Pertanyaan ini penting, sebab rencana proyek jembatan yang direncanakan menghubungkan Melaka di Malaysia dengan Dumai di Sumatera, Indonesia, akan menyentuh jantung Selat Malaka.
Salah satu jalur pelayaran terpenting dunia dan membawa implikasi politik, ekonomi, dan geopolitik yang jauh melampaui jaraknya.
Kegagalan Melaka Gateway dan Ambisi Politik Melaka
Mengapa sebuah negara bagian kecil di Malaysia yang tenggelam dalam utang federal tiba-tiba bermimpi membangun jembatan sepanjang 47 kilometer melintasi salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia?
November 2020, Melaka mengubur Melaka Gateway, proyek pelabuhan senilai 10,5 miliar Dolar AS yang didukung China. Tiga pulau buatan, pelabuhan laut dalam, hotel mewah, bianglala raksasa, semuanya dirancang untuk menantang dominasi maritim Singapura.
Kemudian proyek itu runtuh di bawah pengawasan Perdana Menteri Mahathir Mohamad yang blak-blakan menyatakan: "Kami tidak butuh pelabuhan lagi." Di balik skeptisismenya ada ketakutan lebih dalam, Malaysia menggadaikan kedaulatannya demi Belt and Road Initiative China.
Melaka hari ini terjepit. Di utara ada Kuala Lumpur dan Port Klang. Di selatan ada Johor dan Singapura. Melaka tertinggal. Ia kehilangan peran strategisnya sebagai simpul perdagangan global seperti pada era Kesultanan dahulu. Kini, empat tahun kemudian, Ketua Menteri Melaka Ab Rauf Yusoh menghidupkan kembali ambisi yang sama dengan wajah berbeda. Bukan pulau kali ini, tapi jembatan ke Dumai, Indonesia.
Ab Rauf bukan politisi biasa. Fisikawan yang mendirikan Asia Lab Malaysia Sdn Bhd pada 1985, sebuah laboratorium riset nuklir swasta pertama Malaysia, ia berpindah mulus dari laboratorium ke ruang rapat korporat, Europlus Berhad, konsultan IBM, World Trade Centre KL, sebelum mendarat di mesin politik UMNO. Sebagai Ketua Investasi & Industri, ia mengantarkan investasi semikonduktor Infineon Technologies senilai 3,5 miliar Dolar AS ke Melaka.
Dalam politik Malaysia, proyek raksasa sering menjadi alat legitimasi. Mahathir punya Putrajaya. Najib punya Iskandar Malaysia. Kini Ab Rauf tampaknya ingin dikenang lewat jembatan lintas negara. Ia paham bahwa dalam politik modern, infrastruktur sama dengan warisan.
Tapi proposal jembatannya tak bisa dipisahkan dari kegagalan Melaka Gateway. Proyek itu diinisiasi Perdana Menteri Najib Razak pada 2014, didukung PowerChina dan perusahaan milik negara China lainnya. KAJ Development, developer lokal, menjanjikan 45.000 lapangan kerja dan 2,5 juta turis.
Yang mereka berikan adalah kehancuran lingkungan, sedimentasi masif yang mengancam Pemukiman Portugis dan kemarahan publik yang meningkat. Ketika Mahathir kembali berkuasa 2018, ia bertindak cepat. Izin operasi dicabut, lalu dikembalikan setelah pertarungan hukum, kemudian akhirnya dihentikan 2020 karena "gagal menyelesaikan proyek."
Mahathir melihat apa yang luput dari pandangan publik. Melaka Gateway bukan tentang kepentingan rakyat Malaysia, melainkan jawaban atas "Dilema Malaka" yang menghantui China. Ini adalah mimpi buruk strategis Beijing, 80 persen impor minyak mereka harus melewati selat sempit selebar 2,8 kilometer. Jalur ini sangat rentan diblokade oleh Angkatan Laut AS jika konflik Taiwan meletus.
Dengan mendorong investasi dan kontrol China melalui Melaka Gateway, Mahathir telah menawarkan kepada Beijing sebuah kedalaman strategis, bagi kepentingan geopolitik China. Dalam langkah ini, posisi Malaysia berisiko bergeser dari negara berdaulat menjadi pion dalam papan catur persaingan kekuatan super dunia.
Permainan Sama dengan Papan Baru Jembatan Melaka-Dumai yang diusulkan menghidupkan kembali logika geopolitik dengan baju berbeda. Ab Rauf secara eksplisit menyebut "Satu Sabuk, Satu Jalan" terminologi BRI China memberi sinyal, ini bukan sekadar infrastruktur bilateral. Dengan estimasi 15-20 miliar Dolar AS untuk biaya projek, dan Melaka sudah menganggarkan RM500.000 untuk studi kelayakan yang akan dilaksanakan pada bulan Januari tahun 2026. Padahal, pembangunan negara bagian ini masih bergantung pada hibah federal bahkan untuk memperbaiki jalan lokal, seperti yang ditunjukkan pemimpin oposisi Yadzil Yaakub. Lalu, siapa yang akan membiayai megaproyek ini?
Polanya familiar proyek BRI China di seluruh Asia mengikuti template. Pertama, konsorsium swasta akan mengusulkan sebuah proyek. Kemudian Pemerintah tuan rumah menandatangani perjanjian. Lalu, Bank China bersedia menyediakan pinjaman. Selanjutnya, kontraktor China yang akan membangun infrastruktur. Negara tuan rumah hanya mewarisi utang. Dan ketika proyek gagal secara komersial seperti kebanyakan pemerintah menghadapi pilihan default dan kehilangan aset (lihat Pelabuhan Hambantota Sri Lanka), atau membebani pembayar pajak dengan bailout.
Proposal jembatan muncul dari "sektor swasta," klaim Ab Rauf. Dalam ekonomi politik Malaysia, frasa ini adalah kode. Sektor swasta berarti konglomerat terkait UMNO raksasa konstruksi seperti MMC Corp atau Gamuda yang untung dari konsesi pemerintah. Berarti investor China mencari pijakan di lokasi strategis. Berarti proses tender tidak transparan di mana jaringan elite, bukan kepentingan publik, menentukan hasil.
Ilusi ekonomi dari pihak Melaka menjanjikan transformasi waktu tempuh antara Malaysia-Indonesia menjadi 40 menit, perdagangan meningkat, dibuka 20.000-50.000 lapangan kerja, zona industri 5.000 hektar di Masjid Tanah. Dumai akan menjadi gerbang bagi 60 juta penduduk Sumatera. Melaka akan merebut kembali peran historisnya sebagai pusat perdagangan.
Fundamental perdagangan bilateral Malaysia-Indonesia totalnya hanya 12-15 miliar Dolar AS per tahun, sangat rendah dibanding Malaysia-China 212 miliar Dolar AS. Dumai, dengan populasi 300.000, bukan Jakarta atau Surabaya. Kota ini kekurangan basis industri, tenaga kerja terampil, atau infrastruktur logistik untuk membenarkan megajembatan. Kualitas jalan dari Dumai ke Pekanbaru menjadi jalan provinsi terburuk. Perjalanan yang seharusnya dua jam sering memakan waktu lima jam.
Agar proyek jembatan Melaka-Dumai menjadi berhasil secara ekonomi, Indonesia harus memulai lebih dulu melakukan investasi pada konektivitas internal Sumatera. Mulai dari jaringan jalan tol, pelabuhan terpadu, rel kereta api logistik, hingga kawasan industri bernilai tambah. Tanpa fondasi ini, jembatan tersebut hanya akan memindahkan kemacetan dari laut ke darat, bukan menciptakan pertumbuhan yang berkeadilan.
Dalam skenario terburuk, barang manufaktur Malaysia akan membanjiri pasar Riau, sementara industri lokal terdesak sebelum sempat tumbuh. Pada saat yang sama, komoditas mentah Indonesia seperti crude palm oil, karet, dan batu bara akan mengalir ke utara untuk diolah di pabrik-pabrik Malaysia, memperpanjang pola lama ekonomi ekstraktif.
Pembangunan di Riau harus bertumbuh menuju kedaulatan yang berkeadilan. Riau harus bertransformasi menjadi pusat industri regional, bukan terjebak sebagai wilayah penyangga pemasok bahan mentah.
Bobby Ciputra
Ketua Angkatan Muda Sosialis Indonesia (AMSI)
BERITA TERKAIT: