Polisi Bidik Tersangka Baru Kasus Pembobolan BPD Riau

Tangani Perkara Yang Rugikan Negara Rp 35,2 M

Selasa, 19 Juni 2012, 09:16 WIB
Polisi Bidik Tersangka Baru Kasus Pembobolan BPD Riau
Irjen Saud Usman Nasution

RMOL. Setelah menahan seorang bekas Direktur Utama BPD Riau, polisi membidik tersangka baru kasus pembobolan BPD Riau yang diduga merugikan negara Rp 35,2 miliar.

Polisi akan menetapkan Direk­tur PT SP yang berinisial AW se­bagai tersangka. Soalnya, AW di­duga bekerjasama dengan Di­rek­tur Utama Bank Pembangunan Dae­rah (BPD) Riau ZT dalam me­lakukan pembobolan dana BPD Riau sebesar Rp 35,2 miliar.

Menurut Kepala Divisi Humas Polri Irjen Saud Usman Nasution, AW masuk prioritas penyidik un­tuk dijadikan tersangka. Mak­sud­nya, begitu yang bersangkutan menjalani pemeriksaan, statusnya akan langsung ditetapkan sebagai tersangka. “Kita prioritaskan itu,” katanya.

Namun, penyidik Direktorat III Tipikor Bareskrim Polri masih terkendala untuk memeriksa AW. Soalnya, yang bersangkutan beralasan sakit. Menurut bekas Direskrim Polda Maluku ini, AW tengah menjalani opname.

Dia tak bersedia menyebutkan jenis penyakit dan rumah sakit yang jadi rujukan AW untuk men­jalani perawatan. Yang jelas, su­rat keterangan dari yang ber­sang­kutan sudah diterima penyidik. Isi surat menerangkan ikhwal sa­kit dan opname yang mem­buat­nya tak bisa memenuhi panggilan polisi. “Suratnya jelas. Dia pun ber­obat di rumah sakit di dalam ne­geri. Bukan di luar negeri. De­ngan begitu, kami tidak ter­lam­pau khawatir AW melarikan diri atau buron,” ujarnya.

Untuk kepentingan penyi­di­k­an, lanjut bekas Kepala Bidang Pe­nerangan Umum Polri ini, ke­polisian juga sudah berkoordinasi de­ngan Ditjen Imigrasi Ke­men­terian Hukum dan HAM. Koor­dinasi  dengan Imigrasi ditujukan agar AW tidak bisa melarikan diri ke luar negeri.

Menurut Saud, seluruh aset AW pun sudah diinventarisir ke­polisian. Inventarisasi itu untuk mem­permudah penyitaan aset yang bersangkutan. “Koordinasi dengan BI untuk kepentingan pem­blokiran rekening sudah di­lak­sanakan kepolisian,” ujar be­kas Kepala Detasemen Khusus 88 Anti Teror ini.

Selain rekening, aset AW yang dibekukan polisi itu antara lain berbentuk rumah, kantor, ruko dan sejumlah unit kendaraan roda empat. Saud tak mau merinci dimana aset tersebut tersebar dan berapa nilai totalnya. Dia hanya me­nyebut, aset itu sebagian besar berada di Pekanbaru dan Batam. Sisanya, ada yang diinventarisir berada di Jakarta. “Aset dalam bentuk lain masih ditelusuri,” ucapnya.

Saud menginformasikan, AW pernah datang memenuhi pang­gilan penyidik. Dalam kete­rang­an­nya, dia menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan pengu­cur­an kredit dari BPD Riau. Kete­rang­an AW dikategorikan tak ber­belit-belit. Dari situ, pe­nyi­dik mengasumsikan, AW tak menyulitkan proses penyelidikan dan penyidikan.

Dengan kata lain, tandas Saud, AW yang pernah memberi kesak­sian untuk tersangka bekas Dirut BPD Riau, ZT, menjelaskan se­cara ru­nut mekanisme pengu­cur­an kre­dit yang diduga disa­lah­gu­na­kan­nya. Dia juga membawa do­kumen-dokumen kredit yang di­ajukan kepada BPD Riau pada 2003.

Dokumen yang dimaksud antara lain, dokumen persetujuan kredit, dokumen persetujuan dari Dirut BPD, serta dokumen lain yang berkaitan dengan prosedur pengajuan kredit. Saksi-saksi dari internal bank yang diperiksa polisi pun, tambah Saud, secara garis besar mengaku tak pernah memproses permohonan kredit atas nama AW.

Jadi, tegas Saud, proses kredit hanya diketahui tersangka ZT yang saat itu menjadi tampuk pim­pinan BPD. “Dia menya­lah­gunakan wewenang dalam mem­berikan kredit kepada nasabah BPD,” tandasnya. Tapi, Saud be­lum mau menjelaskan bagaimana teknis pencairan kredit dilak­sana­kan.

   Penyalahgunaan wewenang itu, menurut sumber di ling­kung­an Dit Tipikor Bareskrim Polri, dikuatkan keterangan saksi bekas ke­pala bidang perkreditan BPD. Menurut dia, pengajuan kredit atas nama AW, sama sekali tak per­nah masuk dan diproses bi­dang perkreditan. “Semestinya, pe­ngucuran kredit sebesar itu di­putuskan direksi dan komisaris serta bidang perkreditan. Bukan oleh Dirut saja,” tuturnya.

Dugaan penyimpangan kredit bertahun-tahun ini, baru terkuak ketika manajemen BPD meng­alami kegoncangan. Setelah diteliti, manajemen menemukan du­gaan, kebocoran dipicu penya­luran kredit ke PT SP.

Dalam penelusuran itu dike­ta­hui, PT SP diduga tak m­eng­gu­nakan kredit BPD untuk pem­bayaran ruko dan mall seperti yang tertera dalam form peng­aju­an kredit.  “Bagaimana BPD mau me­nyita aset kreditor, kalau ter­nyata dana itu tidak digunakan untuk membeli ruko dan mall,” jelasnya.

Lantaran itu, manajemen men­duga ada penyalahgunaan kredit yang disalurkan tersangka ZT ke­pada AW. Keterlibatan pegawai BPD dalam kasus ini pun masih di­telusuri. Pasalnya, sambung dia, pencairan kredit yang begitu be­sar semestinya lewat beberapa bagian di BPD. “Ini masih di­kem­bangkan. Apa mungkin Dirut bisa mencairkan kredit tanpa bantuan pihak lain. Lalu, apakah bank bisa memberi kredit tanpa agunan atau jaminan, alias hanya berdasarkan permintaan Dirut.”

REKA ULANG

Kerugian Negaranya Sudah Dihitung BPKP

Kasus dugaan pembobolan Bank Pembangunan Daerah (BPD) Riau ini, bermula pada 2003. Saat itu, ZT sebagai Di­rektur Utama BPD Riau me­nya­lurkan kredit sebesar Rp 35,2 mi­liar kepada AW selaku Direktur PT SP yang berlokasi di Seku­pang, Batam.

“Dia melakukan penyalah­gu­na­an wewenang, yakni saat men­jabat sebagai Dirut BPD Riau, tidak memenuhi ketentuan pem­berian kredit sebesar Rp 35,2 mi­liar,” kata Kepala Divisi Hu­mas Polri Irjen Saud Usman Nasution.

Menurut Saud, ZT tak meme­nuhi ketentuan pemberian kredit se­perti tertuang dalam Surat Ke­putusan Direksi Nomor 35 tang­gal 29 Mei 2001 tentang Pe­dom­an Pemberian Kredit Investasi, Su­rat Keputusan Direksi BPD Riau Nomor 48 tentang Komite Kredit Bank Pembangunan Dae­rah Riau, dan Surat Keputusan No­mor 19 tanggal 26 Maret 2001 ten­tang wewenang pemberian kredit. “Tanpa proses yang lazim, dia langsung memproses kredit itu sendiri dengan pertimbangan, kre­dit digunakan untuk take over sebuah mall dan 39 ruko yang terdapat di Batam,” katanya.

Tapi setelah ditelusuri, mall dan ruko tersebut dibayai dari luar kredit yang dikeluarkan BPD Riau. Bahkan, 39 ruko itu milik orang lain, bukan atas nama PT SP. Akibat hal tersebut, Badan Pe­ngawasan Keuangan dan Pem­bangunan (BPKP) menaksir ter­jadi penyelewengan uang ne­gara se­besar Rp 35,2 miliar di BPD Riau.

Atas temuan audit BPKP itu, pada 21 April 2011, pihak BPD Riau dan BPKP melaporkan hal tersebut ke Mabes Polri. Setelah dilakukan pemeriksaan selama setahun lebih, akhirnya pada 30 Mei 2012, ZT ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Rumah Tahanan Bareskrim Mabes Polri.

Menurut Saud, Direktur PT SP yang berinisial AW, diduga meng­gunakan kredit itu untuk un­tuk kepentingan pribadi. “Kasus ini masih dalam penyidikan dan pe­ngembangan,” katanya.

Tersangka kasus ini, ZT dian­cam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi Undang Un­dang Nomor 20 tahun 2001 ten­tang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 KUHP.

Saud menambahkan, penyidik sudah memeriksa 22 saksi kasus ini. Termasuk di dalamnya, dua saksi saksi ahli yang berasal dari BPKP dan Bank Indonesia.

Bukan Sebatas Perkara Korupsi

Yenti Garnasih, Pengamat Pencucian Uang

Dosen Fakultas Hukum Uni­versitas Trisakti Yenti Garnasih me­nilai, pengusutan kasus pe­nyelewengan kredit BPD Riau cukup kompleks. Pengu­sut­annya tak bisa hanya mengacu pada persoalan korupsi. Di da­lamnya patut diduga terdapat pula tindak pidana pencucian uang. “Penyidik harus jeli meli­hat persoalan ini,” katanya.

Dia memandang, unsur pen­cu­cian uang bisa terlihat dari pola tersangka mengucurkan kre­dit hingga peruntukan dana yang dialihkan dari tujuan se­mula. Semestinya, pemohon meng­gunakan uang hasil kredit dari BPD untuk membeli 19 ruko dan mall. Tapi, uang ter­sebut diduga diperuntukan bagi kepentingan lain.

Dari perspektif itu, unsur pen­­cucian uang sudah bisa diang­gap cukup.

Lebih jauh, jika dilihat ke­mana saja aliran dana kredit itu dialokasikan, penyidik hendak­nya tidak ragu-ragu mengorek ke­terangan pihak-pihak yang rekeningnya sempat dialiri dana pe­mohon kredit. “Unsur-unsur itu cukup untuk dijadikan se­ba­gai bukti adanya praktik pen­cucian uang,” ujarnya.

Intinya, ketelitian dan kecer­mat­an penyidik mengungkap kasus ini akan jadi tolok ukur da­lam menentukan pengusutan skandal pencucian uang.

Dia juga mengingatkan, per­hatian hendaknya tidak ber­tum­pu sebatas pengusutan ma­salah hukum dalam kasus ini.  Unsur pencegahan dan upaya pem­bi­naan dalam proses penegakan hukum menyangkut persoalan perbankan, saat ini sangat di­butuhkan. “Supaya pengelolaan uang bank ke depannya bisa lebih dipertanggungjawabkan.”

Untuk hal itu, diperlukan koor­dinasi yang terus-menerus an­tara penegak hukum, lem­baga otoritas pengawas per­bankan serta internal bank.  Le­wat koordinasi tersebut diha­rap­kan, kemungkinan terjadinya tindak pidana pada sektor per­bankan bisa diminimalisir.   

Soalnya, kejahatan yang te­rus-menerus terjadi di sektor per­bankan, bisa berdampak bu­ruk pada perekonomian ne­gara. Untuk itu, pengelolaan bank yang profesional menjadi dam­baan masyarakat, yang pada persoalan ini menempati posisi se­bagai nasabah.

“Nasabah jelas tidak ingin, investasi yang di­tanamkan di bank justru hi­lang akibat ke­te­ledoran pe­nge­lola bank,” tutur­nya.

Selalu Libatkan Pelaku Profesional

Andi Rio Idris Padjalangi, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Andi Rio Idris Padjalangi me­nyatakan, persoalan kejahatan di dunia perbankan selalu me­libatkan pelaku profesional.  Biasanya, selain ada keter­li­batan orang luar,  peranan orang dalam bank juga menentukan keber­hasilan menguras uang di bank.

Bank Indonesia dan otoritas pengawas perbankan, idealnya senantiasa mengevaluasi ki­ner­ja bank.  Dengan begitu, kondisi kesehatan perbankan bisa di­ukur dan terjamin. “Prinsipnya, unsur pengawasan bank harus di­intensifkan,” katanya.  

Dia mengakui, mekanisme pe­ngawasan terhadap per­bank­an seringkali memicu persoalan tersendiri. Intervensi pihak luar kadang membuat bank merasa tidak nyaman menjalankan operasional mereka.  Tapi, dia menggarisbawahi, pengawasan lembaga eksternal kepada bank tetap harus bisa dilakukan sesuai prosedur yang ada.  Apa­bila bank tertentu dikategorikan kondisinya masuk kriteria ber­bahaya, mau tidak mau mereka harus menerima  konsekwensi tersebut.

“Langkah itu hendaknya dila­kukan dengan cepat. Sehingga tidak menimbulkan dampak buruk terhadap nasabah dan perekonomian secara meluas,”  tandasnya.

Anggota DPR dari Partai Golkar ini menduga, penye­le­we­ngan seperti itu bukan hanya terjadi di BPD Riau. Tapi, juga terjadi di bank-bank nasional mau­pun bank-bank di daerah.

Selebihnya, dia meminta internal bank lebih hati-hati mengelola produk perbankan yang ditawarkan kepada ma­sya­rakat, serta meningkatkan ke­mam­puan sumber daya manusia yang dimilikinya. Sehingga, ke­mungkinan adanya pembobolan maupun kejahatan perbankan setidaknya bisa diantisipasi le­bih dini. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA