MA VS KY Ribut, Soal Seleksi Hakim

Harifin Tumpa: Semuanya Dilakukan Terbuka

Minggu, 26 Juni 2011, 09:00 WIB
MA VS KY Ribut, Soal Seleksi Hakim
Harifin Tumpa
RMOL. Masih ada seabrek catatan buruk tentang kerja hakim. Komisi Yudisial (KY) meminta melibatkan Mahkamah Agung (MA) dalam proses seleksi dan rekrutmen hakim pengadilan tingkat pertama.

Dimintai tanggapan mengenai rekrutmen hakim yang dilakukan MA saat ini, Wakil Ketua KY Imam Anshari Saleh menge­mu­ka­kan, proses seleksi dan rek­rut­men calon hakim belum se­pe­nuh­nya sesuai kaidah perundangan. Semestinya dalam proses seleksi ha­kim, MA mau memberikan por­si lebih kepada KY.

Digarisbawahi, diberikannya kewenangan lebih terhadap KY dalam proses seleksi hakim di­anggap penting. “KY memiliki kredibilitas dalam menyeleksi maupun menyaring nama calon ha­kim,” katanya. Dengan kom­pe­tensi yang ada, diyakini bisa mem­bantu MA mening­kat­kan mutu hakim di Tanah Air.

Diharapkan, pelibatan KY da­lam menyeleksi calon hakim bisa dimulai dari seleksi tingkat per­tama atau pengadilan negeri. Dari sini KY bisa mem­beri kon­tribusi perbaikan kualitas, sebab para hakim agung yang du­duk di MA meniti karir sebagai hakim pengadilan tingkat pertama di pengadilan negeri.

Permintaan KY tersebut, sam­bung­nya, bukan tanpa alasan. KY mencatat setumpuk data dan la­po­ran ten­tang tindak-tanduk pe­nyim­pa­ngan hakim. Dia bilang, ber­bagai ben­tuk penyelewengan ha­kim yang di­catat KY menun­juk­kan bah­wa­ metode rekrutmen di tingkat pertama belum optimal.

KY juga menemukan data, se­jumlah hakim yang terpilih di­do­mi­na­si sanak famili atau ke­luarga ha­kim sendiri. Karenanya, pola-pola rekrutmen ca­lon hakim sudah layak dire­visi.

Hal senada disampaikan ang­gota Komisioner KY Bidang Rek­rutmen Hakim Taufi­qu­r­roh­man Syauhari. Dia menyatakan, transparansi dalam rekrutmen hakim tingkat pertama per­lu di­optimalkan.

“Itu ditujukan untuk men­g­hin­dari pandangan-pandangan ma­sya­rakat yang keliru,” terangnya sera­ya menambahkan, kurang tran­spa­rannya proses seleksi ting­kat per­tama menga­ki­bat­kan kua­litas men­tal hakim pada tingkat selanjutnya sulit di­ukur. “Pe­ni­lai­an­nya masih di­da­sari per­tim­ba­ngan-pertim­ba­ngan subyektif,” kata dia.

Dengan kondisi yang demi­kian, maka tidak mengherankan kalau selama ini, masih terjadi pe­nyimpangan perilaku hakim dan jajarannya baik panitera mau­pun staf pengadilan lainnya. “Su­dah saatnya ini diperbaiki,” tim­palnya akhir pekan lalu.

Lebih ironis, Syahuri men­du­ga, proses seleksi MA terhadap 210 hakim pada 2010 masuk kategori illegal. Proses seleksi hakim terse­but nyata-nyata men­g­e­sam­ping­kan UU No 49/2009, UU No 50/2009 dan UU No 51/2009 yang se­cara tegas mengatur tentang oto­ritas KY dalam proses rekrut­men hakim bersama-sama dengan MA.

Namun tudingan itu ditepis Ke­tua MA Harifin Tumpa. Dia bi­lang, MA sudah mengundang KY untuk sama-sama membahas me­kanisme mengenai seleksi ha­kim. Namun KY tidak merespon un­dangan tersebut.

Menurutnya, undang-undang yang mengatur MA harus meli­batkan KY dalam proses seleksi, tidak ada sanksi­nya. “Dalam UU Peradilan Umum, UU Peradilan Tata Usaha Negara dan UU Pera­dilan Agama tidak ada sanksi­nya,” sergahnya.

Ditegaskan, sejak kepe­mim­pi­nan Busyro Muqoddas, MA su­dah mengajak KY untuk ber­peran aktif dalam proses seleksi hakim. UU me­nye­but­kan bahwa KY bisa ikut serta dalam seleksi ha­kim, tapi  tidak meliputi se­lek­si calon hakim.

Di luar itu, mekanisme rek­rut­men dan seleksi calon hakim se­lama ini dilakukan sesuai pro­se­dur yang ada. “Semuanya di­la­kukan secara terbuka. Tidak ada yang ditutup-tutupi,” te­gasnya.

Tragedi Hukum di Bibir Jurang
Adhie Massardi, Aktivis GIB

Aktivis Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie Massardi menilai, silang sengketa antara Mahkamah Agung (MA) ver­sus Komisi Yudisial (KY) peri­hal proses seleksi hakim agung jadi bukti nyata adanya sikap sentimentil antar lembaga pe­negak hukum.

“Sebetulnya ini merupakan perbuatan yang memilukan bagi instansi peradilan di Indo­nesia. Seharusnya, antara MA de­ngan KY itu saling mem­ban­tu bukannya saling mengejek dan bersaing seperti ini,” katanya.

Menurut Adhie, persaingan antara KY dengan MA ini bu­kan hanya semata-mata per­saingan kewenangan dan tugas saja, melainkan sudah masuk persaingan bisnis. Sehingga, Adhie melihat kedua lembaga itu hanya melakukan pen­cit­ra­an saja. “Berbicara bisnis tentu pada akhirnya akan kembali ke­pada masalah uang,” ujarnya.

Adhie memprediksi, jika si­lang pendapat antara KY de­ngan MA terus bergulir, tak ter­tutup kemungkinan terjadi tra­gedi cicak vs buaya jilid II. Ka­rena itu, dirinya meminta ke­pada kedua lembaga itu untuk membawa permasalahan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“MK diharapkan bisa me­nin­jau kewenangan kedua lembaga tersebut dari undang-undang yang mengaturnya,” tandasnya.

Kepada para calon hakim agung yang mengikuti proses seleksi, Adhie berharap dapat me­ngambil pelajaran dari kasus hakim Syarifuddin yang ter­tang­kap tangan KPK. “Kasus hakim Syarifuddin itu jadi per­tanda bahwa mafia peradilan masih ada dan belum terkuras habis,” pungkasnya.

Disamping itu, katanya, opini masyarakat mengenai pene­gak­kan hukum di Negeri ini tetap tak berubah, yakni berada di bi­bir jurang kegagalan. “Penang­ka­pan Syarifuddin semakin membuktikan hukum tidak ber­jalan karena instrumen lembaga penegak hukum yang mesti mengawalnya malah korup,” tandasnya.

Menurut Adhie, masyarakat berharap lembaga peradilan di tingkat manapun menjadi tempat bagi masyarakat untuk mendapatkan keadilan. “Justru, pengadilan dianggap sebagai tempat yang berperan penting menjauhkan masyarakat dari keadilan,” ucapnya.

Lembaga Ad Hoc Bantu Proses Seleksi
Andi Rio Idris Padjalangi, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Andi Rio Idris Padjalangi mengimbau Mahkamah Agung (MA) mengikutsertakan Ko­misi Yudisial (KY) pada proses seleksi calon hakim agung. Pa­salnya, peran KY dalam proses itu akan menambah seleksi ca­lon hakim agung makin ketat.

“Jadi, para calon yang terse­leksi benar-benar terpilih ber­dasarkan standar kualifikasi yang memadai dan proses yang ketat,” katanya. Menurutnya, jika KY tidak diikutsertakan dalam proses itu, para hakim yang mempunyai track record bu­ruk dapat lolos dengan mudah.

Sehingga, katanya, diperlu­kan lembaga ad hoc untuk membantu proses seleksi calon hakim agung agar prosedurnya lebih ketat. “KY punya kewe­nangan mengawasi perilaku hakim. Dengan kewenangan­nya itu, maka otomatis KY bisa membantu MA untuk me­nye­lek­si secara ketat para calon ha­kim agung itu,” ucapnya.  

Dia menilai, jika MA tak me­li­batkan KY, maka MA telah membatasi kinerja suatu lem­ba­ga pemantau peradilan di Tanah Air. Menurutnya, sebagai lem­baga yang lebih dahulu lahir, MA harus membuka ruang bagi KY untuk ikut serta dalam pro­ses seleksi calon hakim agung.

“Seharusnya MA dan KY itu bekerjasama bukannya saling kontroversi,” ujarnya.  

Meski begitu, politisi Golkar ini juga mengingatkan KY agar melakukan tugasnya dengan baik jika di kemudian hari, lem­baga pengawas perilaku hakim itu diberi kepercayaan ikut da­lam proses pemilihan calon ha­kim agung.

“Jangan sia-siakan kesem­pa­tan yang diberikan. Kalau perlu KY menunjukkan terobosan-te­ro­bosan baru lain pada ma­sya­rakat. Kami di Kom­isi III men­dukung sepe­nuh­nya jika hal ini ditujukan untuk kepentingan rakyat dan ke­adilan,” tuturnya.   [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA