WAWANCARA

Azyumardi Azra: Selesaikan Masalah Papua Dengan Cara Berdialog

Selasa, 15 November 2011, 08:03 WIB
Azyumardi Azra: Selesaikan Masalah Papua Dengan Cara Berdialog
Azyumardi Azra

RMOL. Sebagian kalangan salah menafsirkan soal arti pluralisme. Seakan menerima pluralisme, maka berarti kita mencampur-adukkan agama sehingga terjadi sinkretisme agama.  

Demikian disampaikan Di­rektur Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Azyumardi Azra, kepada kores­ponden Rakyat Merdeka di Be­landa, A Supardi Adiwidjaya, seusai simposium internasional bertemakan “Islam dan Demo­krasi” di ruang konferensi Hotel Eden Babylon, Den Haag, Ka­mis (3/11).    

Inisiatif symposium ini ada­lah Dutch Consortium of Migrant Organizations/DCMO (Kon­sorsium Belanda dari Organisasi-organisasi para Migran) bekerja sama dengan KBRI Den Haag.

“Sinkretisme agama ini di­to­lak Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha. Tidak mau sia­papun yang agamanya di­cam­pur-adukkan. Sama saja dengan saya. Kalau saya mene­rima plu­ralisme, saya tidak men­campur-adukkan aga­ma,’’ papa Azyu­mardi.

Berikut kutipan selengkapnya:


Apa arti pluralisme itu?

Arti pluralisme itu adalah me­ngakui keberagaman dan perbe­daan. Ada orang yang beragama di luar agama kita, ya dihormati. Itu yang dimaksud dengan plu­ralisme. Bukan mencampur-aduk­­kan kepercayaan beragama. Kalau ada pendeta atau pastor yang menerima pluralisme, itu juga tidak mau agamanya di­campur-adukkan.  


Bagaimana kondisi kema­jemukan di Indonesia?

Sebetulnya kondisi kemajemu­kan, pluralisme ataupun  multi­ku­luralisme masih bertahan se­perti dulu, meski pernah  ada ka­sus Ciketing dan Cikeusik. Tapi itu kan kasus-kasus.

Tidak bisa dijadikan sebagai indikator gejala umum yang ter­jadi di Indonesia secara kese­luruhan.


 Kenapa aparat keamanan tidak bisa berbuat banyak bila terjadi kekerasan terkait isu agama?

Dalam banyak kasus kekerasan itu, polisi seolah-olah tidak mau menegakkan hukum. Alasannya, massa yang dihadapi terlalu ba­nyak, sedangkan jumlah polisi sedikit. Hal itu selalu dijadikan ala­san, excuse, oleh polisi.

Kita tidak menerima excuse itu. Polisi harus bertindak tegas. Ka­laupun tidak bisa saat itu ber­hadapan dengan massa. Tapi se­telah itu pimpinannya bisa di­cari dan di­bawa ke Kepolisian atau dihadap­kan ke meja hu­kum. Te­tapi ini tidak dilakukan.


Apa kira-kira di balik itu, se­hingga polisi tidak bersikap tegas?

Saya kira ini persoalan pe­me­rintah secara keseluruhan, lam­bat mengambil keputusan, ti­dak te­gas, maju mundur dan seterus­nya.

Sekarang yang sangat meng­khawatirkan soal kekerasan di Papua. Beberapa orang tewas dalam kaitannya dengan Ke­poli­sian. Bahkan tensinya me­ningkat.

Kemudian  Merpati dan Ga­ru­da tidak terbang lagi ke Ti­mika. Ini seharusnya bisa diata­si peme­rintah. Selesaikan ma­salah Papua dengan cara ber­dialog, bukan de­ngan kekera­san. Sebab, ke­ke­ra­san tidak akan menyelesaikan persoalan di sana. [Harian Rakyat Merdeka]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA