WAWANCARA

Yorrys Raweyai: Naiknya Suara Partai Golkar Bukan Gara-gara Nazaruddin

Selasa, 14 Juni 2011, 05:41 WIB
Yorrys Raweyai: Naiknya Suara Partai Golkar Bukan Gara-gara Nazaruddin
Yorrys Raweyai
RMOL. Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang mempubikasikan peningkatan kecenderungan pemilih terhadap Partai Golkar dari 13,5 persen pada Januari menjadi 17,9 persen pada awal Juni 2011, menunjukkan harapan publik terhadap partai berlambang pohon beringin tersebut masih besar.

Demikian disampaikan Ketua Umum Angkatan Muda Partai Golkar, Yorrys Raweyai, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.

“Himpitan persoalan internal yang mendera beberapa partai politik lainnya, berbanding lain dengan sepinya riak dan ki­sruh yang biasanya akrab diidap partai ini,’’ papar anggota DPR itu.  

Berikut kutipan selengkapnya:

Kenaikan suara ini, apa gara-gara program Partai Golkar atau Partai Demokrat didera ber­bagai masalah?
Terlepas dari akurasi dan ke­cen­derungan hasil survei yang fluktuatif, paling tidak kondisi ini menegaskan konsistensi tahapan Catur Sukses yang menjadi pro­gram utama menuju keberhasilan dan kesuksesan Partai Golkar 2014 berja­lan de­ngan baik.

Konsoli­dasi inter­nal yang di­iri­ngi dengan pro­gram kaderi­sasi secara inten­sif mengu­kuh­kan soliditas kepar­taian, hingga pada titik ter­tentu tidak ter­goyah­kan oleh bera­gam kon­disi, dan isu yang me­mung­­kin­kan partai ini se­makin terpu­ruk. Ini saya kira yang me­nye­bab­kan naik­nya suara Partai Golkar, bukan gara-gara kasusnya Nazaruddin.  

Anda ingin mengatakan ke­nai­kan itu gara-gara program Catur Sukses Partai Golkar?
Ya. Secara umum, Catur Suk­ses ini merupakan instrumen utama yang menjadi landasan dan pijakan dalam menjalankan roda kepartaian. Catur Sukses berisi­kan 4 (empat) program utama, yakni konsolidasi internal, kade­risasi dan rekruitmen keanggo­taan yang lebih ter­buka, pen­cip­taan krea­tifitas, keta­jaman ide dan pemikiran baru, lalu sukses pamungkas yang men­jadi tujuan penting, yakni sukses Pe­milihan Ke­pala Daerah, Pemilihan Le­gis­latif dan Pemili­han Presiden.

Keempat suk­ses ter­se­but seja­lan de­­ngan taha­pan-taha­pan pro­­gram kepartaian setiap tahun­nya. Tahun konsolidasi (2010), kade­risasi (2011), kekar­yaan (2012), pe­mantapan (2013) dan tahun pemenangan (2014).

Apa gara-gara konsolidasi in­ternal itu membuat Partai Golkar semakin solid dan tidak tergoyah dengan isu sensitif?
Betul. Giatnya program kon­soli­dasi internal dan kaderisasi menggiring eksistensi Partai Golkar saat ini sebagai partai yang tidak terbawa arus dan lang­gam isu-isu sensitif dan cende­rung negatif di mata publik.

Selain itu, partai ini juga mam­pu memilah dan memilih isu yang lebih strategis dan memiliki daya rekat, mengawal ide dan wa­cana besar tentang konstruksi kebang­saan dan keindonesiaan, serta mem­produksi solusi-solusi yang se­jalan dengan cita-cita ke­hidu­pan berbangsa dan ber­negara.

Apa itu saja strateginya, se­hingga Partai Golkar tetap di­sukai rakyat?
Tidaklah sulit memahami apa yang dilakukan Partai Golkar saat ini. Selain upaya tiada henti untuk menegaskan eksistensinya sebagai partai yang lebih terbuka, mandiri dan demo­kratis, identifi­kasi sebagai partai nasionalis, me­nuntutnya untuk se­nantiasa berge­rak dalam lang­gam kepen­tingan yang bisa dinik­mati oleh segenap masyarakat dengan latar belakang yang berbeda-beda.

Bagaimana dengan marak­nya aksi radikal dan teror?
Belum usai persoalan besar yang melanda national character building kita dengan demoralisasi nilai-nilai kebangsaan dan kein­donesiaan, maraknya aksi radi­kal, teror, serta kekerasan yang mengatasnamakan agama, ke­lom­pok dan kepentingan tertentu. Di sisi lain, kehidupan sebagian besar masyarakat masih jauh dari harapan yang lebih baik akibat kondisi sosial dan ekonomi  ma­sih terpuruk, serta bencana yang tiada kunjung usai.

Realitas besar inilah yang se­dang terhampar di hadapan mata kita, mengurai ikatan-ikatan so­sial yang sejak dahulu direkatkan oleh kesamaan rasa dan kepen­tingan sebagai bangsa yang hen­dak merdeka dan lepas dari pen­jajahan. Ironisnya, kemerde­kaan yang diraih lebih dari setengah abad lalu itu belum sepenuhnya mampu membuahkan nasionalis­me yang sejatinya menjadi instru­men kemajuan. Alih-alih nasio­na­lis­me justru tergerus oleh sikap dan tindakan pragmatis kalangan tertentu untuk mengambil keun­tungan ataupun memperkeruh sua­sana kehidupan yang sedang dibangun dengan susah payah.

Menghadapi problem karak­ter kebangsaan, apa yang dila­ku­kan terhadap kader Partai Golkar?
Partai Golkar menyadari bahwa kondisi ini tidaklah layak dipandang sebelah mata, me­le­bihi tujuan pragmatis untuk me­raih kekuasaan. Karena itu, taha­pan-tahapan program politik pada awalnya berorientasi pada pe­ngua­tan internal dan kaderisasi.

 Momentum tahun kaderisasi (2011) dimanfaatkan untuk mem­perkuat sendi-sendi dan jati diri ka­der yang tidak hanya diproduk­si dari rahim kepartaian, tapi juga dari kultur kebangsaan. Produk kader yang dihasilkan adalah me­reka yang mampu memahami sendi-sendi dan jati diri kebang­saan dan mengamalkannya seba­gai charac­ter dalam sebuah nation.

Membangun karakter ke­bang­saan ini kan tidak mudah, apa yang dilakukan?
Ya, benar. Pembangunan ka­rak­ter kebangsaan tidaklah semu­dah membangun fasilitas fisik yang dibangun di atas artifisial ma­terial yang menyesuaikan de­ngan trend dan kemajuan zaman. Karakter dibangun di atas fondasi nilai-nilai luhur yang digali dan diwariskan oleh sejarah masa lalu. Dampak yang dihasilkan oleh rusaknya karakter tersebut pun lebih besar daripada kerusa­kan fisik yang setiap saat bisa di­bangun dengan mudah. Hal itu sejalan dengan adagium yang me­nyatakan bahwa kehancuran se­buah bangsa diawali dengan kehancuran moral, karakter dan budaya bangsa tersebut.

Artinya, kalau negara ini te­tap utuh, empat pilar kebang­saan te­tap perlu dijaga semua anak bangsa?
Kiranya hal inilah yang men­dorong kalangan akademisi untuk merevitalisasi empat pilar ke­bang­saan dalam merespons per­soa­lan karakter tersebut, yakni Pancasila, UUD 1945, Negara Ke­­satuan Re­­­pu­blik Indonesia (NKRI) dan keniscayaan Bhinne­ka Tunggal Ika. Demoralisasi dan degradasi nasionalisme adalah konsekuensi logis dari fenomena marginalisasi keempat pilar tersebut.

Demoralisasi telah memiskin­kan karakter kebangsaan yang di­penuhi dengan tradisi dan bu­daya, sebagaimana tercantum da­lam butir-butir Pancasila dan ama­nah UUD 1945, terwujud da­lam eksistensi NKRI dan peneri­maan terhadap Bhinneka Tunggal Ika.  Sulit mejelaskan keberlang­sungan kehidupan kita sebagai bangsa dan negara tanpa kekua­tan pilar tersebut.

Bagaimana dengan pemuda siaga karya?
Persoalan aktual kebangsaan dan keindonesiaan mengundang respons positif dari Partai Golkar. Tahun kaderisasi menjadi mo­men­tum penting dalam meng­him­pun kader-kader partai yang sekaligus merupakan kader-kader bangsa yang senantiasa menem­pat­kan empat pilar kebangsaan se­bagai pijakan dan landasan da­lam berinteraksi antara sesama anak bangsa.

Sulit menafikan kenyataan bahwa aktor-aktor yang mengi­dap demoralisasi dan degradasi nasio­nalisme tersebut sebagian besar terdiri dari kalangan muda yang memang berpotensi terjeru­mus da­lam kubangan ke­pen­tingan pragmatis. Ibarat pisau ber­mata dua, potensi positif yang dimiliki­nya mampu meneguhkan konsoli­dasi kebangsaan, menata stabilitas sosial, politik, dan eko­nomi, serta melestarikan budaya dan ideologi kebangsaan. Seba­lik­nya, mereka pun bisa diracuni dengan berbagai kepen­tingan pragmatis, mende­gradasi budaya dan ideo­logi ke­bangsaan, hingga kehila­ngan jati diri dan larut dalam dunia yang secara subjektif dan inklusif di­anggap sebagai kebenaran.

Apa yang dilakukan terha­dap kader muda Partai Golkar?
Momentum kaderisasi inilah yang dimanfaatkan Partai Golkar dengan menggerakkan mesin sayap partai Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) se­bagai lokomotif kaderisasi.

Mela­lui Jambore Siaga Karya Indone­sia yang diadakan selama kurang lebih 2 (dua) pekan di Bumi Per­kemahan Cibubur, sekitar 3.000 pemuda dididik dan dibina dengan berbagai kete­rampilan bela negara, teknik pe­nanggulangan bencana, teknik komunikasi dan solidaritas sosial, serta keterampilan sosial dan organisasi.

Kurikulum tersebut berfungsi membangun kesadaran ideologis sebagai anak bangsa yang men­jun­jung tinggi nilai-nilai Panca­sila dan UUD 1945, menga­sah kepekaan, kesadaran dan solida­ritas serta menata keterampilan dan kemandirian sosial.

Mencip­takan insan generasi muda ideo­logis, yang siap dan siaga, peka dan sadar akan jati diri bangsa, mandiri dan terampil, serta men­jadi pioneer dan pelo­por pengge­rak aksi-aksi positif bagi kehi­dupan masyarakat. Pada giliran­nya, mereka akan menjadi “Pe­muda Indonesia Indonesia yang Tanggap, Tangkas dan Tangguh”.

Apa perlu bekerja sama de­ngan pihak lain untuk menga­sah keterampilan itu?
Ya. Pendidikan, pelatihan dan pembinaan ini melibatkan insti­tusi dan lembaga-lembaga yang terlibat langsung dalam aksi-aksi sosial-kemasyarakatan, seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan SAR Nasional, Kementerian Kehutanan, dan Palang Merah Indonesia, juga bekerja sama dengan institusi Ten­tara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia.

Pada akhirnya, publiklah yang akan menentukan sejauh mana program dan agenda kepartaian sejalan dengan ke­butuhan dan kepentingan masyarakat secara luas. Paling tidak, program kon­solidasi dan kaderisasi telah me­minggirkan Partai Golkar dari arena konfliktual. Jika tetap kon­sisten, taha­pan-tahapan dari Catur Sukses berikut­nya akan membawa partai ini lebih solid menyongsong kemenangan Pe­milu 2014.   [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA