RMOL. Setelah menahan seorang bekas Direktur Utama BPD Riau, polisi membidik tersangka baru kasus pembobolan BPD Riau yang diduga merugikan negara Rp 35,2 miliar.
Polisi akan menetapkan DirekÂtur PT SP yang berinisial AW seÂbagai tersangka. Soalnya, AW diÂduga bekerjasama dengan DiÂrekÂtur Utama Bank Pembangunan DaeÂrah (BPD) Riau ZT dalam meÂlakukan pembobolan dana BPD Riau sebesar Rp 35,2 miliar.
Menurut Kepala Divisi Humas Polri Irjen Saud Usman Nasution, AW masuk prioritas penyidik unÂtuk dijadikan tersangka. MakÂsudÂnya, begitu yang bersangkutan menjalani pemeriksaan, statusnya akan langsung ditetapkan sebagai tersangka. “Kita prioritaskan itu,†katanya.
Namun, penyidik Direktorat III Tipikor Bareskrim Polri masih terkendala untuk memeriksa AW. Soalnya, yang bersangkutan beralasan sakit. Menurut bekas Direskrim Polda Maluku ini, AW tengah menjalani opname.
Dia tak bersedia menyebutkan jenis penyakit dan rumah sakit yang jadi rujukan AW untuk menÂjalani perawatan. Yang jelas, suÂrat keterangan dari yang berÂsangÂkutan sudah diterima penyidik. Isi surat menerangkan ikhwal saÂkit dan opname yang memÂbuatÂnya tak bisa memenuhi panggilan polisi. “Suratnya jelas. Dia pun berÂobat di rumah sakit di dalam neÂgeri. Bukan di luar negeri. DeÂngan begitu, kami tidak terÂlamÂpau khawatir AW melarikan diri atau buron,†ujarnya.
Untuk kepentingan penyiÂdiÂkÂan, lanjut bekas Kepala Bidang PeÂnerangan Umum Polri ini, keÂpolisian juga sudah berkoordinasi deÂngan Ditjen Imigrasi KeÂmenÂterian Hukum dan HAM. KoorÂdinasi dengan Imigrasi ditujukan agar AW tidak bisa melarikan diri ke luar negeri.
Menurut Saud, seluruh aset AW pun sudah diinventarisir keÂpolisian. Inventarisasi itu untuk memÂpermudah penyitaan aset yang bersangkutan. “Koordinasi dengan BI untuk kepentingan pemÂblokiran rekening sudah diÂlakÂsanakan kepolisian,†ujar beÂkas Kepala Detasemen Khusus 88 Anti Teror ini.
Selain rekening, aset AW yang dibekukan polisi itu antara lain berbentuk rumah, kantor, ruko dan sejumlah unit kendaraan roda empat. Saud tak mau merinci dimana aset tersebut tersebar dan berapa nilai totalnya. Dia hanya meÂnyebut, aset itu sebagian besar berada di Pekanbaru dan Batam. Sisanya, ada yang diinventarisir berada di Jakarta. “Aset dalam bentuk lain masih ditelusuri,†ucapnya.
Saud menginformasikan, AW pernah datang memenuhi pangÂgilan penyidik. Dalam keteÂrangÂanÂnya, dia menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan penguÂcurÂan kredit dari BPD Riau. KeteÂrangÂan AW dikategorikan tak berÂbelit-belit. Dari situ, peÂnyiÂdik mengasumsikan, AW tak menyulitkan proses penyelidikan dan penyidikan.
Dengan kata lain, tandas Saud, AW yang pernah memberi kesakÂsian untuk tersangka bekas Dirut BPD Riau, ZT, menjelaskan seÂcara ruÂnut mekanisme penguÂcurÂan kreÂdit yang diduga disaÂlahÂguÂnaÂkanÂnya. Dia juga membawa doÂkumen-dokumen kredit yang diÂajukan kepada BPD Riau pada 2003.
Dokumen yang dimaksud antara lain, dokumen persetujuan kredit, dokumen persetujuan dari Dirut BPD, serta dokumen lain yang berkaitan dengan prosedur pengajuan kredit. Saksi-saksi dari internal bank yang diperiksa polisi pun, tambah Saud, secara garis besar mengaku tak pernah memproses permohonan kredit atas nama AW.
Jadi, tegas Saud, proses kredit hanya diketahui tersangka ZT yang saat itu menjadi tampuk pimÂpinan BPD. “Dia menyaÂlahÂgunakan wewenang dalam memÂberikan kredit kepada nasabah BPD,†tandasnya. Tapi, Saud beÂlum mau menjelaskan bagaimana teknis pencairan kredit dilakÂsanaÂkan.
Penyalahgunaan wewenang itu, menurut sumber di lingÂkungÂan Dit Tipikor Bareskrim Polri, dikuatkan keterangan saksi bekas keÂpala bidang perkreditan BPD. Menurut dia, pengajuan kredit atas nama AW, sama sekali tak perÂnah masuk dan diproses biÂdang perkreditan. “Semestinya, peÂngucuran kredit sebesar itu diÂputuskan direksi dan komisaris serta bidang perkreditan. Bukan oleh Dirut saja,†tuturnya.
Dugaan penyimpangan kredit bertahun-tahun ini, baru terkuak ketika manajemen BPD mengÂalami kegoncangan. Setelah diteliti, manajemen menemukan duÂgaan, kebocoran dipicu penyaÂluran kredit ke PT SP.
Dalam penelusuran itu dikeÂtaÂhui, PT SP diduga tak mÂengÂguÂnakan kredit BPD untuk pemÂbayaran ruko dan mall seperti yang tertera dalam form pengÂajuÂan kredit. “Bagaimana BPD mau meÂnyita aset kreditor, kalau terÂnyata dana itu tidak digunakan untuk membeli ruko dan mall,†jelasnya.
Lantaran itu, manajemen menÂduga ada penyalahgunaan kredit yang disalurkan tersangka ZT keÂpada AW. Keterlibatan pegawai BPD dalam kasus ini pun masih diÂtelusuri. Pasalnya, sambung dia, pencairan kredit yang begitu beÂsar semestinya lewat beberapa bagian di BPD. “Ini masih diÂkemÂbangkan. Apa mungkin Dirut bisa mencairkan kredit tanpa bantuan pihak lain. Lalu, apakah bank bisa memberi kredit tanpa agunan atau jaminan, alias hanya berdasarkan permintaan Dirut.â€
REKA ULANG
Kerugian Negaranya Sudah Dihitung BPKP
Kasus dugaan pembobolan Bank Pembangunan Daerah (BPD) Riau ini, bermula pada 2003. Saat itu, ZT sebagai DiÂrektur Utama BPD Riau meÂnyaÂlurkan kredit sebesar Rp 35,2 miÂliar kepada AW selaku Direktur PT SP yang berlokasi di SekuÂpang, Batam.
“Dia melakukan penyalahÂguÂnaÂan wewenang, yakni saat menÂjabat sebagai Dirut BPD Riau, tidak memenuhi ketentuan pemÂberian kredit sebesar Rp 35,2 miÂliar,†kata Kepala Divisi HuÂmas Polri Irjen Saud Usman Nasution.
Menurut Saud, ZT tak memeÂnuhi ketentuan pemberian kredit seÂperti tertuang dalam Surat KeÂputusan Direksi Nomor 35 tangÂgal 29 Mei 2001 tentang PeÂdomÂan Pemberian Kredit Investasi, SuÂrat Keputusan Direksi BPD Riau Nomor 48 tentang Komite Kredit Bank Pembangunan DaeÂrah Riau, dan Surat Keputusan NoÂmor 19 tanggal 26 Maret 2001 tenÂtang wewenang pemberian kredit. “Tanpa proses yang lazim, dia langsung memproses kredit itu sendiri dengan pertimbangan, kreÂdit digunakan untuk take over sebuah mall dan 39 ruko yang terdapat di Batam,†katanya.
Tapi setelah ditelusuri, mall dan ruko tersebut dibayai dari luar kredit yang dikeluarkan BPD Riau. Bahkan, 39 ruko itu milik orang lain, bukan atas nama PT SP. Akibat hal tersebut, Badan PeÂngawasan Keuangan dan PemÂbangunan (BPKP) menaksir terÂjadi penyelewengan uang neÂgara seÂbesar Rp 35,2 miliar di BPD Riau.
Atas temuan audit BPKP itu, pada 21 April 2011, pihak BPD Riau dan BPKP melaporkan hal tersebut ke Mabes Polri. Setelah dilakukan pemeriksaan selama setahun lebih, akhirnya pada 30 Mei 2012, ZT ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Rumah Tahanan Bareskrim Mabes Polri.
Menurut Saud, Direktur PT SP yang berinisial AW, diduga mengÂgunakan kredit itu untuk unÂtuk kepentingan pribadi. “Kasus ini masih dalam penyidikan dan peÂngembangan,†katanya.
Tersangka kasus ini, ZT dianÂcam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi Undang UnÂdang Nomor 20 tahun 2001 tenÂtang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 KUHP.
Saud menambahkan, penyidik sudah memeriksa 22 saksi kasus ini. Termasuk di dalamnya, dua saksi saksi ahli yang berasal dari BPKP dan Bank Indonesia.
Bukan Sebatas Perkara Korupsi
Yenti Garnasih, Pengamat Pencucian Uang
Dosen Fakultas Hukum UniÂversitas Trisakti Yenti Garnasih meÂnilai, pengusutan kasus peÂnyelewengan kredit BPD Riau cukup kompleks. PenguÂsutÂannya tak bisa hanya mengacu pada persoalan korupsi. Di daÂlamnya patut diduga terdapat pula tindak pidana pencucian uang. “Penyidik harus jeli meliÂhat persoalan ini,†katanya.
Dia memandang, unsur penÂcuÂcian uang bisa terlihat dari pola tersangka mengucurkan kreÂdit hingga peruntukan dana yang dialihkan dari tujuan seÂmula. Semestinya, pemohon mengÂgunakan uang hasil kredit dari BPD untuk membeli 19 ruko dan mall. Tapi, uang terÂsebut diduga diperuntukan bagi kepentingan lain.
Dari perspektif itu, unsur penÂÂcucian uang sudah bisa diangÂgap cukup.
Lebih jauh, jika dilihat keÂmana saja aliran dana kredit itu dialokasikan, penyidik hendakÂnya tidak ragu-ragu mengorek keÂterangan pihak-pihak yang rekeningnya sempat dialiri dana peÂmohon kredit. “Unsur-unsur itu cukup untuk dijadikan seÂbaÂgai bukti adanya praktik penÂcucian uang,†ujarnya.
Intinya, ketelitian dan kecerÂmatÂan penyidik mengungkap kasus ini akan jadi tolok ukur daÂlam menentukan pengusutan skandal pencucian uang.
Dia juga mengingatkan, perÂhatian hendaknya tidak berÂtumÂpu sebatas pengusutan maÂsalah hukum dalam kasus ini. Unsur pencegahan dan upaya pemÂbiÂnaan dalam proses penegakan hukum menyangkut persoalan perbankan, saat ini sangat diÂbutuhkan. “Supaya pengelolaan uang bank ke depannya bisa lebih dipertanggungjawabkan.â€
Untuk hal itu, diperlukan koorÂdinasi yang terus-menerus anÂtara penegak hukum, lemÂbaga otoritas pengawas perÂbankan serta internal bank. LeÂwat koordinasi tersebut dihaÂrapÂkan, kemungkinan terjadinya tindak pidana pada sektor perÂbankan bisa diminimalisir.
Soalnya, kejahatan yang teÂrus-menerus terjadi di sektor perÂbankan, bisa berdampak buÂruk pada perekonomian neÂgara. Untuk itu, pengelolaan bank yang profesional menjadi damÂbaan masyarakat, yang pada persoalan ini menempati posisi seÂbagai nasabah.
“Nasabah jelas tidak ingin, investasi yang diÂtanamkan di bank justru hiÂlang akibat keÂteÂledoran peÂngeÂlola bank,†tuturÂnya.
Selalu Libatkan Pelaku Profesional
Andi Rio Idris Padjalangi, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Andi Rio Idris Padjalangi meÂnyatakan, persoalan kejahatan di dunia perbankan selalu meÂlibatkan pelaku profesional. Biasanya, selain ada keterÂliÂbatan orang luar, peranan orang dalam bank juga menentukan keberÂhasilan menguras uang di bank.
Bank Indonesia dan otoritas pengawas perbankan, idealnya senantiasa mengevaluasi kiÂnerÂja bank. Dengan begitu, kondisi kesehatan perbankan bisa diÂukur dan terjamin. “Prinsipnya, unsur pengawasan bank harus diÂintensifkan,†katanya.
Dia mengakui, mekanisme peÂngawasan terhadap perÂbankÂan seringkali memicu persoalan tersendiri. Intervensi pihak luar kadang membuat bank merasa tidak nyaman menjalankan operasional mereka. Tapi, dia menggarisbawahi, pengawasan lembaga eksternal kepada bank tetap harus bisa dilakukan sesuai prosedur yang ada. ApaÂbila bank tertentu dikategorikan kondisinya masuk kriteria berÂbahaya, mau tidak mau mereka harus menerima konsekwensi tersebut.
“Langkah itu hendaknya dilaÂkukan dengan cepat. Sehingga tidak menimbulkan dampak buruk terhadap nasabah dan perekonomian secara meluas,†tandasnya.
Anggota DPR dari Partai Golkar ini menduga, penyeÂleÂweÂngan seperti itu bukan hanya terjadi di BPD Riau. Tapi, juga terjadi di bank-bank nasional mauÂpun bank-bank di daerah.
Selebihnya, dia meminta internal bank lebih hati-hati mengelola produk perbankan yang ditawarkan kepada maÂsyaÂrakat, serta meningkatkan keÂmamÂpuan sumber daya manusia yang dimilikinya. Sehingga, keÂmungkinan adanya pembobolan maupun kejahatan perbankan setidaknya bisa diantisipasi leÂbih dini. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: