WAWANCARA

Heru Lelono: Pembelian Pesawat Presiden Nggak Perlu Diseret Ke Politik

Selasa, 14 Februari 2012, 09:44 WIB
Heru Lelono: Pembelian Pesawat Presiden Nggak Perlu Diseret Ke Politik
Heru Lelono

RMOL. Pembelian pesawat kepresidenan senilai 91 juta dolar AS dituding memboroskan anggaran negara. Ini tidak sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia.

Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi, Heru Lelono menje­laskan, pemerintah tidak mung­kin bertujuan menyengsarakan negara terkait dengan pembelian pesawat kepresidenan itu.

“Mana ada pemerintah, siapa­pun presidennya, mau menghan­curkan negara,” tandas Heru Lelono, kepada Rak­yat Merdeka, kemarin.

Seperti diketahui, pemerintah membeli pesawat kepresidenan jenis Boeing Business Jet (BBJ) 2 seharga 91 juta dolar AS. Sudah dicicil pembayarannya sebanyak 58,6 juta dolar AS. Pihak Istana menilai pembelian pesawat ini lebih efisien dibanding  menggu­nakan pesawat sewaan.

Menanggapi kritikan masyara­kat terkait pembelian pesawat buatan Amerika Serikat itu, Heru menilainya sebagai suatu hal yang wajar.

“Sekretariat Negara sudah men­jelaskan kepada publik, itu bukti adanya transparansi. Bila sudah dijelaskan lalu ada dis­kursus, ya biasa saja,” tandasnya.

Berikut kutipan selengkapnya:

Apa tanggapan Presiden SBY terkait kritikan masyara­kat atas pembelian pesawat ter­se­but?

Pak Presiden tidak ada komen­tar soal adanya kritikan masya­rakat terhadap pembelian pesa­wat itu. Secara institusi yang ber­tanggung jawab adalah Setneg. Mereka sudah menjelaskan ke­pada publik soal itu. Kalau ada yang mengkritik, ya wajar saja. Tapi pembelian pesawat itu nggak perlu diseret ke politik.  


Bagaimana mengenai angga­ran yang dianggap terlalu be­sar?

Ya, pemerintah paling tahu. Bila ada yang menilai terlalu ma­hal, masa pemerintah tidak bisa menghitung. Apakah kemahalan atau tidak. Pemerintah bisa meng­hitungnya, percayalah.


Apa benar menggunakan pe­sawat pribadi itu efisien?

Pemerintah menilainya lebih efisien bila punya pesawat sen­diri. Ini berarti tidak mengganggu perusahaan yang disewa, seperti PT Garuda Indonesia. Pesawat sewaan yang digunakan Presiden itu kan pesawat komersil. Ketika pesawat itu tidak digunakan Presiden, maka digunakan untuk komersil.


Bukankah pesawat itu tidak pas untuk sejumlah bandara di daerah?

Tentunya itu sudah diperhi­tung­kan dengan kondisi bandara di Indonesia. Bahkan ini negara kepulauan, dengan jumlah pulau­nya 17 ribu lebih. Makanya ini masuk akal.

Bayangkan saja, perjalanan Jakarta ke Jayapura ditempuh se­lama tujuh jam. Sedangkan pergi ke Singapura cukup satu jam.


Apa memiliki Pesawat Ke­pre­sidenan itu sudah begitu men­­desak?

Menurut saya, seharusnya kita beli tahun 1999, ketika anggaran negara kita cukup. Namun fakta­nya APBN kita tidak cukup saat itu. Sekarang ini sudah men­cukupi untuk pembelian pesawat tersebut.


Bukankah lebih penting uang itu digunakan untuk pro­gram sosial pemerintah?

Program prioritas pemerintah masih bisa dijalankan sekarang ini. Kecuali kalau program peme­rintah tidak berjalan hanya karena pembelian pesawat itu, ya pasti pembelian itu ditunda sampai anggaran mencukupi.


Tapi kabarnya DPR tidak se­tuju dengan pembelian itu?

Apabila proses pembelian itu sudah ada, berarti DPR sudah menyetujui. Jangankan membeli pesawat, mengangkat Dubes saja melalui DPR.

Contoh lain, APBN itu disusun pemerintah, tapi tidak bisa di­jalan­kan bila belum disetujui DPR. Kalau pemerintah beli pe­sawat, uangnya pasti dari APBN. Mana berani pemerintah beli tanpa persetujuan DPR.


Masih ada yang tidak setuju, ini bagaimana?

DPR yang sudah menyetujui, harus terbuka. Jangan sampai ada anggota DPR yang tidak ikut rapat mengatakan tidak setuju. Padahal yang ikut rapat sikapnya setuju.

Namun pemerintah harus tans­paran juga. Apa yang dilakukan Sekneg itu adalah keterbukaan informasi. [Harian Rakyat Merdeka]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA