“Meski tidak terlibat dalam kasus Syarifuddin, tapi Ketua PN Jakpus kan memiliki kewajiban untuk membina dan mengawasi perilaku anggotanya. Apalagi, sudah 39 perkara korupsi dia bebaskan. Seharusnya, pimpinan kan tahu akan hal ini,†ujar bekas Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, kepada RakÂyat Merdeka, kemarin.
Berikut kutipan selengkapnya:
Apakah pemberian sanksi terÂhadap pimpinan akan memÂbuat pembenahan lembaga peÂradilan lebih efektif?
Sangat efektif. Menurut saya, pemberian sanksi terhadap peÂmimÂpin akan membuat pembenaÂhan sistem menjadi revolusioner. Pemberian sanksi akan mendidik pemimpin untuk bertanggung jawab dan menjadikan mereka berwibawa.
Kalau mereka tidak berÂsaÂlah?
Bersalah atau tidak, seorang pemimpin harus bertanggung jawab. Ini kan menyangkut keÂpemimpinan. Artinya, semua pemimpin harus bertanggung jawab dalam mengawasi anak buahnya.
Sanksinya apa?
Boleh saja dipindahkan, atau gajinya dipotong, dan lain sebaÂgaiÂnya. Yang pasti sesuai dengan peraturan yang ada. Jangan samÂpai, kelalaian tersebut menimÂbulkan sejumlah spekulasi. MiÂsalÂnya, ada pihak-pihak yang berpendapat, si A itu kan bekerja untuk ketua, tapi dia yang dikorÂbankan. Masa hal-hal seperti ini, terus-menerus kita diamkan.
Apa pemberian sanksi seÂperti ini efektif dalam memÂbeÂrantas korupsi?
Sangat efektif. Pemberian sanksi terhadap pemimpin akan membuat pembenahan sistem menjadi revolusioner. Kita tidak perlu menunggu satu generasi untuk memberantas korupsi.
Saat ini, di sejumlah kampus ada mata kuliah anti korupsi. Tapi, hal itu kan memakan waktu lama. Dampaknya dapat dirasaÂkan generasi mendatang. Tapi bagaimana dengan generasi sekarang.
Bukankah pemimpin di sini cenderung lari dari tanggung jawab?
Kalau seluruh sistem kepeÂmimÂpinan difungsikan, saya yakin sistem ini akan berjalan. Saya pun menyesalkan perilaku bekas Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin dan istri bekas Wakapolri Anang DaraÂdjatun, Nunun Nurbaeti.
Saya menyarankan, mereka segera pulang ke Indonesia agar persoalan hukum yang melilitnya tidak semakin ruwet. Telebih, mereka adalah pemimpin yang mewakili lembaga atau istansi tertentu.
Selain mempermalukan orgaÂniÂsasi tempat mereka bernaung, perbuatan Nazaruddin dan Nunun bikin malu Indonesia di mata dunia internasional. Gara-gara mereka, dunia internasional bisa memukul rata sifat pejabat IndoÂnesia. Kalau kena masalah, lari ke luar negeri dengan alasan sakit.
Apa lagi yang harus dilakuÂkan untuk membenahi sistem peradilan?
Bagaimana sistem peradilan kita ini diperbaiki secara besar-besaran, ya kita harus dievaluasi ulang. Para peramu Undang-undang harus segera melakukan pembahasan RUU Kitab UnÂdang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru.
Keberadaan undang-undang ini harus didahulukan, kita perÂbaiki, kita rombak isinya dan sesuaikan dengan perkembangan zaman. Sebab, besar sekali pengaruhnya bagi perbaikan maÂnajemen peradilan dan perbaikan manajemen perkara. Ini membuat sistem menjadi lebih efisien, akuntabel, dan transparan.
Apa itu saja yang perlu diÂperÂbaiki?
Ada satu lagi, yakni perbaikan manajemen kelembagaan. PerÂbaikan sistem tidak akan berjalan jika lembaga hukum tidak memÂpunyai basis data.
Umumnya lembaga hukum kita itu manajemennya jelek, kamÂpungan, dan tak punya dataÂbase. Ada pengadilan yang jumÂlah hakimnya sedikit, tapi jumlah perkaranya banyak. Ada juga yang sebaliknya, jumlah hakimÂnya banyak, tapi perkaraÂnya sedikit. Ini karena tidak memÂpunyai database. [RM]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: