WAWANCARA

Marzuki Alie: Potong Gaji Saya 80 Persen Sebagai Empati Bagi Rakyat

Selasa, 06 Maret 2012, 08:37 WIB
Marzuki Alie: Potong Gaji Saya 80 Persen Sebagai Empati Bagi Rakyat
Marzuki Alie
RMOL.Bila Harga BBM Binakkan Ketua DPR Marzuki Alie mengaku serius gajinya siap dipotong hingga 80 persen sebagai wujud kepedulian bila harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dinaikkan.

“Ini bukan solusi jangka pan­jang. Makanya harus dicari solusi yang lebih bisa menyelesaikan masalah ini,” katanya kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.

“Soal potong gaji hanya be­rem­pati kepada rakyat. Silakan saja dipotong, 80 persen pun saya siap. 20 persen cukup kok untuk hidup,” tambahnya.

Berikut kutipan selengkapnya:

Apa ya Anda mau?

Ya, ini serius. Tapi saya  tidak mempunyai dana lagi untuk turun ke masyarakat bawah. Selama ini juga  gaji saya  habis untuk mem­bantu masyarakat bawah.

Apa ya 20 persen dari gaji Anda bisa mencukupi untuk ke­butuhan keluarga?

Kalau saya tidak mempunyai usaha di luar, ya bisa kurang. Te­tapi Alhamdulillah usaha-usaha lama saya masih berjalan. Saya profesional kerjanya.

Dari usaha itu  bisa untuk me­menuhi kebutuhan-kebutuhan saya. Kalau gaji di DPR sih habis untuk rakyat.

Apakah semua anggota DPR mau gajinya dipotong?

Ya dong.Kita sepakati ber­sama, nggak masalah. Semua anggota DPR menyepakati se­mua­nya untuk di potong hingga 80 persen. Potongan gaji itu kita se­rahkan ke rakyat sebagai ben­tuk empati kepada rakyat. Tapi harus diputuskan bersama. Uang kita ini kan tetap untuk rakyat kok.

Kenapa mau melakukan itu?

Kenaikan harga minyak ini sa­ngat dirasakan masyarakat ba­wah. Kemiskinan pasti ber­tambah. 

Dunia harus bertanggung ja­wab mengenai masalah keku­rangan minyak. Tragedi kemanu­siaan akan terjadi kalau harga minyak naik hingga dua kali lipat dari sekarang. 

Sebenarnya Anda se­pakat BBM bersub­sidi ini dinaik­kan?

Jika me­mang se­gera untuk dilakukan kenaikan, kita dukung program pemerintah. Tapi pro­gram jangka pen­dek juga harus dijalankan. Harus jelas bahwa ke­butuhan minyak dalam negeri itu ada dua.

Pertama, BBM non subsidi untuk industri dan kedua BBM bersubsidi untuk masyarakat. Total kebutuhan kita ini jauh lebih besar daripada kemam­puan produksi dalam negeri, sehingga kita menjadi importer. Kita pun keluar dari OPEC karena kita sudah bukan negara pengekspor lagi.

Bagaimana caranya untuk me­menuhi kebutuhan BBM ber­subsidi?

Kebutuhan BBM bersubsidi ini sekitar 85 persen dari produksi minyak dalam negeri, atau setara dengan bagi hasil dengan kon­traktor yakni 85 persen banding 15 persen. Artinya untuk kebu­tuhan BBM dalam negeri cukup dipenuhi denga BBM bersubsidi, yakni 85 persen dari produksi dalam negeri.

Semua produksi dalam negeri mampu diolah Pertamina men­jadi BBM untuk lima bulan ke depan. Kapasitasnya sekitar 85 persen produksi minyak dalam negeri. Artinya untuk kebutuhan BBM bersubsidi sebenarnya sudah mampu diolah pertamina dengan kilang yang ada. Artinya kita sebenarnya mampu.

Bukankah target lifting mi­nyak se­lalu tidak tercapai?

Saat ini, produksi minyak dalam negeri yang baru diolah itu baru 50 persen. Sisanya sebanyak 35 persen digunakan untuk membayar cost recovery, dan 15 persen untuk jatah kontraktor dengan bagi hasil.

Jadi perbandingannya 85 persen untuk kita dan 15 persen untuk kontraktor. Dari 85 persen itulah, sebanyak 35 persen kita gunakan untuk bayar cost reco­very. Makanya, untuk memenuhi BBM besubsidi ini sebaiknya alokasi untuk cost recovery di­ambil saja. Kita mempunyai produksi minya hingga 85 persen karena kilang-kilang Pertamina sebenarnya mampu.

Sekarang, pemerintah, yakni Menkeu, BP Migas dan Menteri ESDM mengambil pembayaran 35 persen itu untuk memproduksi BBM bersubsidi dalam negeri. Makanya, kebutuhan BBM ber­subsidi dalam negeri menjadi cukup.

Maksudnya biaya cost reco­very dibayar dengan tunai?

Ya. Dibayar saja dengan tunai oleh Menkeu. Tidak perlu lagi kita impor BBM dan dan tidak perlu lagi impor minyak mentah. Karena dengan kenaikan minyak dunia, otomatis daya saing in­dustri akan turun.

Untuk mengatasi itu perlu men­konversi dari minyak ke gas secara bertahap. Potensi gas da­lam negeri ini diutamakan untuk industri dalam negeri.  Ketergan­tungan industri terhadap BBM impor ini menjadi semakin lama semakin berkurang. [Harian Rakyat Merdeka]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA