Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

WAWANCARA

Rieke Diah Pitaloka: Kami Akan Tunjukkan Buruh Bukan Cuma Simbol

Sabtu, 30 April 2011, 07:02 WIB
Rieke Diah Pitaloka: Kami Akan Tunjukkan Buruh Bukan Cuma Simbol
Rieke Diah Pitaloka
RMOL. Besok, 1 Mei 2011, perayaan Hari Buruh bakal terasa berbeda. Sebab, momentum ini dijadikan penyelesaian Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BPJS).

Aktivis Buruh, Rieke Diah Pitaloka mengungkapkan, Gera­kan 1 Mei akan mengangkat tema pentingnya jaminan sosial di Indonesia. Aksi para buruh yang akan berlangsung di Jakarta dan kota-kota lainnya, akan menjadi batu pertama dalam memper­juangkan jaminan sosial nasional.

“May Day kali ini tidak sekadar perayaan normatif yang selesai hari itu juga. Kami akan menjadi­kan sebagai momentum  meng­gerakkan penyele­saian RUU BPJS,” ujar anggota Komisi IX DPR, Rieke Diah Pitaloka, ke­pada Rakyat Mer­deka, di Depok, kemarin.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso menya­yangkan penghentian sepihak pembahasan RUU BPJS oleh 8 men­teri. Karena itu, DPR me­minta Presiden agar tidak segan menegur menteri-menteri terkait.  

Rieke selanjutnya mengatakan, desakan untuk menyelesaikan RUU BPJS tak berarti, peringatan May Day melupakan isu pengha­pusan sistem outsourcing dan hak-hak pekerja lainnya. Namun, de­sakan penyelesaian RUU BPJS perlu menjadi skala prioritas, ka­rena undang-undang itu akan me­lindungi seluruh rakyat Indonesia.

“Kami akan memperlihatkan, buruh tak sekadar simbol dengan persoalan-persoalan normatifnya. Tapi, kami ingin menunjukkan, buruh yang hidupnya serba ter­batas dan upah yang minim masih memikirkan jaminan sosial. Jaminan yang tidak hanya ber­tujuan untuk melindungi me­reka, tapi untuk seluruh rakyat,”  papar politisi PDIP itu.

Berikut kutipan selengkapnya:

Kenapa Anda begitu per­ha­tian terhadap penyelesaian RUU BPJS?
Pembahasan RUU BPJS tersisa satu masa sidang lagi atau 47 hari. Makanya, membutuhkan duku­ngan dari seluruh rakyat. Kalau RUU BPJS tidak selesai tahun ini, kita akan kehilangan kesem­patan memiliki jaminan sosial yang menjamin seluruh rakyat.

Itulah yang menyadarkan para buruh dan menjadikan 1 Mei sebagai titik awal untuk berjuang mati-matian dalam mewujudkan undang-undang tersebut. Para buruh dan DPR akan mengawal pembahsan RUU BPJS agar pemerintah tidak berhenti lagi ditengah jalan.

Bagaimana dengan isu-isu lainnya?
Isu penghapusan sistem out­sourcing dan hak-hak pekerja lainnya, bukannya tidak penting. Namun, kita perlu membuat skala prioritas. Sebab, menurut pasal 20 ayat 3 UUD 1945, bila Ran­cangan Undang-undang tidak disepakti pemerintah dan DPR, maka tidak dapat diajukan lagi oleh DPR masa itu. Artinya, draf tersebut baru bisa diajukan lagi oleh anggota DPR periode 2014-2019.
 
Bukankah Anda dapat ber­juang langsung di DPR untuk menggolkan pembentukan RUU tersebut?
Betul. Saya berupaya dan be­kerja keras menyelesaikan RUU tersebut. Tapi, untuk meng­­golkan RUU ini, dibu­tuhkan du­ku­ngan semua pihak dan ada­nya kon­sen­sus bersama yang menya­tukan kita sebagai sebuah bangsa.

Apa manfaatnya bagi masya­rakat jika RUU tersebut diun­dangkan?
Jika sistem ini dijalankan, ada lima jaminan yang akan diterima seluruh rakyat. Yakni, jaminan ke­sehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan pensiun, jaminan hari tua, dan jaminan kematian. Dengan kata lain, akan ada per­lindungan yang betul-betul di­rasakan rakyat dari mulai lahir hingga liang lahat. Siapa sih yang nggak pernah sakit, nggak pernah celaka, nggak menjadi tua, kemu­dian pension, dan me­ninggal dunia.

Contoh yang cukup membuat kita miris adalah meninggalnya Franky Sahilatua. Seniman yang terkenal vocal dan kritis itu, berasal dari keluarga menengah dan berkecukupan. Namun, saat menderita penyakit yang cukup keras, dia mendapat kesulitan untuk biaya berobat.

Dengan kondisi seperti itu, apa yang dapat dilakukan. Meminta bantuan melalui Jaminan Kese­hatan Masyarakat (Jamkesmas), nggak mungkin. Dia berasal dari kalangan menengah, bukan ke­lompok masyarakat miskin. Lalu, apakah kita harus miskin dulu untuk memperoleh jaminan sosial dari negara. Ironisnya, jutaan rakyat kita yang berhak mendapat Jamkesmas tidak mempe­ro­lehnya.

Tapi, hal itu tak berarti kalau tidak ada jaminan sosial di negara ini?
Betul. Jamsostek, Askes dan Asabri adalah bentuk jaminan sosial. Tapi, itu masih bersifat diskriminatif karena tidak berupa sistem jaminan sosial nasional.

Jamsostek hanya untuk pekerja formal, itu pun tidak meng-cover semua penyakit. Begitipun de­ngan Askes, hanya eselon I, ese­lon II, eselon III yang mendapat jaminan yang cukup besar. Se­men­tara pegawai perpangkat rendah semakin sedikit penyakit yang di-cover. Emangnya pe­nyakit pilih-pilih jabatan.

TNI dan Polri pun mengalami nasib yang sama. Mereka hanya bisa berobat di rumah sakit TNI-Polri. Memang ada berapa rumah sakit TNI-Polri di republik ini. Padahal, mereka bertugas hingga pelosok dan perbatasan dengan rumah sakit dan fasilitas yang terbatas.

Bagaimana dengan Jamkes­mas, bukankah ini merupakan jaminan sosial?
Itu klaim pemerintah. Jamkes­mas itu bukan sistem jaminan sosial nasional seperti yang di­amanatkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004. Jamkes­mas adalah bentuk bantuan so­sial, dan bantuan sosial itu sifat­nya temporer. Bantuan itu bisa dicabut kapan saja ketika pengua­sa merasa itu sudah tidak penting bagi politik pencitraan.

Tapi, sistem jaminan sosial tidak serta merta dapat dicabut penguasa. Permerintah dan pre­siden berganti seribu kalipun, sistem ini akan tetap ada. Sebab,  sistem jaminan sosial merupakan amanat konstitusi.   [RM]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA