RMOL. Sebagian kalangan salah menafsirkan soal arti pluralisme. Seakan menerima pluralisme, maka berarti kita mencampur-adukkan agama sehingga terjadi sinkretisme agama.
Inisiatif symposium ini adaÂlah Dutch Consortium of Migrant Organizations/DCMO (KonÂsorsium Belanda dari Organisasi-organisasi para Migran) bekerja sama dengan KBRI Den Haag.
“Sinkretisme agama ini diÂtoÂlak Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha. Tidak mau siaÂpapun yang agamanya diÂcamÂpur-adukkan. Sama saja dengan saya. Kalau saya meneÂrima pluÂralisme, saya tidak menÂcampur-adukkan agaÂma,’’ papa AzyuÂmardi.
Berikut kutipan selengkapnya:
Apa arti pluralisme itu?
Arti pluralisme itu adalah meÂngakui keberagaman dan perbeÂdaan. Ada orang yang beragama di luar agama kita, ya dihormati. Itu yang dimaksud dengan pluÂralisme. Bukan mencampur-adukÂÂkan kepercayaan beragama. Kalau ada pendeta atau pastor yang menerima pluralisme, itu juga tidak mau agamanya diÂcampur-adukkan.
Bagaimana kondisi kemaÂjemukan di Indonesia?
Sebetulnya kondisi kemajemuÂkan, pluralisme ataupun multiÂkuÂluralisme masih bertahan seÂperti dulu, meski pernah ada kaÂsus Ciketing dan Cikeusik. Tapi itu kan kasus-kasus.
Tidak bisa dijadikan sebagai indikator gejala umum yang terÂjadi di Indonesia secara keseÂluruhan.
Kenapa aparat keamanan tidak bisa berbuat banyak bila terjadi kekerasan terkait isu agama?
Dalam banyak kasus kekerasan itu, polisi seolah-olah tidak mau menegakkan hukum. Alasannya, massa yang dihadapi terlalu baÂnyak, sedangkan jumlah polisi sedikit. Hal itu selalu dijadikan alaÂsan, excuse, oleh polisi.
Kita tidak menerima excuse itu. Polisi harus bertindak tegas. KaÂlaupun tidak bisa saat itu berÂhadapan dengan massa. Tapi seÂtelah itu pimpinannya bisa diÂcari dan diÂbawa ke Kepolisian atau dihadapÂkan ke meja huÂkum. TeÂtapi ini tidak dilakukan.
Apa kira-kira di balik itu, seÂhingga polisi tidak bersikap tegas?
Saya kira ini persoalan peÂmeÂrintah secara keseluruhan, lamÂbat mengambil keputusan, tiÂdak teÂgas, maju mundur dan seterusÂnya.
Sekarang yang sangat mengÂkhawatirkan soal kekerasan di Papua. Beberapa orang tewas dalam kaitannya dengan KeÂpoliÂsian. Bahkan tensinya meÂningkat.
Kemudian Merpati dan GaÂruÂda tidak terbang lagi ke TiÂmika. Ini seharusnya bisa diataÂsi pemeÂrintah. Selesaikan maÂsalah Papua dengan cara berÂdialog, bukan deÂngan kekeraÂsan. Sebab, keÂkeÂraÂsan tidak akan menyelesaikan persoalan di sana. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: