Menanggapi hal itu, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) DenÂny Indrayana mengatakan, pengÂhaÂpusan Pengadilan TipiÂkor di daerah harus berdasarkan kajian.
“Kami dengan KPK sempat memperbincangkan apakah tidak lebih baik kalau Pengadilan TiÂpikor hanya di Jakarta. Saat ini kami dan KPK sedang menimÂbang,†kata Denny Indrayana keÂpada Rakyat Merdeka di Jakarta, Sabtu (5/11).
Berikut kutipan selengkapnya:
Apalagi yang dipertimÂbangÂkan, bukankah Pengadilan TiÂpikor di daerah sudah banyak memÂvonis bebas terdakwa perÂkara korupsi?
Penghapusan itu harus berÂdaÂsarkan kajian atas efektivitas pemÂÂÂberantasan korupsi di daerah.
Apakah Kemenkumham seÂtuju pengadilan itu dibubarÂkan?
Nanti kita lihat mana yang akan bermanfaat bagi pembeÂrantasan korupsi. Kalau pemÂbubaran itu dilakukan, berarti harus direvisi UU Nomor 46 tahun 2009 tenÂtang Pengadilan Tipikor.
Revisi perlu secepatnya dilaÂkukan mengingat ini bisa meÂnimbulkan keresahan di maÂsyaÂrakat?
Betul. Jika keadaan ini dibiarÂkan, selain menimbulkan keresaÂhan di masyarakat, pengadilan lain juga bisa mengikutinya. MaÂkaÂnya, saya sarankan ada tinÂdakan luar biasa agar kejadian seperti ini tidak terulang.
Apa tindakan luar biasa itu?
Pengadilan Tipikor di daerah harus membuat gebrakan . Kalau kondisinya seperti ini, saya menÂcemaskan Pengadilan Tipikor di daerah bakal tinggal nama. SeÂbab, masyarakat sudah antipati. Padahal, tujuan pendiriannya agar pelaku korupsi di daerah bisa efektif ditindak tanpa perlu datang ke Pengadilan Tipikor Jakarta.
Apakah Kemenkumham suÂdah berkomunikasi dengan Mahkamah Konstitusi?
Saya pikir dukungan Ketua MahÂkamah Konstitusi Pak MahÂfud MD sudah jelas terhaÂdap kebijakan kami. Tentu kami berÂterima kasih kepada beliau yang telah menyetuji kebijakan peÂngetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi terÂpidana korupsi.
Apakah ini berlaku bagi naÂraÂpidana dari partai politik?
Ya, perlakuannya sama. Latar belakang narapidana tidak memÂpengaruhi sikap KemenkumÂham dalam memperketat pemÂbeÂrian remisi dan pembebasan bersyaÂrat. Bagi kita, penegakan hukum adalah penegakan huÂkum. Tidak terkecuali narapiÂdana dari partai politik.
Termasuk narapidana dari Partai Demokrat?
Betul. Tidak ada perlakuan isÂtimewa terhadap terpidana koÂrupsi dari Partai Demokrat walauÂpun Pak Amir Syamsuddin (MenÂkumham) berasal dari partai ini. Kebijakan pengetatan itu berlaku secara umum.
Ada yang meÂÂÂnilai peÂngetaÂtan pemÂberian remisi dan beÂbas berÂsyarat melanggar HAM dan Undang-Undang, bagaiÂmana komentar Anda?
Tidak ada pelanggaÂran HAM dan UnÂdang-Undang. Sebab, moÂratoÂrium yang kita makÂsudÂkan ini bukan pengÂhaÂpuÂsan dan peÂnguÂrangan. Yang diÂmaksud moÂraÂÂtorium adalah pengetatan syarat remisi yang bisa dipertangÂgungÂjawabkan melalui kontrol terhaÂdap pemÂberian remisi. BuÂkan mengobral remisi.
Selama ini remisi terhadap naÂrapidana korupsi terkesan didaÂpatkan dengan mudah. Maka saat ini, Kemenkumham memÂberikan indikator yang jelas bagi pihak yang akan mendapatkan remisi. Indikatornya berkelaÂkuan baik.
Adanya kebijakan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat itu karena korupsi merupakan keÂjahatan luar biasa, sehingga peÂnanganannya juga luar biasa.
Kalau pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi koÂruptor tidak diperketat, ini berÂpotensi memunculkan jual-beli remisi atau pembebasan bersyaÂrat. Ini menjadi komoditas.
Apakah Kemenkumham teÂtap menerapkan kebijakan ini?
Saya tegaskan, kami jalankan terus kebijakan ini. Tidak ada keÂraguan apapun. Haqqul yakin bahwa ini kebijakan yang tepat dan bersih bagi bangsa Indonesia yang anti korupsi. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: