RMOL. Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kembali dibahas DPR setelah terhambat bertahun-tahun.
“Ini kan masih dikerjakan Panja DPR, belum masuk di Komisi II kan. Kita tunggu saja, apa hasilÂnya,’’ ujar permaisuri Sri Sultan Hemengku Buwono X, Gusti KanÂjeng Ratu Hemas, kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Seperti diketahui, DPR telah menetapkan 64 RUU sebagai prioÂÂritas tahunan yang dibahas tahun 2012, termasuk 16 RUU yang telah memasuki pembiÂcaÂraan Tingkat I. Delapan di antaÂraÂnya telah mengaÂlami perÂpanjaÂngan masa tugas dua sampai tiga kali.
RUU tersebut antara lain, RUU tentang Keamanan Nasional, RUU tentang Keistimewaan ProÂvinsi DIY, RUU tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, RUU tentang Pencegahan dan PembeÂranÂtasan Pembalakan Liar, RUU tentang Pendidikan Tinggi, RUU tentang Pendidikan Kedokteran, dan RUU tentang Penanganan Konflik Sosial.
Ketua DPR Marzuki Alie menÂdesak Komisi II segera menunÂtaskan pembahasan RUU KeistiÂmewaan DIY yang telah terhamÂbat bertahun-tahun.
Gusti Kanjeng Ratu Hemas seÂlanjutnya mengatakan, DPR maÂsih coba-coba masukkan pasal-pasal yang sebetulnya tidak sesuai dengan aspirasi rakyat YogyaÂkarta.
“Yang saya tahu seperti itu. Makanya kita tunggu saja hasil pembahasannya, apa dimasukkan pasal-pasal yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat YogyaÂkarta itu,’’ katanya.
Berikut kutipan selengkapnya:
Misalnya menetapkan GuberÂnur DIY melalui pemilihan langÂsung seperti daerah provinsi umumnya di Indonesia. Ini yang dulu diprotes masyarakat YogyaÂkarta karena keistimewaan YogyaÂkarta sudah hilang dengan cara seperti itu.
Kalau RUU ini disahkan, apaÂkah masyarakat Yogyakarta menolak dengan berdemo?
He-he-he, kita lihat saja nanti. Lihat dulu perkembangan pemÂbahasannya.
Apakah pihak keraton meÂnyeÂrahkan masalah RUU ini seÂluruhnya kepada pemerinÂtah?
Bukan menyerahkan kepada pemerintah. Kita harus melihat dulu pasal-pasal yang diajukan. Ini kan masih dibahas.
Bagaimana kalau pemerinÂtah memasukkan pasal agar GuÂbernur DIY dipilih langsung?
Jika pemerintah menetapkan guÂbernur DIY melalui pemilihan langÂsung seperti daerah provinsi umumnya di Indonesia, maka keÂistiÂmewaan Yogyakarta sudah hilang.
Tidak itu saja, tapi sejarah keÂistimewaan Yogyakarta dalam praktik politik berbangsa dan berÂnegara akan hilang.
Keistimewaan Yogyakarta justru terletak pada Kesultanan dan Kadipaten yang secara otoÂmatis menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Ada yang menilai sistem peÂnetapan Gubernur DIY seperti sekarang merusak tatanan deÂmoÂkrasi, komentar Anda?
Keistimewaan Yogyakarta terÂsebut tidak merusak tatanan deÂmokrasi. Sebab demokrasi tiÂdak saja dilihat dari satu sudut panÂdang. Legitimasi rakyat ke Sultan juga bagian dari demoÂkrasi.
Selama ini demokrasi tetap berÂjalan baik di Yogyakarta. Sultan tetap mendapat kritikan dari DPRD dan terbuka untuk dikritik.
O ya, bagaimana mengatur tanah keraton yang digunakan publik?
Pengaturan penggunaan tanah keraton itu diatur dari sebelum adaÂnya pemerintah Indonesia. SeÂbab, itu masih ada hak-hak ulayat dan hak-hak keraton yang perlu diÂhargai. Itu tidak akan bisa berubah. Walaupun nantinya peÂmeÂrintah akan mengatur segala macamnya. Tapi hal itu tidak semudah itu.
Kalau aspirasi masyarakat YogÂyakarta mengenai tanah keÂraton?
Kalau dari masyarakat sebetulÂnya mereka tidak masalah, karena selama ini kan penggunaan tanah keraton yang dipakai masyarakat tidak dikenai pajak. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: