WAWANCARA

Bagir Manan: Ketua MA Yang Baru Diharapkan Tidak Jadi Bulan-bulanan Kritik

Jumat, 10 Februari 2012, 08:48 WIB
Bagir Manan: Ketua MA Yang Baru Diharapkan Tidak Jadi Bulan-bulanan Kritik
Bagir Manan
RMOL.Ketua Mahkamah Agung yang terpilih, Hatta Ali, diharapkan lebih hebat dari pimpinan MA sebelumnya. Sebab, ke depan lebih banyak tantangan.

“Kinerjanya harus lebih ba­gus, supaya tidak menjadi bu­lan-bulanan kritik. Ketua MA yang dulu-dulu kan dianggap pers, pengamat, dan publik, tidak be­cus, sehingga menjadi bulan-bu­lanan,” ujar bekas Ketua MA, Bagir Manan, kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Seperti diberitakan, Rabu (8/2),  Hatta Ali terpilih sebagai Ketua MA setelah mengungguli kandi­dat lainnya dengan angka mutlak, sehingga pemilihannya satu pu­taran saja.

Hatta Ali  mendapat 28 suara, Abdul Kadir Mapong 4 suara, Mohammad Saleh 3 suara, dan Paulus Lotulung 1 suara. Ada 3 suara tidak sah.

Bagir Manan selanjutnya me­nga­takan, permasalahan di lem­baga yudikatif itu begitu be­sar, terutama penanganan per­kara yang dinilai mengabaikan rasa keadilan masyarakat.

“Ketua MA yang baru harus be­kerja maksimal, sehingga ki­ner­janya bagus, masyarakat puas,’’ kata Ketua Dewan Pers itu.

Berikut kutipan selengkapnya:

Apa pemilihan itu sudah de­mokratis?

Kita bersyukur Pak Hatta Ali sudah terpilih secara demokratis. Publik bisa melihat proses pe­mi­lihannya yang memang sangat demokratis.

Apa Hatta Ali sanggup me­nuntaskan begitu banyak per­masalahan di MA?

Makanya saya bilang harus le­bih bagus dari ketua MA se­be­lum­nya. Supaya tidak menjadi bulan-bulanan pers dan pe­ngamat.

Calon yang lain bagaimana?

Itu juga bagus. Tapi kan Pak Hatta Ali sudah dipilih secara de­mo­kratis memimpin MA ke depan.

Apa Hatta Ali mampu me­ngu­rangi penumpukan per­kara yang saat ini lebih 8.000?

Semangatnya antara lain harus ke sana. Penumpukan perkara itu kan bukan hal baru. Ini sudah terjadi sejak 30-40 tahun lalu. Di beberapa negara hal seperti ini pun terjadi.

Ketika para bekas hakim agung mengomentari itu, mereka lupa di saat mereka menjadi hakim agung sudah terjadi penumpukan perkara. Tapi ke depan, penum­pukan perkara itu harus tetap diselesaikan.

Apa masalah utama sehingga terjadi penum­pu­kan perkara?

Masalahnya tidak diba­tasi per­kara yang ma­suk untuk kasasi. Publik yang tidak puas dengan pu­tusan penga­dilan yang lebih rendah, bisa menga­jukan kasasi apapun per­karanya.

Kebanyakan ne­gara melaku­kan pem­ba­tasan, seperti Inggris, Ame­rika Serikat. Bila ada negara yang ti­dak ada pem­batasan per­kara se­perti Prancis, ya terjadi penum­pukan perkara.

Anda berpendapat perlu di­batasi?

Ya. Tidak semua perkara harus sampai ke MA, ini untuk efi­siensi. Selain itu harus ada me­kanisme misalnya ada satu ko­mite di MA yang menyeleksi per­­kara. Apakah per­kara itu layak di­periksa di MA atau su­dah di­anggap cukup, ini seperti di Inggris.

Di AS juga be­gitu, kalau empat hakim agung menyatakan putu­san itu sudah tepat, ya tidak perlu diperiksa lagi, kembalikan saja. Ada banyak cara dan model, tapi tetap harus diatur dalam undang-undang.

Bagaimana de­ngan pu­tu­san hakim yang di­­ni­lai be­lum me­me­nuhi rasa kea­­dilan masya­rakat?

Memang benar ada beberapa putusan yang dianggap tidak layak. Semestinya tidak begitu putusannya. Kita gunakan meka­nisme saja, bagaimana merubah putusan itu jadi layak.

Maksudnya?

Kan masih ada upaya hukum. Misalnya masih ada Peninjauan Kembali (PK). Mari kita bersama memberi perhatian, sehingga PK itu memutus perkara dengan rasa keadilan yang umum.

Apa lagi yang bisa dilaku­kan?

Kita dapat juga melakukan ek­saminasi putusan. Itu bisa mem­berikan petunjuk, di sini loh ke­tidaktepatannya.

Bagaimana dengan sis­tem ka­mar yang sudah diterapkan di MA?

Di dunia, tidak banyak negara yang menggunakan sistem ini. Salah satunya Belanda. Ada yang keliru dengan sistem kamar itu. Seolah-olah ketika kita ke­cem­­plung di sana tidak bisa pin­dah lagi.

Di Belanda, tiap tahun diputar hakimnya. Tadinya di ka­mar satu, dipu­tar ke kamar dua dan se­ba­gai­nya. Sebab, pada dasarnya ha­kim agung itu memiliki pe­ngeta­huan yang sama.

Apa penerapan sistem kamar itu bermasalah di sini?

Benar. Perkara perdata itu lebih dari 70 persen dari jumlah per­kara yang masuk. Sebagian besar perkara menumpuk di kamar keperdataan. Sedangkan di kamar lain, seperti militer dan admi­nis­trasi negara, sedikit sekali per­karanya. Hakimnya kebanya­kan nganggur.

Dengan sistem ini menam­bah penumpukan perkara dong?

Ya, pada bidang tertentu, se­perti bidang perdata. Sebab, jum­lah hakim terbatas, sedangkan perkara yang ditangani banyak. Di Perancis tidak ada sistem ka­mar, tapi bagus. Begitu juga di Amerika Serikat tiap perkara diadili semua hakim agung yang berjumlah 9 orang.

Ini kan soal policy atau ke­bijakan, bukan ideologi. Saya tidak setuju dibuat sistem kamar, karena bisa menambah penum­pukan perkara. Saya berpendi­rian, sistem kamar bukan doktrin dan ideologi, bukan sesuatu hal yang menyangkut sistem hukum, tapi kebijakan. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA