Anggito Abimanyu: Renegosiasi Dengan China Prosesnya Terlalu Panjang

Kamis, 28 April 2011, 00:54 WIB
Anggito Abimanyu: Renegosiasi Dengan China Prosesnya Terlalu Panjang
Anggito Abimanyu
RMOL.Pemerintah tidak perlu melakukan renegosiasi perdagangan dengan China. Tapi ajukan subsidi bunga dan hentikan penyelundupan.

Demikian diungkapkan bekas Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Anggito Abimanyu, terkait rencana pemerintah melakukan renegosiasi.

Ekonom dari UGM itu me­nya­rankan agar pemerintah mela­ku­kan tiga langkah efektif terkait perdagangan Indonesia-China.

Pertama, harus melihat dari kon­teks multilateral. Kedua, apa­bila ada injuri seperti PHK besar-besaran, pakailah instrumen pen­ce­gahan, baik bea masuk atau stan­dar instrumen yang lain. Ke­tiga, lakukan pembicaraan agar China meningkatkan impornya dari Indonesia.

”Apabila ada kecurangan da­lam ACFTA, pemerintah Indo­ne­sia wajib melindungi elemen yang ada dalam perdagangan ter­sebut. Intervensi ini merupakan upaya meminimalisir kerugian,” pa­parnya.

Berikut kutipan selengkapnya;

Kok Anda tidak setuju dengan renegosiasi ACFTA?

Sebaiknya Indonesia tidak me­li­hat persoalan perdagangan dari sisi bilateral dengan China, tetapi secara multilateral, investasi lang­sung dan dampak pada sektor industri dalam negeri. Untuk saat ini bila pemerintah melakukan lang­kah tersebut, prosesnya sa­ngat panjang, karena ini bukan hanya kebijakan antara Indonesia dengan China saja, tetapi semua negara Asean.

Memangnya proses tersebut sulit?

Prosesnya cukup panjang bila mau renegosiasi. Kita harus me­ng­ajukan notifikasi kepada Sek­jen Asean, bukan ke China. Se­telah itu dilakukan kajian me­nga­pa harus dilakukan renegosiasi dan apakah benar ada injuri. Lalu baru dilakukan renegosiasi de­ngan adanya kompensasi. Namun nam­paknya negara-negara Asean sulit menerima usulan tersebut. Se­bab,  beberapa negara Asean men­dapatkan keuntungan dari ACFTA.

Tapi usaha mikro Indonesia melemah karena dampak ACFTA?

Saya rasa tidak ada hu­bung­annya usaha mikro menurun de­ngan penerapan ACFTA. Glo­bali­sasi bukan tanpa safeguard, tetapi harus ada pengamanan dari negara dalam hal ini.

Lalu apa yang mesti dilakukan kalau bukan renegosiasi?

Jika kerugian Indonesia dalam ACFTA terjadi karena injuri dan ke­curangan, maka instrumen se­perti Bea Masuk Anti Dumping (BMAD), Bea Masuk Anti Dum­ping Sementarta (BMADS), bea masuk imbalan, bea masuk per­lindungan, menjadi jalan pe­nyelesaian yang tepat.

Sebenarnya yang efektif, kita meng­­­gunakan BMAD atau BMADS?

BMADS akan lebih baik di­aktifkan dan dimanfaatkan, sebab kalau kita menggunakan BMAD membutuhkan waktu yang lama. Pada waktu dimanfaatkan sudah keburu gulung tikar duluan. Jadi, saya menyarankan untuk tin­dak­an-tindakan pencegahan. Semua instrumen yang ada seperti tarif antara lain anti dumping, bea ma­suk imbalan, bea masuk proteksi dan safeguard. Selain itu ada penga­manan yang sah seperti SNI (Standar Nasional Indo­ne­sia), itu kan sah. Bisa diman­faat­kan untuk melakukan pen­ce­gahan.

Apa BMADS bisa  digunakan?

Saya kira kita punya instrumen na­manya BMADS yang berarti pengenaan tanpa harus menung­gu penyelesaian terhadap pene­li­tian, apakah ada dumping atau tidak.

Nah instrumen itu diper­ke­nan­kan, dipakai dulu sehingga bisa mencegah terjadinya kerusakan atau injuri pada industri kita.

Dalam BMADS,  birokrat tidak be­rani karena mekanisme pe­ngem­­balian yang sulit, itu bagai­mana?

Pakai mekanisme dong. Dulu saya tidak terpikir karena saya hanya mengalami dua kali. Saya pikir ini harus ada mekanisme penganggaran yang benar supaya para pejabat berani mengambil keputusan dan tindakan bahwa me­lakukan BMADS itu se­men­tara. Kemudian pembayaran dilakukan oleh kas negara mela­lui insitusi yang tepat.

Perdagangan dengan China kita defisit, bukannya itu berarti devisa kita berkurang?

Berarti kita banyak mengimpor barang dari China adalah barang modal, lalu kita menggunakan ba­rang itu untuk ekspor tujuan lain. Selama totalnya meningkat, maka surplusnya meningkat. Sa­ya kira tidak perlu ada hal yang di­kha­watirkan. Kecuali struktur­nya tidak sehat. Misalnya kita meng­impor barang-barang kon­sum­si, kemudian banyak menim­bul­kan masalah PHK di Indo­ne­sia, baru kita menggunakan lang­kah-langkah tadi. Apakah lang­kah pengamanan atau lang­kah koreksi, kemudian kita mela­ku­kan pembicaraan bilateral supaya China meningkatkan impor dari Indonesia.

Apakah perlu badan untuk meningkatkan daya saing In­donesia?

Itu PR (pekerjaan rumah) kita. Itu kan meningkatkan daya saing. Tetapi dalam konteks mening­kat­kan kinerja perdagangan dan industri, kita harus efisien serta me­nurunkan suku bunga bank dan menurunkan biaya-biaya yang tidak perlu. Itu tetap PR kita, ada atau tidak ada ACFTA harus kita lakukan pening­katan daya saing. [RM]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA