Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

WAWANCARA

Wisnu Tjandra: Bank Arta Prima Tidak Diselamatkan, Negara Terancam Rugi Rp 1,3 Triliun

Rabu, 08 Februari 2012, 08:40 WIB
Wisnu Tjandra: Bank Arta Prima Tidak Diselamatkan, Negara Terancam Rugi Rp 1,3 Triliun
Wisnu Tjandra
RMOL. Proses pengambilalihan Bank Arta Prima oleh Bank Artha Graha milik pengusaha Tommy Winata yang terjadi tahun 1997 jadi perbincangan di media. Apa sebenarnya yang terjadi di balik persoalan itu? Dan bagaimana hasil merger tersebut? Berikut wawancara Rayat Merdeka dengan Wisnu Tjandra, Wakil Direktur Utama Bank Artha Graha, kemarin.

Bagaimana kronologis pe­nye­lamatan Bank Arta Prima?
Pada era tahun 1996–1997, Kelompok Artha Graha diminta Bank Indonesia untuk menyela­matkan Bank Arta Prima yang sedang bermasalah dan dalam kondisi tidak sehat, namun per­mintaan tersebut tidak dapat dipe­nuhi oleh Kelompok Artha Graha kerena satu dan lain hal. Tahun 1997, Bank Indonesia secara resmi dan berdasarkan hukum telah mengambil-alih Kepemili­kan Bank Arta Prima dari Peme­gang Saham lama. Bank Indo­nesia mengundang kembali Ke­lom­pok Artha Graha untuk ber­sama Bank Indonesia melakukan penyelamatan dan penyehatan Bank Arta Prima. Bank Indonesia dan Kelompok Artha Graha sepakat secara bersama-sama me­lakukan program penyela­matan dan penyehatan Bank Arta Prima. Salah satu alasan utama Kelom­pok Artha Graha membantu kebijakan Bank Indonesia adalah adanya kepedulian pemegang saham Bank Artha Graha akan kestabilan dunia perbankan nasional pada khususnya dan program pembangunan pemerin­tah pada umumnya.

Bagaimana kondisi Bank Arta Prima waktu itu?
Beberapa kondisi Bank Arta Prima waktu itu diantaranya: Pertama, adanya konflik para pemegang saham lama Bank Arta Prima yang berakhir pada pe­ngam­bilalihan Bank Arta Prima oleh Bank Indonesia pada Fe­bruari 1996. Kedua, jumlah pinjaman macet yang terakumu­lasi sejak tahun 1988 mencapai jumlah besar, Rp 670 miliar de­ngan jaminan yang dapat dikate­gorikan ‘nihil’. Ketiga, saldo merah (negatif) Bank Arta Prima di Bank Indonesia mencapai Rp 489 miliar. Keempat, kerugian operasional Bank Arta Prima mencapai Rp 230 miliar. Kelima, defisit modal Rp 754 miliar. Keenam, surat commercial paper (Promes) Rp 324 miliar. Ketujuh, potensi PHK bagi 1.000 karya­wan serta dampak sosialnya. Kedelapan, tuntutan pemegang saham lama dan biaya-biaya perkara.

Langkah-langkah strategis apa yang dilakukan untuk me­nyelamatkan Bank Arta Prima?
Sesuai dengan permintaan Bank Indonesia tersebut, maka pada tanggal 17 Mei 1997 dibuat dan ditandatangani MOU antar Bank Indonesia dengan investor baru. 10 Juli 1997, terbit surat izin Menteri Keuangan RI bagi investor baru untuk  mengakuisisi Bank Arta Prima. Tanggal 17 Oktober 1997 Surat Persetujuan Bank Indonesia atas program penyelamatan Bank Arta Prima, yang pada intinya adalah sebagai berikut: Pertama, investor baru menanggung seluruh saldo merah (negatif) Bank Arta Prima Rp 489 miliar. Kedua, investor baru me­nanggung seluruh kredit macet Bank Arta Prima Rp 670 miliar. Ketiga, investor baru menyetor­kan dana segar Rp 200 miliar. Keempat, membantu Pemerin­tah–Bank Indonesia dalam pe­nyelesaian commercial paper Rp 324 miliar yang diterbitkan Mana­jemen Bank Arta Prima sebelumnya. Kelima, Bank Indo­nesia berkewajiban mengkon­versi saldo merah (negatif) Rp 489 miliar Bank Arta Prima men­jadi pinjaman sub-ordinasi, dan memberikan pinjaman sub-ordi­nasi Rp 530 miliar. Pinjaman sub-ordinasi berjangka 25 tahun de­ngan masa tenggang (grace period) 15 tahun, dan sukubunga sebagai berikut : Tahun ke 1–5 se­besar  0,25 persen, Tahun ke 6–10 sebesar 2 persen, Tahun ke 11–15 sebesar 6 persen, Tahun ke 16–20 sebesar 10 persen, dan Tahun ke 21–25 sebesar 27,83 persen. Atas Pinjaman sub-ordinasi ter­sebut, diberikan jaminan berupa: personal guarantee Bapak Tomy Winata dan Bapak Sugianto Kusuma selaku investor baru, corporate guarantee PT Puspita Bisnis Puri, PT Arthamulia Sen­to­sajaya, dan PT Pirus Platinum Murni, dan seluruh harta keka­yaan Bank Arta Prima.

Siapa yang paling berkehen­dak menyelamatkan Bank Arta Prima?
Bukan Kelompok Artha Graha yang menghendaki mengambil alih Bank Arta Prima, namun kebijakan Bank Indonesia yang berperan mendorong penyelama­tan dan penyehatan Bank Arta Prima. Kesimpulan ini bisa dilhat saat proses finalisasi penandata­nganan program penyelamatan dan penyehatan Bank Arta Prima, Bapak Tomy Winata sempat mem­batalkan penandatanganan yang disebabkan adanya komen­tar Pejabat Tinggi Bank Indonesia yang menganggap seolah-olah Kelompok Artha Graha menda­patkan ‘durian runtuh’. Sedang­kan dalam kenyataannya; Ke­lompok Artha Graha justru mem­bantu Bank Indonesia memberes­kan permasalahan besar yaitu penyelamatan uang Negara yang terbenam di Bank Arta Prima.

Sejak pengambilalihan Bank Arta Prima oleh Investor Baru, apa saja yang terjadi?
Pertama, adanya tuntutan dari pemegang saham lama terhadap Bank Indonesia dan investor baru mengenai pengambil-alihan Bank Arta Prima. Kedua, Bank Arta Prima berubah nama men­jadi Bank Arta Pratama. Ketiga, hanya dalam tempo 1 tahun, ma­na­jemen baru berhasil membawa Bank Arta Prima dari Bank Ka­tegori “C” menjadi Bank Kata­gori “A” (Sangat Sehat) dengan CAR (Capital Adequacy Ratio) 27.68% sehingga Bank Arta Prima tidak perlu ikut program Rekapitalisasi Perbankan yang menggunakan uang negara. Ke­empat, Bank Indonesia mem­berikan persetujuan prinsip merger antara Bank Arta Pra­tama dengan Bank Artha Graha pada 21 Desember 1998, dan ke­mu­dian memperoleh ijin merger dari Bank Indonesia dan Departemen Kehakiman pada tanggal 26 April 1999. Kelima, Bank Artha Graha diakuisisi PT Interpacific Tbk pada 14 April 2005, dan kemu­dian berubah nama menjadi PT Bank Artha Graha Internasional Tbk.

Pendapat Bank Indonesia atas program ini seperti apa?
Surat dari Bank Indonesia kepada Direksi PT Bank Artha Graha tertanggal 21 Mei 1999 nomor 1/DWG/UPwB1/Rahasia; salah satu butirnya menyatakan bahwa: “Masuknya Kelompok Artha Graha pada
Bank Arta Prima merupakan salah satu upaya penyelamatan bank sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia yang diatur da­lam ketentuan yang berlaku pada waktu itu, yaitu Pasal 37 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1992 tentang Per­bankan. Dari beberapa inves­tor yang bermaksud mengambil alih Bank Arta Prima, Kelompok Artha Graha tampaknya cukup mampu baik dari segi finansial maupun dari segi manajemen serta program penyehatan bank dibandingkan investor lainnya.” Butir lain dalam surat Bank Indonesia tersebut menyebutkan bahwa; “Pengambilalihan dan penyelamatan Bank Arta Prima oleh Keompok Artha Graha menurut hemat kami tidak akan menimbulkan kerugian pada keuangan negara dan perekono­mian negara.”

Kemudian Bank Artha Gra­ha mengajukan penurunan suku bunga, kenapa?
Sejalan dengan perkembangan perekonomian dan penurunan sukubunga Indonesia, Bank Artha Graha kemudian menga­ju­kan permohonan penurunan suku­bunga pinjaman subordinasi, dan mengingat bahwa asumsi-asumsi yang digunakan pada saat program penyelamatan dan pe­nyehatan Bank Arta Prima di ta­hun 1997 sangat berbeda dengan kondisi perbankan dan pereko­nomian paska krisis keuangan. Termasuk dalam hal ini adalah perbedaan kondisi perekonomian di tahun 1997 dan peraturan Per­bankan saat itu dengan kondisi pe­rekonomian dan peraturan Per­bankan yang berlaku saat ini. Penyesuaian sukubunga itu sen­diri merupakan hal lazim dalam dunia perbankan dan keuangan dimanapun di dunia, termasuk di Indonesia. Hal ini juga tidak bisa dilepaskan begitu saja dari rang­kaian penyelamatan uang negara yang terbenam di Bank Arta Prima tahun 1997. Andaikata saja Bank Arta Prima tidak diselamat­kan, maka negara dirugikan tidak kurang dari Rp 1,3 triliun.

Apa prosesnya cepat?
Setelah melalui proses selama lebih dari 3 tiga tahun Bank Indo­nesia melalui surat tertanggal 15 Februari 2009 menyampaikan ke­bijakan Bank Indonesia berupa penyesuaian sukubunga pinja­man sub-ordinasi dengan pokok-pokok sebagai berikut: Pertama, percepatan pembayaran pokok pinjaman sub-ordinasi, yaitu 3 tahun lebih cepat dari jadwal se­mula, sehingga angsuran pokok yang semula dimulai pada tahun 2013 menjadi dimulai lebih awal pada tahun 2010. Kedua, perce­patan jatuh tempo pin­jaman sub-ordinasi, yaitu 3 tahun dari jadwal semula jatuh tempo pada tahun 2022 men­jadi jatuh tempo pada tahun 2019. Ketiga, pembayaran angsuran pokok secara pro-rata sebesar Rp 101 Milyar per tahun mulai tahun 2010 sampai dengan tahun 2019. Keempat, tidak ada pengurangan pokok pinjaman sub-ordinasi atau tetap sebesar Rp 1,019 triliun. Kelima, peruba­han suku bunga menjadi 3,25% terhitung sejak tanggal 21 Okto­ber 2008. Keenam, penam­bahan jaminan fixed asset oleh Bank Artha Graha kepada Bank Indo­nesia.

Apa keuntungan dari ke­bija­kan ini?
Kebijakan Bank Indone­sia melakukan restruk­turisasi pinja­man sub-ordinasi tersebut lebih secured, lebih memperkuat posisi dan pengembalian pinjaman ke Bank Indonesia sebagai Kreditur, dan kondisi Bank Artha Graha Internasional Tbk dalam keadaan sehat dan terus berkembang baik.

Bagaimana dengan pemba­ya­ran­nya?
Sejak awal pinjaman sub-ordi­nasi tahun 1997, Bank Artha Graha selalu membayar dengan lancar dan tepat waktu semua kewajiban tanpa kecuali, dan tidak ada tunggakan apapun. Bahkan sejak 2010, Bank Artha Graha sudah melakukan pemba­yaran cicilan pokok pinjaman sub-ordinasi dalam rangka pe­nyelamatan dan penyehatan Bank Arta Prima.  

Bagaimana dengan reko­men­­dasi Badan Pemeriksa Keuang­an (BPK) agar BI menagih ku­rang bayar Bank Artha Graha sebesar Rp 497 miliar?
Pada 4 November 2011, Bank Indonesia mengundang Bank Artha Graha untuk membahas pinjaman sub-ordinasi Bank Artha Graha. Pertemuan dipim­pin Deputi Gubernur Bank Indo­nesia Bapak Halim Alamsyah, dihadiri BPK dan Bank Artha Graha. Ke­sim­pulan rapat: Bank Indonesia akan menyampaikan surat klari­fikasi dan penegasan kepada BPK perihal perjanjian restruktu­risasi pinjaman sub-ordinasi Bank Artha Graha dengan Bank Indonesia, bahwa Bank Artha Graha tidak memiliki tunggakan sebesar Rp 497 miliar.

Dari program ini, poin apa yang ingin Anda sampakan?
Program penyelamatan dan penyehatan Bank Arta Prima yang dilakukan Bapak Tomy Winata selaku investor baru Bank Arta Prima di tahun 1997 sama sekali tidak merugikan negara, sebaliknya justru berhasil menyelamatkan kerugian negara dan seharusnya menjadi contoh sukses yang baik dan selayaknya diterapkan oleh Bank Indonesia dalam penyelamatan dan penye­hatan perbankan Indonesia lainnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA