“Ini bukan solusi jangka panÂjang. Makanya harus dicari solusi yang lebih bisa menyelesaikan masalah ini,†katanya kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
“Soal potong gaji hanya beÂremÂpati kepada rakyat. Silakan saja dipotong, 80 persen pun saya siap. 20 persen cukup kok untuk hidup,†tambahnya.
Berikut kutipan selengkapnya:
Apa ya Anda mau?
Ya, ini serius. Tapi saya tidak mempunyai dana lagi untuk turun ke masyarakat bawah. Selama ini juga gaji saya habis untuk memÂbantu masyarakat bawah.
Apa ya 20 persen dari gaji Anda bisa mencukupi untuk keÂbutuhan keluarga?
Kalau saya tidak mempunyai usaha di luar, ya bisa kurang. TeÂtapi Alhamdulillah usaha-usaha lama saya masih berjalan. Saya profesional kerjanya.
Dari usaha itu bisa untuk meÂmenuhi kebutuhan-kebutuhan saya. Kalau gaji di DPR sih habis untuk rakyat.
Apakah semua anggota DPR mau gajinya dipotong?
Ya dong.Kita sepakati berÂsama, nggak masalah. Semua anggota DPR menyepakati seÂmuaÂnya untuk di potong hingga 80 persen. Potongan gaji itu kita seÂrahkan ke rakyat sebagai benÂtuk empati kepada rakyat. Tapi harus diputuskan bersama. Uang kita ini kan tetap untuk rakyat kok.
Kenapa mau melakukan itu?
Kenaikan harga minyak ini saÂngat dirasakan masyarakat baÂwah. Kemiskinan pasti berÂtambah.
Dunia harus bertanggung jaÂwab mengenai masalah kekuÂrangan minyak. Tragedi kemanuÂsiaan akan terjadi kalau harga minyak naik hingga dua kali lipat dari sekarang.
Sebenarnya Anda seÂpakat BBM bersubÂsidi ini dinaikÂkan?
Jika meÂmang seÂgera untuk dilakukan kenaikan, kita dukung program pemerintah. Tapi proÂgram jangka penÂdek juga harus dijalankan. Harus jelas bahwa keÂbutuhan minyak dalam negeri itu ada dua.
Pertama, BBM non subsidi untuk industri dan kedua BBM bersubsidi untuk masyarakat. Total kebutuhan kita ini jauh lebih besar daripada kemamÂpuan produksi dalam negeri, sehingga kita menjadi importer. Kita pun keluar dari OPEC karena kita sudah bukan negara pengekspor lagi.
Bagaimana caranya untuk meÂmenuhi kebutuhan BBM berÂsubsidi?
Kebutuhan BBM bersubsidi ini sekitar 85 persen dari produksi minyak dalam negeri, atau setara dengan bagi hasil dengan konÂtraktor yakni 85 persen banding 15 persen. Artinya untuk kebuÂtuhan BBM dalam negeri cukup dipenuhi denga BBM bersubsidi, yakni 85 persen dari produksi dalam negeri.
Semua produksi dalam negeri mampu diolah Pertamina menÂjadi BBM untuk lima bulan ke depan. Kapasitasnya sekitar 85 persen produksi minyak dalam negeri. Artinya untuk kebutuhan BBM bersubsidi sebenarnya sudah mampu diolah pertamina dengan kilang yang ada. Artinya kita sebenarnya mampu.
Bukankah target lifting miÂnyak seÂlalu tidak tercapai?
Saat ini, produksi minyak dalam negeri yang baru diolah itu baru 50 persen. Sisanya sebanyak 35 persen digunakan untuk membayar cost recovery, dan 15 persen untuk jatah kontraktor dengan bagi hasil.
Jadi perbandingannya 85 persen untuk kita dan 15 persen untuk kontraktor. Dari 85 persen itulah, sebanyak 35 persen kita gunakan untuk bayar cost recoÂvery. Makanya, untuk memenuhi BBM besubsidi ini sebaiknya alokasi untuk cost recovery diÂambil saja. Kita mempunyai produksi minya hingga 85 persen karena kilang-kilang Pertamina sebenarnya mampu.
Sekarang, pemerintah, yakni Menkeu, BP Migas dan Menteri ESDM mengambil pembayaran 35 persen itu untuk memproduksi BBM bersubsidi dalam negeri. Makanya, kebutuhan BBM berÂsubsidi dalam negeri menjadi cukup.
Maksudnya biaya cost recoÂvery dibayar dengan tunai?
Ya. Dibayar saja dengan tunai oleh Menkeu. Tidak perlu lagi kita impor BBM dan dan tidak perlu lagi impor minyak mentah. Karena dengan kenaikan minyak dunia, otomatis daya saing inÂdustri akan turun.
Untuk mengatasi itu perlu menÂkonversi dari minyak ke gas secara bertahap. Potensi gas daÂlam negeri ini diutamakan untuk industri dalam negeri. KeterganÂtungan industri terhadap BBM impor ini menjadi semakin lama semakin berkurang. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: