WAWANCARA

Azyumardi Azra: Siapapun Tidak Mau Agamanya Dicampuradukan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Senin, 14 November 2011, 07:06 WIB
Azyumardi Azra: Siapapun Tidak Mau Agamanya Dicampuradukan
azyumardi azra/ist
RMOL. Tidak sedikit orang yang keliru memahami pluralisme dan menyamakannya dengan sinkretisme.

Demikian disampaikan cendekiawan muslim Indonesia, Azyumardi Azra, yang menjadi salah satu pembicara dalam simposium internasional bertemakan Islam dan Demokrasi di Hotel Eden Babylon, Den Haag, Belanda, pada 3 November lalu. Di sela-sela acara simposium tersebut, Rakyat Merdeka Online berkesempatan mewawancarai mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta itu.

Berikut wawancara lengkap dengan Azyumardi Azra.

MUI mengeluarkan fatwa bahwa pluralisme itu haram. Pandangan Anda?

Sebenarnya itu salah paham dalam memahami pluralisme. Dalam hal ini bukan saja Kiai Haji Ma’ruf Amin, misalnya, tapi juga sebagian kalangan yang lain berpendapat, bahwa kalau kita menerima pluralisme, maka berarti kita mencampur-adukkan agama. Sehingga terjadi sinkretisme agama. Sedang sinkretisme agama itu ditolak oleh Islam. Tapi sinkretisme agama itu bukan saja ditolak oleh Islam, tetapi  agama-agama lain, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, juga menolak, tidak mau siapapun juga agamanya dicampur-adukkan.

Sama saja dengan saya. Kalau saya menerima pluralisme, saya tidak mencampur-adukkan agama. Karena pluralisme itu sebetulnya artinya adalah mengakui keberagaman, perbedaan. Bahwa ada orang yang beragama di luar agama kita dan kita hormati itu kepercayaannya yang berbeda dengan kita itu. Itu lah yang dimaksud dengan pluralisme. Jadi bukan mencampur-adukkan kepercayaan beragama. Jadi kalau ada pendeta atau pastor yang menerima pluralisme itu juga dia tidak mau agamanya dicampur-adukkan dengan Islam, misalnya. Tapi sekali lagi, sederhananya artinya adalah mengakui keragaman, mengakui pluralitas, tetapi tidak berarti kemudian itu menyamakan semua agama, atau mencampur-adukkan semua agama.

Apakah fatwa MUI itu harus diikuti oleh umat Islam?

Fatwa itu dalam Islam artinya pertimbangan hukum. Berdasarkan satu pendapat hukum Islam. Jadi banyak pendapat lain. Apalagi Indonesia itu bukan negara Islam, jadi oleh karena itu fatwa itu tidak binding, tidak mengikat. Dan MUI itu bukanlah sebuah lembaga resmi pemerintah. MUI sesungguhnya sebuah lembaga masyarakat. Karena di Indonesia tidak ada lembaga kemuftian. Dan kalau di negara lain, seperti misalnya di Malaysia, di sana ada lembaga kemuftian. Dan lembaga kemuftian itu memang keputusannya harus diikuti oleh umat Islam.

Kalau di Indonesia MUI itu bukan lembaga kemuftian, itu hanyalah salah satu dari beberapa lembaga yang mengeluarkan fatwa. Lembaga yang mengeluarkan fatwa itu di Muhammadiyah ada, yakni Majelis Tarjih; di NU ada Bahtsul Masail. Mereka bisa mengeluarkan fatwa yang berbeda-beda dan terserah kepada umat untuk mengikutinya. Kalau dia merasa nyaman, atau lebih enak atau lebih yakin dengan fatwa NU maka dia mengikuti fatwa NU, atau kalau lebih yakin dengan fatwa Muhamadiyah, ya dia mengikuti fatwa Muhammadiyah. Sebaliknya juga fatwa MUI. Jadi fatwa itu tidak binding, itu adalah sebuah pertimbangan hukum dan mungkin dari pertimbangan hukum yang lain.

Dengan adanya fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme, bagaimana dengan kondisi kemajemukan di Indonesia?

Sebetulnya kondisi kemajemukan, pluralisme ataupun multikuluralisme masih bertahan seperti dulu, meskipun beberapa bulan yang lalu pernah ada kasus di Ciketing dan di Cikeusik. Tapi itu kan kasus-kasus yang sesungguhnya boleh disebut, saya selalu bilang, satu kasus yang tidak bisa dijadikan sebagai indikator gejala umum yang terjadi di Indonesia secara keseluruhan. Kalau yang di Cikeusik itu kan kaitannya dengan Ahmadiyah. Tapi kasus Ciketing itu sampai sekarang tidak ada masalah Ahmadiyah. Aman, ya. Karena memang banyak juga dugaan bahwa kasus Cikeusik itu sesungguhnya ada semacam rekayasa juga dari kelompok-kelompok tertentu. Sehingga ketika kemudian setelah kasus itu selesai, maka sesudah itu relatif aman saja, tidak ada masalah yang terkait dengan Ahmadiyah.

Bagaimana dengan kasus Bogor?

Lagi-lagi kaitannya pada awalnya soal politik, karena walikota yang sekarang ini mau Pilkada dan menjadikan soal Pilkada jadi sebuah isu. Dalam rangka mungkin memenuhi kepentingan-kepentingan tertentu. Memberikan janji-janji kepada kelompok-kelompok Islam tertentu bahwa kalau dia menang maka kemudian surat izin gereja itu dicabut sama dia. Jadi itu tidak lebih terkait dalam persoalan-persoalan politik sesungguhnya. Dan juga, saya kira, terkait dengan soal eksekusi hukum yang tidak dilakukan, jadi itu keputusan MA sudah ada, tapi dia tidak melaksanakan. Tetapi  kemudian, kenapa Mahkamah Agung atau instansi penegak hukum lain tidak melakukan eksekusi. Eksekusi paksa dan itu tidak dilakukan.

Jadi polisi juga seakan-akan membiarkan?

Ya. Jadi dalam banyak kasus kekerasan itu bukan hanya di Cikeusik ataupun  di tempat-tempat lain. Tapi juga di dalam banyak gejalanya juga seperti itu. Polisi seolah-olah tidak mau menegakkan hukum dengan alasan, misalnya massa yang dihadapi terlalu banyak, sedangkan jumlah polisi sedikit. Tapi hal itu selalu dijadikan alasan, exuse, oleh polisi. Dan kita tidak menerima exuse itu. Ya polisi harus bertindak tegas. Kalaupun tidak bisa misalnya pada waktu berhadapan dengan massa, tetapi setelah itu kan pimpinannya bisa dicari. Pimpinan massa itu bisa dicari dan bisa dibawa ke kepolisian ataupun dihadapkan ke meja hukum. Tetapi ini tidak dilakukan.

Apakah tidak bisa dikatakan, bahwa hal itu terjadi karena pemerintah yang lemah?

Ya, saya kira juga pemerintahan secara keseluruhan. Karena Kepolisian itu kan bertanggungjawab langsung kepada Presiden kan. Tapi Presidennya sendiri, ya saya kira  tidak tegas. Dan ini bukan rahasia lagi, bahwa Presiden SBY salah satu yang sering dikritik orang itu adalah lambat dalam mengambil keputusan, tidak tegas, maju mundur dan seterusnya itu. Dan itu terkait bukan hanya kasus seperti itu. Dan sekarang yang sangat mengkhawatirkan kan Papua. Di Papua terjadi kekerasan, dimana beberapa orang tewas dalam kaitannya dengan Kepolisian. Dan bahkan tensinya meningkat, dan termasuk kemudian tentang  Merpati dan Garuda tidak terbang lagi ke Timika. Jadi ini hal-hal yang sesungguhnya seharusnya bisa diatasi oleh pemerintah, tetapi karena tidak tegas dan mungkin juga karena Presiden SBY menganggap kasus-kasus seperti itu akan selesai dengan sendirinya, seleseai dengan perjalanan waktu. Kalau  dengan prinsip begitu hal itu tidak bisa itu. Itu harus diselesaikan, harus dialog.

Para ulama Indonesia mencetuskan tentang sembilan kebohongan SBY, itu bagaimana menurut Anda?

Ya itu lah sampai segitu itu. Jadi ada para tokoh agama, tidak hanya ulama, tapi juga intelektual, kalangan gereja Katolik, gereja Protestan juga ikut semua disitu. Jadi ini sebetulnya karena banyak pernyataan Presiden itu, atau janji Presiden itu yang tidak dijalankannya. Tentang pemberantasan korupsi, misalnya, Presiden berkali-kali menegaskan, bahwa dia akan menangani sendiri pemberantasan korupsi, tetapi tidak jalan. Atau akan melaksanakan pemberantasan mafia hukum, ini juga tidak jalan. Selain itu ada juga program-program pembangunan, janji-janji tentang peningkatan kesejahteraan rakyat, tapi  itu tidak jalan. Nah sehingga  kemudian itu disebut sebagai kebohongan publik oleh tokoh-tokoh itu.

Menanggapi hal itu, Presiden seharusnya tidak usah bersikap reaktif dan defensif. Nah itu diambil saja positifnya, hikmahnya, bahwa apa yang disampaikan itu bisa dijadikan momentum untuk lebih meningkatkan kinerjanya. Dan berusaha memenuhi janji-janjinya itu. Sehingga bisa dipenuhi dan mengeluarkan fakta bahwa dipenuhi nanti tidak bisa dikatakan itu sebagai kebohongan. [ysa]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA