RMOL. Pembelian pesawat kepresidenan senilai 91 juta dolar AS dituding memboroskan anggaran negara. Ini tidak sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia.
Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi, Heru Lelono menjeÂlaskan, pemerintah tidak mungÂkin bertujuan menyengsarakan negara terkait dengan pembelian pesawat kepresidenan itu.
“Mana ada pemerintah, siapaÂpun presidennya, mau menghanÂcurkan negara,†tandas Heru Lelono, kepada RakÂyat Merdeka, kemarin.
Seperti diketahui, pemerintah membeli pesawat kepresidenan jenis Boeing Business Jet (BBJ) 2 seharga 91 juta dolar AS. Sudah dicicil pembayarannya sebanyak 58,6 juta dolar AS. Pihak Istana menilai pembelian pesawat ini lebih efisien dibanding mengguÂnakan pesawat sewaan.
Menanggapi kritikan masyaraÂkat terkait pembelian pesawat buatan Amerika Serikat itu, Heru menilainya sebagai suatu hal yang wajar.
“Sekretariat Negara sudah menÂjelaskan kepada publik, itu bukti adanya transparansi. Bila sudah dijelaskan lalu ada disÂkursus, ya biasa saja,†tandasnya.
Berikut kutipan selengkapnya:
Pak Presiden tidak ada komenÂtar soal adanya kritikan masyaÂrakat terhadap pembelian pesaÂwat itu. Secara institusi yang berÂtanggung jawab adalah Setneg. Mereka sudah menjelaskan keÂpada publik soal itu. Kalau ada yang mengkritik, ya wajar saja. Tapi pembelian pesawat itu nggak perlu diseret ke politik.
Bagaimana mengenai anggaÂran yang dianggap terlalu beÂsar?
Ya, pemerintah paling tahu. Bila ada yang menilai terlalu maÂhal, masa pemerintah tidak bisa menghitung. Apakah kemahalan atau tidak. Pemerintah bisa mengÂhitungnya, percayalah.
Apa benar menggunakan peÂsawat pribadi itu efisien?
Pemerintah menilainya lebih efisien bila punya pesawat senÂdiri. Ini berarti tidak mengganggu perusahaan yang disewa, seperti PT Garuda Indonesia. Pesawat sewaan yang digunakan Presiden itu kan pesawat komersil. Ketika pesawat itu tidak digunakan Presiden, maka digunakan untuk komersil.
Bukankah pesawat itu tidak pas untuk sejumlah bandara di daerah?
Tentunya itu sudah diperhiÂtungÂkan dengan kondisi bandara di Indonesia. Bahkan ini negara kepulauan, dengan jumlah pulauÂnya 17 ribu lebih. Makanya ini masuk akal.
Bayangkan saja, perjalanan Jakarta ke Jayapura ditempuh seÂlama tujuh jam. Sedangkan pergi ke Singapura cukup satu jam.
Apa memiliki Pesawat KeÂpreÂsidenan itu sudah begitu menÂÂdesak?
Menurut saya, seharusnya kita beli tahun 1999, ketika anggaran negara kita cukup. Namun faktaÂnya APBN kita tidak cukup saat itu. Sekarang ini sudah menÂcukupi untuk pembelian pesawat tersebut.
Bukankah lebih penting uang itu digunakan untuk proÂgram sosial pemerintah?
Program prioritas pemerintah masih bisa dijalankan sekarang ini. Kecuali kalau program pemeÂrintah tidak berjalan hanya karena pembelian pesawat itu, ya pasti pembelian itu ditunda sampai anggaran mencukupi.
Tapi kabarnya DPR tidak seÂtuju dengan pembelian itu?
Apabila proses pembelian itu sudah ada, berarti DPR sudah menyetujui. Jangankan membeli pesawat, mengangkat Dubes saja melalui DPR.
Contoh lain, APBN itu disusun pemerintah, tapi tidak bisa diÂjalanÂkan bila belum disetujui DPR. Kalau pemerintah beli peÂsawat, uangnya pasti dari APBN. Mana berani pemerintah beli tanpa persetujuan DPR.
DPR yang sudah menyetujui, harus terbuka. Jangan sampai ada anggota DPR yang tidak ikut rapat mengatakan tidak setuju. Padahal yang ikut rapat sikapnya setuju.
Namun pemerintah harus tansÂparan juga. Apa yang dilakukan Sekneg itu adalah keterbukaan informasi. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: