Syamsul Pinjamkan APBD Kepada Teman-temannya

Lanjutan Kasus Yang Membelit Gubernur Sumut

Minggu, 27 Maret 2011, 04:28 WIB
Syamsul Pinjamkan APBD Kepada Teman-temannya
Syamsul Arifin
RMOL.Gubernur Sumatera Utara Syamsul Arifin tersandung kasus korupsi dana Kas Daerah Kabupaten Langkat Tahun 2000-2007. Selain untuk membeli 43 unit mobil pribadi anggota DPRD Langkat, uang tersebut dipinjamkan Syamsul kepada teman-temannya.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam dakwaannya menyebutkan bahwa tahun 2003-2006, Syam­sul meminta Buyung Ritonga se­laku pemegang kas daerah me­ngeluarkan uang untuk diberikan kepada orang lain sebagai pinja­man. Padahal, menurut JPU, uang pinjaman tersebut tidak pernah dikembalikan oleh pihak ketiga.

Menurut hasil penghitungan JPU, total uang yang dikeluarkan Syamsul untuk perkara itu men­capai Rp 1.020.000.000 (Satu miliar dua puluh juta rupiah). Atas perintah Syamsul saat men­jabat Bupati Langkat, Sumut, maka Buyung menyerahkan uang tersebut kepada orang-orang yang telah ditunjuk bosnya itu.

Siapa saja mereka, jika dilihat dari dakwaan JPU, mereka ialah Amirudin (Rp 5 juta diberikan pada tanggal 11 Juni 2003), Mah­sin (Rp 50 juta diberikan pada Agustus 2003), Eswin Soekardja (Rp 100 juta diberikan pada 23 Juli 2004), Syarifudin Basyir (Rp 65 juta diberikan pada 10 Agustus 2004), Tengku Danil (Rp 200 juta diberikan pada September 2005), PT AKA Prima (Rp 500 juta di­berikan ­pada Februari 2006) dan Akiat (Rp 100 juta diberikan pada Juni 2006).

Uang sebesar Rp 1 miliar lebih itu dinilai JPU tidak pernah di­kem­balikan kepada kas daerah. Padahal, Syamsul menyebutkan bahwa uang tersebut ialah pin­ja­man yang diberikan olehnya ke­pa­da mereka yang telah dis­e­but­kan tadi. Sehingga, JPU me­ngen­dus akal-akalan Syamsul pada perkara tersebut.

Selain diberikan kepada orang-orang yang ditunjuk oleh Syam­sul, JPU kembali menuding bekas Bu­pati Langkat itu dengan tudu­han pembayaran pinjaman CV An­sor Bintang Sembilan pada Bank Syariah Mandiri tahun 2004-2007.

Alkisah, pada 21 November 2003 Syamsul mengajukan pinja­man sejumlah Rp 500 juta di Bank Mandiri Syariah Cabang sta­bat menggunakan nama CV An­sor Bintang Sembilan yang di­sinyalir JPU milik Mahsin. Pada saat mengajukan pinjaman, Syam­sul menggunakan jaminan Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) mobil Isuzu Panther milik anggota DPRD yang sebelumnya dibeli dengan uang kas daerah.

Kemudian, pada 11 Maret 2004, Syamsul kembali menga­ju­kan pinjaman kepada Bank Sya­riah Mandiri cabang Stabat. Kali ini pun Syamsul mengguna­kan nama CV Ansor untuk mem­p­­er­mudah proses pinjaman. Tidak tanggung-tanggung, kali ini yang diajukan jaminan oleh Syamsul ialah 36 BPKB mobil Panther tersebut.

Menurut JPU, seluruh pencai­ran dari kedua pinjaman tersebut dimasukkan ke rekening atas nama CV Ansor Bintang Sem­bi­lan pada Bank Mandiri Syariah Ca­bang Stabat. Alhasil, Mahsin melakukan penarikan tunai dan menyerahkannya kepada Syam­sul melalui seseorang yang ber­na­ma Tukiman. Karena dinilai ber­hasil mengurus pembelian mobil Panther dan pengajuan kredit tersebut, maka Syamsul memberikan kompensasi kepada Mahsin sejumlah Rp 70 juta dalam bentuk tunai dan Rp 50 juta dengan bilyet giro.

Untuk membayar pinjaman ter­sebut, menurut JPU, Syamsul me­­minta Buyung Ritonga me­nge­­luarkan kas daerah untuk mem­bayar sebagian dari pinja­man tersebut dengan meng­gu­na­kan cek atas rekening kas daerah pada Bank Sumut Cabang Stabat.

Cek tersebut ditandatangani oleh Syamsul bersama Buyung R­itonga. Atas permintaan Syam­sul, maka Buyung melakukan pembayaran ke Bank Syariah Mandiri Cabang Stabat secara ber­tahap sejak Agustus 2004 hing­ga Januari 2007. Jika ditotal, jumlah keseluruhannya mencapai Rp 2.010.000.000 (dua miliar sepuluh juta rupiah).

“Aku Ini Preman Yung”

Dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta pada Senin (21/3), Gubernur Sumut Syamsul Arifin membela dirinya di depan majelis hakim. Menurut Syamsul, dirinya pernah diancam oleh pemegang kas daerah Bu­yung Ritonga.

Pengakuan itu disampaikan Syamsul kala dirinya diberi ke­sempatan oleh majelis hakim, un­tuk menanggapi kesaksian Sur­ya­jahisa selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Langkat. “Keterangan saksi benar. Tapi sepertinya ada yang dia simpan. Saksi tidak bi­lang kepada seluruh yang hadir di sini bahwa saya sebenarnya  per­nah diancam oleh Buyung Ritonga,” kata Syamsul.

Ancaman itu, kata Syamsul, di­sampaikan sendiri oleh Surya ke­pada dirinya, kala mereka berdua di­periksa KPK. Menyikapi pe­ngakuan Syamsul itu, Surya tak menampiknya. “Ada benarnya yang disampaikan Pak Bupati. Tapi kan tadi tidak ditanyakan soal itu,” katanya.

Seusai sidang, Syamsul men­je­laskan bahwa Buyung me­ngan­cam akan menghancurkan karir politik­nya. “Pernah ada ancaman dari Buyung itu melalui Surya, dia akan hancurkan karir saya,” tuturnya.

Syamsul tak kalah garang. Dia me­ngaku juga sempat mengan­cam Buyung saat mengendus ada­nya ketidakwajaran dalam peng­gu­naan, pengelolaan, dan pertang­gungjawaban APBD Kabupaten Langkat. “Aku ini preman Yung, ka­lau kau macam-macam sama ke­uangan ini, aku hancurkan kau. Aku tetap preman Yung, bupati-bu­pati, saya ini tetap preman, petinju. Itu pernah saya sampaikan ke penyidik,” katanya.

Menurut Syamsul, perkaranya yang disidangkan di Pengadilan Tipikor sarat politisasi.  “Saya menilai ini perkara politik, me­mang dalam enam bulan saya ha­rus jatuh,” tuturnya.

Menurutnya, ada pihak-pihak yang menginginkan dirinya leng­ser dari jabatan Gubernur Sumut. “Di Sumut, ada anggapan ini politis karena ada target enam bu­lan saya harus jatuh,” ucapnya.

Dalam persidangan perdana pa­da Senin (14/3), JPU KPK yang dipimpin Catharina Muliana menyatakan, Syamsul telah mem­perkaya diri dengan dana APBD Langkat sehingga me­nimbulan kerugian negara hingga Rp 98,716 miliar. “Dana APBD itu diguna­kan untuk pribadi, ke­luar­ga dan pihak lain,” ujar Catha­rina saat mem­bacakan surat dakwaan.

Persidangan yang dipimpin Ke­tua Majelis Hakim Tjokorda Rai Suamba itu, JPU mendakwa Syam­sul menggunakan dana APBD untuk keperluan pribadi dan keluarganya dengan cara me­nerbitkan Surat Perintah Mem­ba­yar Uang (SPMU) dan Surat Perintah Pencairan Dana (SPPD) yang tidak sesuai ketentuan. Dana yang diambil berasal dari Kas Daerah Pemkab Langkat tahun 2000-2007.

Selain itu, Syamsul juga me­me­rintahkan pengeluaran uang kas daerah selama kurun 2005-2007 dengan cara kas bon, serta me­motong anggaran untuk setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemkab Langkat ma­sing-masing 10 persen. Pemo­tongan anggaran itu dicatat oleh Buyung Ritonga selaku peme­gang Kas Daerah Pemkab Langkat.

Akibat Tak Ngerti Pegang Amanah

TB Soemandjaja, Anggota Komisi II DPR

Anggota Komisi II DPR TB Soemandjaja berpendapat, para pejabat daerah yang terbelit ka­sus korupsi, belum mengerti ba­g­aimana caranya menjadi se­orang yang memegang amanah daerah. Sehingga, para pejabat tersebut terjerumus.

“Satu sisi mereka bisa dika­tegorikan belum bisa menjadi se­orang birokrat. Sehingga, ti­dak bisa membedakan mana hu­kum dan kebijakan. Sedang­kan birokrat itu, pasti mengerti an­tara kebijakan yang dibuat­nya dengan hukum yang sudah tetap,” katanya.

Menurutnya, Kementerian Da­lam Negeri harus harus mengambil sikap tegas dengan menguji materilkan perundang-undangan di daerah agar per­kara korupsi yang dilakukan pe­jabat daerah dapat teratasi. “Se­ba­gai mitra kerja, tentunya akan kita dorong untuk uji materil ke MK tentang undang-undang di daerah. Sehingga, kemung­kinan korupsi dapat teratasi,” ujarnya.

Politisi PKS ini meminta ke­pa­da aparat penegak hukum juga teliti dalam menetapkan se­orang pejabat daerah sebagai tersangka. Menurutnya, jika si pejabat daerah itu sedang men­jalankan kebijakan, maka tidak bisa dijatuhi hukuman. “Me­nu­rut KUHP Pasal 50, seorang pe­jabat yang sedang mela­k­sa­na­kan kebijakan daerah tidak bisa dihukum,” imbuhnya.

Sehingga, katanya, penang­kapan pejabat daerah yang di­du­ga melakukan praktik korup­si dapat diper­tang­gung­ja­wab­kan secara hukum dan mengu­ta­makan nilai keadilan. “Itu yang sebenarnya harus dila­ku­kan aparat kita ini. Jangan sem­barangan menangkap orang ka­rena korupsi, lihat dulu per­ka­ranya,” katanya.

Jurus Balik Modal Kepala Daerah

Yusuf Sahide, Direktur LSM KPK Watch

Di mata Direktur LSM KPK Watch Yusuf Sahide, mahalnya pilkada menjadi penyebab ma­rak­nya pejabat daerah melaku­kan praktik korupsi. Sehingga, Yusuf menilai ada yang salah dalam aturan main penye­leng­ga­raan Pilkada.

“Dana kampanye pilkada itu saja sampai miliaran rupiah. Otomatis pejabat daerah yang ter­pilih, nantinya memen­ting­kan balik modal karena dana­nya sudah habis saat pilkada,” katanya.

Cara balik modal tersebut, lan­jut Yusuf, antara lain me­ya­lahgunakan anggaran daerah yang masuk dari pemerintah pusat. “Persisnya dengan me­nyelewengkan APBD.

Padahal, yang bersangkutan tahu bahwa perbuatan yang dilakukannya itu salah. Tetapi karena terdesak balik modal, maka dil­a­ku­kan­nya juga per­buatan itu,” imbuhnya.

Yusuf berpendapat, sistem pilkada kurang tepat digunakan untuk negara demokrasi seperti Indonesia. “Contohnya, dalam pilkada itu kerap ada permainan uang sebagai sarana penunjang kesuksesan seseorang. Se­dang­kan demokrasi, praktik peng­gu­na­an uang untuk menyogok sa­ngat tidak boleh. Rakyat harus murni menentukan sendiri pi­li­hannya,” ucap dia.    

Meski begitu, Yusuf menilai ti­dak mutlak bahwa pilkada ha­rus dihilangkan. Tetapi, dil­aku­kan dengan cara-cara yang ti­dak melanggar batas hukum. “Ha­rus disertai pengawasan yang ketat. Kita jarang melihat pilkada diawasi dengan ketat, padahal ini sangat perlu,” ujarnya.

Yusuf menambahkan, ku­rang­nya pengawasan ke daerah-daerah oleh lembaga penegak hu­kum disinyalir menjadi pe­nye­bab kedua maraknya peja­bat daerah melakukan praktik korupsi. Makanya, Yusuf me­ngim­bau kepada lembaga pene­gak hukum untuk mengawasi jalannya pemerintahan di dae­rah. “Dengan begitu, kemung­kinan good government akan tecipta,” tandasnya. [RM]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA