.

Namun, WON melalui kuasa hukum yang juga kakaknya, Wa Ode Nur Zaenab hingga kemarin tetap berupaya agar keterangan kliennya menjadi bahan untuk menuntaskan perkara ini secara menyeluruh.

Zaenab bersikukuh, perkara korupsi yang membuat adiknya menjadi terdakwa ini, merupakan skenario besar. Dia me­nya­yang­kan, mengapa penyidik dan JPU KPK tidak menyinggung dugaan keterlibatan pimpinan DPR dan pimpinan Banggar DPR dalam surat dakwaan. Padahal se­be­lum­nya, kliennya berkali-kali telah menyampaikan hal tersebut ke­pada penyidik. Kesaksian lain pun, se­butnya, menyinggung hal senada.

Dia menyayangkan sikap KPK yang tidak tegas  menin­dak­lanjuti fakta persidangan. Me­nurutnya, sejak kasus ini ma­suk persi­da­ngan, lembaga super­bodi itu be­lum me­ngagendakan pe­me­rik­sa­an lan­ju­tan terhadap elit DPR yang nama­nya terung­kap dalam proses pe­nyidikan dan di pe­ngadilan.

Dikonfirmasi seputar tudingan WON yang menyebut kode K adalah pimpinan DPR menerima dana Rp 300 miliar, empat wakil ketua DPR dijatah Rp 250 miliar, Ketua DPR Marzuki Ali menga­ku he­ran. Dia mengatakan, unsur pi­m­pinan tidak tahu menahu ikh­wal pembahasan anggaran.

Menurut politisi Partai De­mok­rat ini,  aneh apabila ada penga­kuan yang menyebutkan, pim­pi­nan DPR menerima aliran dana proyek pembahasan suatu ang­garan. Soalnya, selaku pimpinan DPR, dia tidak pernah terlibat soal pembahasan anggaran. Lagi­pula sesuai aturan, masalah ang­garan sudah ada yang menangani. “Ketua dan pimpinan DPR tidak bisa ikut campur,” tuturnya.

Lebih jauh, disinggung me­nge­nai permintaan kubu WON agar Marzuki dihadirkan di persida­ngan, ditanggapi dingin. Dia me­ngemukakan, jika pegadilan mem­butuhkan keterangannya, dia siap memberi penjelasan se­ba­tas apa yang diketahuinya.

Diketahui sebelumnya, dalam sidang pembacaan tuntutan, jaksa menuntut WON hukuman pen­jara selama 20 tahun. Terdakwa juga diancam membayar denda maksimal Rp 10 miliar.

Tuntutan ganti rugi diajukan lantaran jaksa menilai, WON secara sengaja menyembunyi­kan atau me­nya­mar­kan asal-usul  harta keka­yaan­nya sebesar Rp 50.595.979.593,77 di re­ke­ning no.102-00-0551613-0 Bank Mandiri KCP Jakarta DPR.

Jaksa beranggapan, dana yang ter­parkir di rekening WON se­nilai Rp 50,5 miliar tersebut, di­duga diperoleh terdakwa saat melakukan pembahasan ang­garan proyek DPPID dengan total Rp 7,7 triliun.

KPK Akan Usut   Pihak-pihak Lain

Andi W Syahputra, Koordinator LSM Gowa

Koordinator LSM Gover­ment Watch (Gowa) Andi W Syahputra meminta pengusutan kasus mafia anggaran dila­ku­kan secara cermat dan terbuka. Ja­ngan sampai, dugaan keter­libatan elit politik lainnya di sini tak terungkap atau menguap begitu saja.

“Ini momentum bagus untuk menindaklanjuti kasus mafia anggaran di DPR. Pintu masuk ini hendaknya tidak disia-sia­kan,” tandasnya, kemarin.

Penegak hukum yang ber­kom­peten mengusut kasus ini, idealnya menjadikan fakta per­sidangan sebagai input untuk menyelesaikan perkara tesebut. Namun di lain sisi, ia meng­i­ngat­­kan, pengusutan kasus ini tak bisa dilakukan sembara­ngan. Jangan sampai, informasi awal yang berkembang di per­sidangan justru menjadi alat un­tuk menyerang harkat dan martabat orang lain.

“Apalagi ini menyangkut  pim­pinan DPR, mekanisme pe­meriksaannya tak bisa sem­ba­ra­ngan. Tuduhannya harus diiku­ti bukti-bukti yang jelas,” katanya.

Kendala teknis seputar peme­riksaan pimpinan DPR itu, hen­daknya disikapi secara pro­fe­sio­nal. Dia percaya, penyidik KPK mempunyai teknik tersendiri da­lam mengungkap dugaan ma­fia anggaran di DPR. Seperti ka­sus korupsi pengadaan pema­dam ke­ba­karan (damkar) yang ak­hirnya menyentuh ke­ter­li­ba­tan Hari Sabarno, Menteri Da­lam Ne­geri saat pengadaan itu dilakukan.

Kalaupun saat ini kasus per­mainan anggaran tersebut baru menyeret Wa Ode Nurhayati dan koleganya, dia optimis bah­wa KPK tetap mencermati du­gaan keterlibatan pihak lainnya. Dia pun meminta DPR mene­lu­suri dugaan penyelewengan ang­gotanya melalui Badan Ke­hormatan (BK) hendaknya di­optimalkan juga.

Minta Wa Ode Sertakan Bukti

Nudirman Munir, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Nudirman Munir meminta Wa Ode Nurhayati tak sekadar me­nu­duh, tapi juga menyer­takan bukti-bukti. Jika tidak, buah dari tuduhan tersebut akan ber­balik menyerang Wa Ode.

Bekas Wakil Ketua Badan Ke­hormatan (BK) DPR ini me­ngingatkan, seluruh anggota dan pimpinan DPR taat azas hu­kum. Dengan begitu, tak ada ala­san untuk menghindar dari tanggungjawab hukum. “Prin­sipnya, semua warga negara sama kedudukannya dalam hukum,” katanya.

Dia berpandangan, seluruh persoalan menyangkut Wa Ode su­dah ditangani penegak hu­kum. Dengan begitu, DPR menghormati proses hukum yang berjalan.

Kalaupun dalam persida­ngan mencuat nama-nama yang diduga terkait ma­salah tersebut, hal itu meru­pa­kan hal yang umum dalam upa­ya men­cari keadilan.

Karena itu, hakim di sini me­miliki peran paling pokok. Dia menyebut, hakim punya otoritas mutlak dalam menentukan arah persidangan. Bila  merasa perlu memanggil orang yang disebut terdakwa, pasti hal itu dilaku­kan berdasarkan pertimbangan hukum. Bukan berdasarkan pada aspek lain.

Lebih jauh, dia meng­ha­rap­kan pengungkapan fakta di per­sidangan kasus ini berjalan se­la­yaknya. Dengan begitu, apa-apa yang menjadi keberatan terdakwa maupun fakta-fakta yang terungkap di sidang akan terbuka secara gamblang. Dari situ tentunya, hakim akan bisa memutus perkara secara pro­porsional.  [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA