Lima Pakar KLH Dipanggil Jadi Saksi Kasus Chevron

Lanjutan Perkara Yang Diduga Rugikan Negara Rp 200 M

Sabtu, 23 Juni 2012, 10:42 WIB
Lima Pakar KLH Dipanggil Jadi Saksi Kasus Chevron
PT Chevron Pacific Indonesia
RMOL. Penyidik Kejaksaan Agung memanggil lima anggota Dewan Pakar Kementerian Lingkungan Hidup, terkait proyek fiktif pemulihan tanah  bekas lahan esksplorasi minyak PT Chevron Pacific Indonesia.

Lima anggota Dewan Pakar Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) itu dipanggil sebagai sak­si, karena diduga mengetahui re­ka­yasa proyek pemulihan tanah dengan sistem bioremediasi itu.

“Pemeriksaan terhadap Dewan Pakar dari KLH itu terkait reko­mendasi dan pemberian izin bio­re­mediasi, serta pemberian peng­har­gaan kepada PT Chevron ka­re­na dianggap berhasil dalam me­lakukan pengelolaan ling­ku­ngan,” kata Kepala Pusat Pe­ne­rangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman.

Tim penyidik telah menyam­pai­kan surat panggilan kepada lima orang Dewan Pakar Ke­menterian Lingkungan Hidup itu sebagai saksi, yakni Prof Chandra Setiadi, Dr Edwan Kardena, Prof Ya­yat Dhahiyat, Dr Herry Y Ha­dikusumah dan Dr Suwarno.

“Hingga pukul 12 siang, yang telah hadir empat orang. Prof Chandra Setiadi tidak hadir, de­ngan alasan ada kesibukan lain. Surat keterangannya ada,” ujar Adi pada Senin lalu (18/6).

Menurut Adi, penyidik akan mendalami, apakah lima orang De­wan Pakar KLH itu terlibat per­­kara proyek fiktif yang di­taksir merugikan negara Rp 200 mi­liar ini. “Kita harus melihat ha­sil pemeriksaan secara ke­se­lu­ru­han terlebih dahulu. Kalau me­mang ditemukan alat bukti yang cukup, tidak tertutup kemung­ki­nan akan ditetapkan sebagai ter­sangka,” tandasnya.

Sementara itu, pihak Ke­men­terian LH belum melakukan tin­da­kan terhadap sejumlah pakar­nya yang diduga juga berperan sebagai ahlinya Chevron. “Sam­pai hari ini kami belum konsultasi dengan biro hukum kami, dan para pakar belum menginfokan juga kepada kami. Mereka adalah pakar di bidangnya, sehingga setiap pihak yang meminta me­reka untuk memberikan masukan terkait kepakarannya, tidak ma­sa­lah kan?” kata Deputi Bidang Pe­ngelolaan Bahan Beracun Ber­bahaya (B3), Limbah dan Sam­pah KLH Masnellyarti Hilman saat dihubungi, Senin lalu.

Kendati begitu, perempuan berpanggilan Nelly ini mengaku, Kementerian LH menghormati proses hukum yang tengah ber­jalan di Kejaksaan Agung. “Kami mengikuti saja proses hukum yang berjalan. Mengingat masih dalam penyidikan, kita tunggu saja perkembangannya dari jak­sa,” kata dia.

Kasus proyek fiktif pemulihan lingkungan ini, berawal dari per­janjian antara Badan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan PT Chev­ron Pasific Indonesia (CPI). Sa­lah satu poin perjanjian itu me­ngatur tentang biaya untuk mela­kukan pemulihan lingkungan de­ngan cara bioremediasi.

Bioremediasi adalah teknik penormalan tanah setelah terkena limbah minyak. Kegiatan bio­re­mediasi ini seharusnya dilakukan sejak tahun 2003 hingga 2011. CPI telah menunjuk dua peru­sa­haan untuk melakukan bio­re­me­diasi, yaitu PT Green Planet In­donesia (GPI) dan PT Sumigita Jaya (SJ).

Kegiatan bioremediasi yang seharusnya dilakukan selama per­janjian berlangsung, diduga tidak dilaksanakan dua perusahaan swasta yang ditunjuk Chevron, yaitu PT GPI dan PT SJ. Padahal, un­tuk melakukan bioremediasi, anggaran sebesar 270 juta Dolar Amerika Serikat telah diajukan ke BP Migas dan sudah dicairkan. Program bioremediasi itu diduga fiktif, sehingga menurut taksiran Kejaksaan Agung, negara dirugi­kan sebesar 270 juta Dolar AS atau sekitar Rp 200 miliar.

Nah, Kejaksaan Agung juga menelisik dugaan keterlibatan oknum-oknum Kementerian Ling­kungan Hidup yang mem­beri rekomendasi kepada BP Migas, agar membayar klaim proyek bioremediasi itu kepada PT Chevron.

Menurut Jaksa Agung Muda Tin­dak Pidana Khusus Andhi Nir­wanto, dugaan keterlibatan pi­hak Kementerian LH dan BP Mi­gas akan didalami. Tapi, prioritas saat ini adalah melihat terlebih dahulu hasil uji laboratorium ter­hadap 20 sampel tanah hasil bio­remediasi di Duri, Riau.

“Akan didalami lebih lanjut setelah kami mendapatkan hasil yang pasti dari uji laboratorium,” katanya.

REKA ULANG

Semua Tersangka Dari Pihak Swasta

Kejaksaan Agung telah me­netapkan tujuh tersangka kasus ini. Ketujuh tersangka itu berasal dari PT Chevron Pasific Indo­ne­sia (CPI), PT Green Planet Ind­o­ne­sia (GPI) dan PT Sumigita Jaya (SJ). Belum ada tersangka dari pihak pemerintah.

Tapi, seorang pejabat Kejak­sa­an Agung menceritakan ke­cu­ri­ga­annya, mengapa oknum-ok­num Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) malah berperan se­perti ahlinya PT CPI dalam kasus yang diduga merugikan negara Rp 200 miliar ini.

Sumber ini menyampaikan, saat uji laboratorium digelar di Pu­sat Sarana Pengendalian Dam­pak Lingkungan, Serpong, Ban­ten, oknum-oknum itu hadir. Tapi, posisinya seperti ahli dari PT Chevron. Bukan pengawas dari negara. “Pihak KLH itu bi­lang, proyek bioremediasi ter­se­but oke,” ceritanya.

Namun, lanjut dia, setelah dita­nya secara mendalam oleh pakar yang diajukan Kejagung, pakar-pa­kar KLH itu akhirnya diam. Soal­nya, penilaian bahwa proyek itu sudah dilakukan secara benar, tid­ak didasarkan pada hasil pe­ne­litian. Soalnya, KLH tidak me­mi­liki salah satu alat yang di­bu­tuh­kan untuk uji lab itu. Sehingga, ke­terangan ok­num itu bahwa pro­yek tersebut sudah dilaksanakan secara benar, diragukan Ke­jak­saan Agung.

Padahal, rekomendasi dari KLH dijadikan instrumen bagi Ba­dan Pelaksana Usaha Hulu Mi­nyak dan Gas Bumi (BP Migas) untuk membayar klaim proyek bioremediasi ini. “Tim pakar pe­me­rintah yang semestinya me­nga­wasi, justru menjadi tim ahli dari CPI. Bagaimana mau me­nga­wasi kalau begitu,” katanya.

Deputi Bidang Pembinaan Tek­nis Lingkungan dan Pening­katan Kapasitas KLH Henry Bas­taman mengaku akan mengecek i­nformasi itu. Benarkah ada pihak KLH yang juga berperan sebagai ahlinya PT CPI.

“Saya belum memperoleh in­for­masi mengenai hal ini. Kami akan mendalami ka­sus ini lebih cermat, serta meng­konfirmasi ke­pada bidang yang menangani ka­sus lingkungan di KLH,” kata Henry ketika dikonfirmasi.

Untuk mendalami kasus pro­yek fiktif pemulihan bekas lahan eksplorasi PT CPI, Kejaksaan Agung menggelar uji labo­ra­to­rium. Tapi, menurut Direktur Pe­nyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Arnold Angkouw, hasil uji lab itu kurang maksimal. Soalnya, peralatan milik Ke­men­terian Lingkungan Hidup (KLH) sebagai pihak yang menjadi tuan rumah uji lab itu, tidak memadai.

Menurutnya, uji lab di Pusat Sa­rana Pengendalian Dampak Ling­kungan, Serpong, Banten pada Se­nin (4/6) itu menyisakan satu sam­pel yang tak bisa diuji, yaitu total petroleum hidrocarbon (TPH).  “Un­tuk uji TPH, mereka tidak bisa, tidak ada alatnya,” ujar Arnold se­usai mengikuti uji la­boratorium itu.

Kata Arnold, ada tiga sampel yang harus diuji, yaitu pH, TCLP dan TPH. TPH itu sangat berke­na­an dengan logam berat dan minyak. “Itu adalah sampel yang sangat penting,” katanya.

Mesti Ada Jaminan Tidak Masuk Angin

Alex Sato Bya, Bekas Jamdatun

Bekas Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Alex Sato Bya me­nga­takan, penyidik Kejaksaan Agung harus memberikan ja­minan bahwa pengusutan kasus proyek fiktif bioremediasi PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) tidak akan masuk angin.

Menurut Alex, penanganan ka­sus ini sudah saatnya me­ma­suki ta­hap baru, yakni proses pe­ngad­i­lan. “Jangan sampai kasus masuk angin, itu akan me­ngun­dang ke­curigaan. Yang ter­pen­ting, Di­rek­tur Penyidikan dan Koor­dinator Tim Penyidik agar memberikan jaminan bah­wa per­kara ini naik ke pen­un­tutan,” ujarnya.

Pria yang selama 40 tahun be­kerja di kejaksaan ini me­wanti-wanti, penyidik jangan mencoba-coba bernegosiasi atau memberikan peluang ke­pa­da pihak-pihak yang akan mem­buat proses pengusutan me­le­mah. “Jangan berlama-lama ka­s­us ini di tingkat penyidikan. Saya khawatir kalau terlalu lama di penyidikan, akan tidak efek­tif, malah menimbulkan kecu­ri­gaan masyarakat,” kata Alex.

Apalagi, kasus bioremediasi fiktif ini bukanlah perkara kecil, sebab hitungan kasar kerugian ne­gara yang ditimbulkannya saja sudah mencapai Rp 200 miliar. “Bayangkan bila uang sebesar itu digunakan untuk mem­bangun sekolah-sekolah dan sarana pendidikan, bukan­kah akan sangat berguna bagi bangsa ini?” tandas bekas Ketua Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (Kappi) Sumatera Se­latan angkatan 66 ini

Alex berharap, kasus ini di­bongkar sampai tuntas di pe­nga­dilan. Pihak pemerintah yang diduga terlibat, tak boleh diistimewakan. “Kasus ini su­dah terang benderang, untuk apa lagi dibuat lama. Jangan di­biarkan berlarut-larut. Segera saja masuk ke pengadilan. Nanti di pengadilan dibongkar saja. Silakan setiap pihak me­ng­aj­u­kan bukti-bukti.”

Ada Kesan Berputar-putar

Achmad Basarah, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Ach­mad Basarah mendesak Ke­jaksaan Agung agar lebih ce­katan memroses kasus korupsi bioremediasi fiktif ini. Se­hing­ga, penanganan kasus ini tidak terkesan berputar-putar saja.

Dia pun mengingatkan Ke­jak­saan Agung agar jangan mem­buat celah yang tidak pen­ting untuk menjadi wadah mem­perlambat pembuktian kasus sebenarnya.

“Kejaksaan Agung jangan pa­kai ilmu penari ular yang ha­nya menari-nari di tempat da­lam mengusut kasus bio­re­media­si fiktif ini,” ujar Achmad Basarah.

Menurutnya, oknum Kemen­terian Lingkungan Hidup dan BP Migas yang diduga terlibat pun mesti diusut tuntas. “Perlu didalami, apakah lemahnya pe­nga­wasan oleh KLH meru­pa­kan grand desain atas ber­lang­sungnya proyek fiktif bio­re­me­diasi itu selama bertahun-tahun. Patut didalami juga, apakah ada pejabat di lingkungan BP Migas yang  merupakan bagian dari ka­sus ini,” ujarnya.

Basarah menambahkan, pa­kar pihak pemerintah se­mes­ti­nya tidak berperan ganda s­e­ba­gai pakarnya PT Chevron Pa­sific Indonesia. Sehingga, tidak ada konflik kepentingan dalam per­kara yang diperkirakan Ke­jaksaan Agung merugikan ne­gara sekitar Rp 200 miliar ini.

Kejaksaan Agung pun, lanjut dia, jangan sampai punya pe­ra­saan takut mengusut tuntas du­gaan korupsi yang melibatkan perusahaan asing itu. “Kasus ini justru menjadi momentum bagi Ke­jaksaan Agung bahwa me­reka juga bisa bersikap tegas kepada perusahaan asing sekali pun, jika melanggar aturan,” kata Basarah.

Bagaimana pun, lanjut dia, penegak hukum Indonesia, ha­rus menegakkan hukum di wi­la­yah Indonesia, dan melin­du­ngi kepentingan Negara dan Bang­sa Indonesia.

“Jangan sam­pai sebagai bang­sa, kita di­bo­dohi orang asing. Mereka me­nggembor-gem­bor­kan negara kita sebagai negara korup, tapi di perusahaan milik mereka terjadi kasus korupsi,” ujarnya.  [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA