“Tujuannya agar ada keÂsatuan hukum. Kesatuan hukum itu baru bisa tercapai apabila ada konsistensi putusan. Konsistensi putusan baru bisa terjadi apabila ditangani hakim-hakim di biÂdangÂnya,’’ kata Ketua Mahkamah Agung Harifin A Tumpa kepada koresponden Rakyat Merdeka di Belanda, A Supardi Adiwidjaya, di lobi Novotel di Centrum Den Haag, Belanda, Rabu (2/11).
Sejak Senin (31/10) Harifin A Tumpa bersama rombongan beÂrada di Belanda untuk melakukan studi banding, khususnya meÂngenai sistem kamar dalam penanganan perkara tersebut.
Berikut kutipan selengkapnya;
Apa maksud kunjungan ini?
Kami melakukan studi banÂding. Ini juga balasan terhadap kunjungan Ketua Mahkamah Agung Belanda tahun 2010 ke Indonesia.
Ini merupakan kebiasaan interÂnasional, kunjungan timbal balik. Sudah lama mereka mengundang kita. Baru sekarang ini kita bisa berkunjung.
Berapa orang delegasinya?
Delegasi kami terdiri dari semÂbilan orang. Kemudian dari pajak dua orang.
Di samping berbicara mengeÂnai tugas kita, juga berbicara mengenai sistem peradilan pajak di Belanda.
Kita masih memerlukan baÂgaimana sesungguhnya peradilan pajak yang tepat untuk Indonesia. Undang-undang peradilan pajak yang berlaku belum sesuai deÂngan UUD 1945.
Berapa lama di Belanda?
Menurut jadwal kami berkunÂjung ke sini selama lima hari. Jadwal kami setiap hari sangat penuh. Banyak hal yang kita bicarakan.
Apa yang urgen dalam studi banding ini?
Kita sekarang ini baru memÂberlakukan sistem kamar, baru satu bulan berjalan. Kita tentunya mencari masukan-masukan, baÂgaimana agar supaya sistem kaÂmar itu lancar dan berhasil.
Kami melihat de Hoge Raad (Mahkamah Agung) Belanda mempunyai sistem yang sama seperti ini. Itulah sebabnya kita perlu mengadakan studi banding.
Apa masalah itu saja dibiÂcaÂrakan?
Tidak. Hari pertama kita berÂbicara mengenai sistem kamar. Hari kedua berbicara mengenai perkembangan hukum pidana dan hukum perdata yang sedang berkembang.
Hari ketiga berbicara mengenai bagaimana organisasi pengadilan di negeri Belanda dan bagaimana anggaran dari peradilan itu diÂkelola. Kita membicarakan meÂngeÂnai organisasi dan budgeting dari lembaga peradilan. KemuÂdian bicara juga mengenai penÂdididkan calon hakim.
Bagaimana sisÂtem kamar itu berÂÂlaku di sini?
Di sini ada tiga kamar, yakni sipil, kriminal, dan pajak. Kalau sistem di IndoÂnesia ada lima kamar: perÂdata, pidana, agama, tatausaha negara, dan militer.
Pada prinsipnya sama, bahwa di sini hakim perdata hanya mengadili perkara-perkara sipil. Hakim pidana mengadili perkara pidana. Hakim pajak hanya mengadili perkara paÂjak. Itulah yang meÂÂnarik di sini. Yang kita mau tahu baÂgaiÂmana meÂkaÂnisme meÂreka dalam meneÂrapÂkan sisÂtem kamar ini.
Selama ini penanganannya bagaimana?
Selama ini kita memutus perÂkara berdasarkan jumlah perkara yang masuk dan jumlah hakim agung yang ada. Dengan adanya sistem kamar ini, perkara-perkara hanya ditangani hakim-hakim agung sesuai dengan bidangnya, sesuai dengan keahliannya.
Kalau sebelumnya itu, semua perkara dibagi sama. Bisa hakim agama mengadili perkara pidana, bisa hakim militer mengadili perkara perdata.
Sekarang ini tidak memungÂkinkan lagi seperti itu. Hakim perdata hanya mengadili perkara perdata. Hakim pidana hanya mengadili perkara pidana. Hakim tatausaha negara (TUN) hanya mengadili perkara TUN. Hakim agama hanya mengadili perkara agama.
Bagaimana kalau hakim agung pidana dan perdata maÂsih kurang?
Pada masa transisi ini, hakim agung perkara agama masih bisa diperbantukan untuk menangani perkara perdata. Hakim agung militer bisa diperbantukan meÂnangani perkara pidana.
Apakah tujuan diterapkanÂnya sistem kamar ini?
Yang menarik, sistem kamar ini baru bagi sistem peradilan di Indonesia, terutama bagi MahkaÂmah Agung. Sebuah perkara hanya ditangani hakim agung sesuai dengan keahliannya.
Tujuannya agar ada kesatuan hukum. Kesatuan hukum itu baru bisa tercapai apabila ada konsistÂensi putusan. Konsistensi putuÂsan baru bisa terjadi apabila ditaÂngani hakim-hakim di bidangnya.
Tadi Anda bilang ada lima kaÂmar, tapi peradilan di IndoÂnesia hanya empat, kenapa bisa begitu?
Sebab di peradilan umum itu ada dua,yakni peradilan pidana dan perdata. Tugasnya mengadili perkara perdata dan pidana. Kemudian peradilan agama yang mengadili perkara agama. PeraÂdilan Tatausaha Negara (TUN) mengadili perkara TUN. PeradiÂlan militer mengadili perkara militer.
Perkara apa yang aktual diÂtaÂngani MA?
Yang aktual sekarang ini mengenai perkara korupsi. Kami baru saja meresmikan 15 PengaÂdilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di seluruh Indonesia. Ini berarti sudah 33 Pengadilan Tipikor yang sudah beroperasi. Ini amanat Undang-undang NoÂmor 46 Tahun 2009 tentang Tindak Pidana Korupsi bahwa selama dua tahun Pengadilan Tipikor sudah ada di setiap ibuÂkota provinsi.
Bagaimana dengan masalah Papua, apa ada yang masuk pengadilan?
Masalah pemogokan, penemÂbaÂkan, adanya OPM (Organisasi Papua Merdeka) itu belum samÂpai ke pengadilan. Kemungkinan besar perkara-perkara tersebut suÂdah sampai ke pengadilan. Seperti misalnya perkara pemoÂgokan, itu nanti jika mereka mengajukan perkara ke pengaÂdilan hubungan industrial, itu nanti merupaka pekerjaan MahÂkamah Agung. Kalau yang melaÂkukan penembakan, kemudian pelakunya ditangkap itu juga menjadi urusan pengadilan.
Tetapi mengenai OPM yang merupakan gerakan separatis itu adalah urusan politik, urusan pemerintah. Ddalam hal ini MA tidak bisa turut campur. Kecuali soal tersebut sudah menjadi suatu perkara. Misalnya, ada anggota OPM yang menembak, dan diÂtuduh sebagai makar, yang memÂberotak terhadap Republik IndoÂnesia, kemudian dia diajukan ke pengadilan. Nah itu baru merupaÂkan urusan dari pengadilan. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: