Temuan Komnas HAM yang mensinyalir adanya tindakan peÂlanggaran HAM dalam peÂnaÂnganan keamanan Kongres RakÂyat Papua III, 16-19 Oktober lalu, menambah deretan panjang aksi kekerasan di sana.
Demikian disampaikan Ketua Umum Angkatan Muda Partai Golkar, Yorrys Raweyai kepada RakÂÂyat Merdeka di Jakarta, keÂmarin.
Ironisnya, lanjut anggota KoÂmisi I DPR itu, setiap aksi keÂkeÂrasan terlibat aparat keamanan, baik pihak Kepolisian maupun TNI. Pada gilirannya, dinamika soÂsial, politik, ekonomi dan buÂdaya yang berlangsung di ujung timur nusantara itu, lebih identik dengan kekerasan ketimbang upaya peningkatan kesejahteÂraan dan kualitas hidup.
â€Sungguh sebuah kondisi yang memprihatinkan, mengÂingat 10 tahun pasca dideÂngungÂkannya kebijakan Otonomi KhuÂsus, konÂdisi Tanah Papua tidak jauh berÂbeda dengan seÂbeÂlumÂnya,’’ curhat Yorrys.
Berikut kutipan selengkapnya:
Apa pemerintah belum mÂeÂneÂmukan kebijakan yang pas?
Tampaknya seperti itu. KeÂgaÂlauan pemerintah belum usai daÂlam menentukan kebijakan seÂperti apa yang layak diterapkan bagi kondisi Papua saat ini. BerÂbagai forum pemikiran dan kajian diadakan dan sejumlah rekoÂmenÂdasi politik diajukan. Tapi tidak membuahkan hasil signifikan bagi terciptanya perubahan dalam tatanÂan kehidupan masyarakat Papua.
Apa ini penyebab utama masÂÂyarakat Papua meradang?
Ya, betul. Kenyataan inilah yang membuat masyarakat Papua meradang. Konsistensi penaÂngaÂnÂÂan tidak pernah sejalan deÂngan niat tulus dan maksud baik peÂmerintah yang selama ini diÂgeÂmakan. Aksi represif dan reÂaktif yang berlindung di balik keÂdok keÂtegasan dan dan adagium NKRI sebagai harga mati, justru meÂÂmatikan rasa memiliki masÂyarakat Papua terhadap bangÂsanya sendiri.
Aparat negara menutup mata terhadap kondisi anak bangsaÂnya sendiri, sehingga masyaraÂkat PaÂpua mencari perlindungan dan meÂnyuarakan aspirasi keÂpada duÂnia internasional. MaÂkanya, duÂnia internasional lebih lantang berÂsuara mengkhaÂwaÂtirkan konÂdisi HAM di Papua ketimbang Indonesia.
Artinya Otonomi Khusus biÂsa dikatakan gagal?
Kondisi Papua saat ini adalah wajah kegagalan pemerintah daÂlam meng-Indonesia-kan Papua. Solusi damai yang bermuara pada cita-cita untuk mengembalikan harÂÂkat dan martabat masyarakat Papua hanya sebatas retorika yang hampa makna dan impleÂmenÂtasi.
Sebab, di sisi lain, proses peÂngemÂbalian tersebut tidak diÂiringi deÂngan konsistensi keÂbijakan yang melandaskan soÂluÂsinya pada keÂbijakan Otonomi KhuÂsus.
Apa yang diabaikan pemeÂrinÂtah?
Pemerintah cenderung mengaÂbaikan institusi-insitusi sosial, politik dan budaya yang diÂamaÂnatkan Undang-Undang OtonoÂmi Khusus. KeÂkhususan kebijaÂkan terhadap Papua dipahami secara partikular dan sepihak, seÂsuai deÂngan keÂpenÂtingan pemeÂrintah puÂsat. MaÂkanya sulit unÂtuk dinaÂfikan bahwa letupan-letupan diÂnamika kehidupan masyarakat Papua akan selalu berujung pada perÂsoalÂan.
Suara-suara keluh dan geÂlisah hanya akan dimaknai seÂbagai keÂbisingan, ketimbang raÂtapÂan anak bangsa yang sedang meÂnuntut harkat dan martabatnya unÂtuk diakui.
Barangkali karena ada geÂrakÂan separatisme?
Stigma separatisme mengurai jalan pintas di tengah keÂpuÂtusÂasaan pemerintah. Separatisme itu pula yang semakin mengaÂburÂkan sejarah kelam yang tak perÂnah terkuak dan terluruskan seÂlama puluhan tahun.
Politik sekuritisasi sudah teÂlanjur memposisikan masyarakat PaÂpua sebagai musuh. Logika ke-kita-an berangsur hilang tak berÂbekas, digerus pragmatisme peÂnanganan yang tidak pernah ingin mematangkan kesabaran dalam menghadapi riak-riak dan dinaÂmika yang terjadi dalam kehÂiÂdupan masyarakat Papua. KonÂdisi ini terasa sulit diterima, meÂngingat kebijakan Otonomi KhuÂsus telah menyajikan jalan yang manusiawi dalam meng-Indonesia-kan masyarakat Papua.
Apa ini pemberian pemeriÂnÂtah?
Otonomi Khusus bukan semata pemberian, namun hak yang seÂcara inheren terkandung dalam raÂhim sosial masyarakat Papua. Substansi Otonomi Khusus meÂneÂgaskan bahwa masyarakat PaÂpua adalah bagian integral NKRI. Mereka berhak mendapatkan perÂlakuan yang adil dan setara seÂbaÂgai warga negara. Perlakuan adil dan setara adalah tuntutan utama.
Ini berarti pendekatan pemeÂrintah kurang pas?
Pola penanganan yang represif dan reaktif telah terbukti tidak mampu menyelesaikan perÂsoalÂan. Namun hanya menjadikan adaÂgium harga mati NKRI seÂjalan dengan kemerdekaan yang juga mati. Acap kali aktivitas politik masyarakat Papua hanya menghasilkan tumbal yang justru mencederai tekad dan niat tulus untuk merangkul semua pihak.
Siklus kekerasan dan penindasÂan inilah yang membuat bangsa ini teÂrus mewarisi beban sejarah yang makin perih dan berat, sarat dengan dendam dan kebencian. Rakyat Papua selalu menjadi objek yang dipersalahkan. SeÂmenÂtara kekuasaan berdiri poÂngah dengan kebenaran yang dilegitimasi sendiri.
Bagaimana solusinya?
Mencermati kondisi saat ini, cuÂkuplah kiranya kita menemÂpatkan persoalan Papua dalam proses penyelesaian yang lebih komÂprehensif. Penyelesaian komÂprehensif akan menafikkan aks-aksi parsial, seperti yang berÂlangsung saat ini. Salah satu proÂses yang mengarah pada komÂpreÂhensivitas tersebut adalah meÂngeÂdepankan suasana dialogis daÂlam menangani persoalan paÂpua. Dialog membuka ruang reÂkonÂsiliasi kedua belah pihak.
Dinamika sosial, politik, ekoÂnoÂmi dan budaya akan direspons seÂbagai tawaran awal mengomÂpromikan sejumlah konsesi poÂlitik. Hal itulah yang tidak terjadi saat ini. Sebaliknya, pemerintah jusÂtru menerapkan strategi koÂlonial dengan cenderung meÂmeÂcah belah persatuan dan kesatuan masyarakat melalui stigma seÂparatisme. Kegagalan demi keÂgaÂgalan dalam menerapkan keÂbiÂjakan adalah imbas dari menÂciutÂnya potensi dialogis.
Bukankah dengan Otonomi Khusus itu sudah ada dialog?
UU Otonomi Khusus telah meÂngamanatkan peran insÂtituÂsioÂnal yang bertindak sebaÂgai perÂwaÂkilan suara rakyat. Dewan PerÂwakilan Rakyat Papua (DPRP) adalah lembaga legislatif yang berperan menjembatani dialog.
Sementara Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai lembaga repÂreÂsenÂtasi kultural produk Otonomi Khusus memberi input pertimÂbangan isi dialog yang henÂdak disepakati. MaksimalisaÂsi peran kedua lembaga tersebut akan menghasilkan kebijakan yang berÂsumber dari kepentingan rakÂyat, bukan tafsiran sepihak apaÂrat pemerintah pusat.
Dalam suasana dialogis, semua pihak berdiri sama tinggi dan duÂduk sama rendah. Tidak ada piÂhak yang lebih dominan atas yang lainnya. Sebab, suasana dialog meÂngandaikan kesetaraan dan keÂsamaan kesempatan untuk meÂngeÂmukakan pendapat.
Hasil dari serangkaian dialog tersebut adalah hasil kesepakatÂan berÂsaÂma. Sehingga simpang-siur opini tentang kondisi objekÂtif PaÂpua tidak dimanfaatkan piÂhak-pihak tertentu untuk seÂmaÂkin memÂperÂkeruh suasana.
Apa Anda yakin kalau dialog dilakukan bisa menyelesaikan persoalan?
Tidak ada persoalan yang tak bisa diurai dan diselesaikan deÂngan baik, selama niat dan keÂhenÂdak tulus masih bersarang dalam logika akal sehat. Sepuluh tahun operasi kebijakan Otonomi KhuÂsus tidaklah sebanding dengan puÂluhan tahun masa kelam penÂdeÂritaan rakyat Papua.
Sementara itu, 25 tahun masa pemberlakuan Otonom Khusus seharusnya meÂmantik tidur lelap panjang kita untuk terbangun dan menyadari betapa rentang batas masa itu seÂmakin dekat. Karena itu, tanpa suaÂsana kultural-diaÂlogis, penÂdeÂkatan komÂpreÂhensif, maka reÂtoÂrika tidak cukup mampu meÂnguÂrai substansial persoalan hingga terselesaikan dengan baik. SeÂlaÂma itu pula, kekerasan di Tanah PaÂpua tiada akan pernah usai. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: