Berdasarkan surat dakÂwaÂan jaksa penuntut umum (JPU), pada tahun 2002 hingga 2003, Syamsul yang saat itu menjabat Bupati Langkat, menggunakan dana kas daerah tersebut untuk membeli 43 unit mobil pribadi anggota DPRD.
Peristiwa itu terjadi pada MaÂret 2002. Bertempat di rumah diÂnas Bupati, Syamsul menerima laÂporan dari Kepala Bagian KeÂuangan Langkat Surya Djahisa dan seseorang bernama Amirudin Hamzah. Menurut JPU, laporan itu isinya permintaan pengadaan moÂbil pribadi untuk seluruh angÂgota DPRD Kabupaten Langkat dengan menggunakan APBD Langkat.
Setelah itu, menurut JPU, SyamÂsul melakukan pertemuan deÂngan Direktur CV Ansor BinÂtang Sembilan, Mahsin dan angÂgota DPRD Langkat, yaitu Irian Nasution dan Syarifudin Basyir. PerÂtemuan tersebut digelar di seÂbuah tempat di Jalan Putri Hijau Dalam, Medan.
JPU menuding, dalam perteÂmuÂan itu, Syamsul menunjuk peÂrusahaan Mahsin sebagai peÂnyeÂdia mobil dengan kesepakatan pemÂbayaran mobil termasuk asuÂransi dengan cara mencicil. SeÂteÂlah itu, Syamsul meminta MahÂsin menghubungi pemegang kas daerah, Buyung Ritonga. PadaÂhal, Syamsul mengetahui, pemÂbeÂlian mobil itu tidak diangÂgarÂkan dalam APBD Langkat. Mobil yang disetujui ialah Isuzu Panther.
Beberapa hari kemudian, SyamÂsul bersama Buyung meÂnanÂdatangani sejumlah cek atas reÂkening Kas Daerah di Bank SuÂmut Cabang Binjai senilai Rp 10,2 miliar. Menurut JPU, uang itu diÂgunakan untuk pembayaran moÂbil pribadi anggota DPRD LangÂkat. Tapi, uang itu dicairkan tanpa mekanisme yang benar.
Selanjutnya, dakwa JPU, SyamÂsul memerintahkan Buyung agar menghubungi Mahsin untuk menyelesaikan proses pemÂbaÂyaÂran mobil itu dengan mengÂguÂnaÂkan cek yang sudah ditanÂdaÂtaÂngaÂni Syamsul dan Buyung.
Alhasil, pada 29 April 2002, BuÂyung meÂnyerahkan cek seÂnilai Rp 300 juta kepada MahÂsin untuk membayar uang muka kepada PT Astra InÂternational Tbk-Isuzu Medan.
Sedangkan sisanya dan asuÂransi diserahkan Buyung kepada Mahsin secara bertahap sejak Mei 2002 sampai Mei 2003. Jika ditoÂtal, pembelian 43 mobil Panther itu menghabiskan Rp 6,7 miliar.
Sisanya yang Rp 3,4 miliar diÂseÂrahkan Buyung kepada SyamÂsul secara bertahap hingga menÂcapai Rp 850 juta. Selebihnya, diberikan kepada pihak lain atas perintah Syamsul.
Untuk menutupi sebagian peÂngeÂluaran kas daerah itu, SyamÂsul bersepakat dengan Buyung untuk melakukan pemotongan anggaran dari beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selama tahun 2002-2003. SelanÂjutnya, Syamsul meminta Kepala Bagian Keuangan Langkat, Surya Djahisa supaya membuat Daftar Pemotongan Anggaran SKPD yang besarnya sekitar 4 persen hingga 40 persen.
Menurut JPU, berdasarkan daftar itu, Buyung secara bertaÂhap pada tahun 2002 dan 2003 meÂlakukan pemotongan anggaÂran SKPD dengan total Rp 4,5 miliar.
Jika dirinci, maka pada 2002 uang pemotongan itu berasal dari Bagian Umum sejumlah Rp 74,5 juta, Kantor Tata PemeÂrinÂtahan sejumlah Rp 435 juta, KanÂtor LinÂmas sebesar Rp 200 juta, SekÂretariat DPRD sebesar Rp 1 miÂliar, Kantor BPPJU sÂeÂjumlah Rp 50 juta dan BP Bukit Lawang sejÂumlah Rp 150 juta.
Sedangkan untuk tahun 2003, dana pemotongan itu diperoleh dari Bappeda sejumlah Rp 300 juta, Bagian Perekonomian seÂjumÂlah Rp 200 juta, Sekretariat DPRD Rp 1,6 miliar, Kantor PMD sejumlah Rp 139 juta dan Dinas Infokom sejumlah Rp 200 juta.
Menurut JPU, saat dihadirkan sebagai saksi di Kejaksaan Tinggi Sumut, Buyung menilai Syamsul mengetahui dan menyetujui tindakan para Kepala SKPD yang membuat SPJ fiktif untuk menuÂtupi pemotongan anggaran itu suÂpaya jumlah anggaran yang diguÂnakan oleh para Kepala SKPD seolah-olah sesuai dengan PerÂaÂtuÂran Daerah APBD dan SK BuÂpati tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan.
Melihat tudingan JPU yang meÂnyebutkan dirinya melakukan penyelewengan Rp 98,7 miliar unÂtuk memperkaya diri sendiri dan orang lain, Syamsul tampak tenang. “Mungkin benar, mungÂkin salah. Tergantung proses peÂngadilan ini. Nanti saya jawab maÂsalah itu,†katanya seusai pemÂÂbacaan dakwaan di PengaÂdiÂlan Tipikor, Senin (14/3).
Tak Malu Jadi Terdakwa Tipikor
Setelah 4,5 bulan ditahan KPK di Rutan Salemba, Jakarta, GuÂbernur Sumatera Utara SyamÂsul Arifin akhirnya duduk di kursi terdakwa Pengadilan Tipikor. Jaksa KPK mendakwa Syamsul menyelewengkan APBD Langkat saat menjabat Bupati Langkat, SuÂmatera Utara selama 2000-2007.
Menurut jaksa penuntut umum (JPU) KPK yang dipimpin CatÂhaÂrina Muliana, Syamsul telah memperkaya diri sendiri dan orang lain dengan dana APBD LangÂkat, sehingga menimbulan kerugian negara Rp 98,716 miÂliar. “Dana APBD itu digunakan untuk pribadi, keluarga dan pihak lain,†ujar Catharina saat memÂbaÂcakan surat dakwaan.
Dalam sidang yang dipimpin KeÂtua Majelis Hakim Tjokorda Rai Suamba itu, JPU menyaÂtaÂkan, SyamÂsul menggunakan dana APBD untuk keperluan pribadi dan keÂluarÂganya dengan cara meÂnerbitkan Surat Perintah MemÂbayar Uang (SPMU) dan Surat Perintah PenÂcairan Dana (SPPD) yang tidak seÂsuai ketentuan. Dana yang diambil berasal dari Kas Daerah Pemkab Langkat tahun 2000-2007.
Selain itu, dakwa JPU, SyamÂsul juga memerintahkan peÂngÂeÂluaran uang kas daerah selama kuÂrun 2005-2007 dengan cara kas bon, serta memotong anggaran unÂtuk setiap Satuan Kerja PeÂrangkat Daerah (SKPD) Pemkab Langkat masing-masing 10 perÂsen. PemoÂtongan anggaran itu diÂcatat PemeÂgang Kas Daerah PemÂkab LangÂkat Buyung RiÂtonÂga. Pemotongan anggaran untuk SKPD dilakukan pada tahun 2006-2007, dengan jumlah Rp 12,266 miliar yang berÂasal dari 35 SKPD.
Dalam dakwaan primair, SyamÂsul disebut JPU melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tenÂtang Pemberantasan Tindak PiÂdana Korupsi (Tipikor) sebaÂgaiÂmana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana juncto paÂsal 65 ayat (1) KUHPidana. AnÂcaman hukuman maksimalnya adalah 20 tahun penjara.
Biasanya, banyak orang malu jadi terdakwa, apalagi terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana KoÂrupsi. Namun, hal itu berbeda deÂnÂgan Syamsul. “Saya bangga, saya anak Berandan, kampung hampir paling ujung, tidak pernah membayangkan sebelumnya seperti ini. Jadi, macam orang terÂhormat duduk di sini,†katanya.
Pekan depan, agenda sidang dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi. Saksi dihadirkan pada siÂdang Senin, 21 Maret 2011 adaÂlah Buyung Ritonga, beÂkas BenÂdahara Umum PemeriÂnÂtah KaÂÂbuÂpaten Langkat dan SurÂya DjaÂhisa, Kepala Pemegang kas PemeÂrinÂtah Kabupaten Langkat.
Tak Lepas Dari Faktor Pilkada
Marthin Hutabarat, Anggota Komisi III DPR
Banyaknya pejabat daerah yang terbelit kasus korupsi, menurut anggota Komisi III DPR Marthin Hutabarat, tidak lepas dari faktor pemilihan keÂpala daerah (pilkada) yang meÂmerlukan dana sangat besar.
“Jadi, yang ada di pikiran sang pejabat, setelah terpilih ialah balik modal sebesar-beÂsarÂnya. Bukannya mengelola daeÂrah yang menjadi tanggung jawabnya, malah berpikiran menggunakan APBD sebagai usaha untuk membalikkan moÂdal yang telah hilang,†katanya.
Marthin berpendapat, sistem pilkada tidak tepat digunakan untuk negara seperti Indonesia. Sebab, pilkada dengan senÂdiÂriÂnya akan mencoreng nilai deÂmokrasi itu. “Contohnya, kerap berÂmain deÂngan uang sebagai sarana peÂnunjang kesuksesan seÂseorang. Sedangkan demokÂrasi, praktik menggunakan uang sangat diÂharamkan,†ujarnya.
Menurut Marthin, pilkada boÂleh saja ditempuh asalkan diÂsertai pengawasan yang ekstra keÂÂtat saat proses pemilihan. “JaÂdi, betul-betul masyarakat murÂni memilih seorang calon deÂngan hati nuraninya. Bukan karena diberi sejumlah uang,†ucapnya.
Politisi Gerindra ini juga mengÂkritik kinerja aparat peÂneÂgak hukum yang tidak tegas terhadap pejabat daerah yang meÂlakukan korupsi. “Aparat kita ini aneh, para pejabat daeÂrah yang korupsi bukannya diÂlawan, malah jadi kawan. MaÂlah, ada yang menjadikan pejaÂbat itu sebagai mesin ATM,†tandasnya.
Ketika ditanya, apa yang diÂmaksud mesin ATM, Marthin meÂngatakan aparat penegak hukum mudah disuap dengan seÂjumlah uang. “Mereka itu suÂdah tahu bahwa pejabat itu koÂrupsi. Tapi, malah diÂmaÂnÂfaatÂkan aparat untuk mencari duit,†imbuhnya.
Makanya, lanjut dia, ada huÂbungan yang erat antara pejabat daerah dengan aparat penegak hukum. “Kalau sudah terjadi huÂbungan kekerabatan seperti ini, sangat susah untuk memuÂtusÂnya. Bagaimana mau memuÂtusÂnya, yang di belakang pejaÂbatÂnya ialah aparat penegak huÂkum,†ucapnya.
Sedia Payung Sebelum Hujan
Amir Syamsuddin, Politisi Demokrat
Pengamat hukum Amir SyamÂsuddin meminta aparat penegak hukum untuk meÂningÂkatkan fungsi pencegahan koÂrupsi di daerah. Pasalnya, yang paling sering dilakukan aparat pada saat ini adalah fungsi penindakan.
“Logikanya, kalau terus meÂnerus ditindak tanpa ada penÂcegahan, itu sama saja tidak ada pengaruhnya. Pepatah bilang, sedia payung sebelum hujan. Itu tandanya fungsi pencegahan harus ditingkatkan, jangan maÂlah lemah,†katanya.
Selain itu, Amir berpendapat, otonomi daerah dan desenÂtraÂliÂsasi punya efek negatif, salah satunya makin maraknya koÂrupsi di daerah dengan modus yang beragam. “Kondisi ini menunjukkan ada keÂtidakÂseÂimÂbaÂngan pemahaman konsep otoÂnomi di masing-masing daeÂrah, juga perbedaan pemaÂhaÂman dengan pusat. Daerah meÂmÂahami otonomi semata-mata hanya kewenangan anggaran, sehingga mereka dengan leluasa menggunakan anggaran itu,†imbuhnya.
Amir menambahkan, kebijaÂkan otonomi daerah bisa terÂseÂsat maknanya menjadi desenÂtraÂlisasi korupsi. “Otonomi bisa dimaknai sebagai membagi-bagi kesempatan dari pusat keÂpada daerah. Aktor-aktor keÂkuaÂsaan di level daerah mungÂkin lupa diri dengan memaknai otonomi sebagai redistribusi keÂkuasaan untuk mereka,†kata Sekretaris Dewan Kehormatan Partai Demokrat ini.
Selain pelaksanaan otonomi daerah, katanya, ada sejumlah faktor yang mendorong timbulÂnya korupsi oleh pejabat daeÂrah. “Yaitu Dana Alokasi Umum (DAU) yang merupakan transÂfer dari pemerintah pusat, daeÂrah berhak mengalokasikannya sesuai pertimbangan-pertiÂmÂbaÂngan dan kebutuhan daerah. Tapi terkadang mereka salahÂguÂnaÂkan dana tersebut,†tuturnya.
Makanya, pengacara senior ini lebih mengedepankan fungsi pencegahan pada setiap lemÂbaÂga penegak hukum. MenurutÂnya, sekalipun banyak kebijÂaÂkan dan pembentukan lembaga pemberantas korupsi, namun tindak pidana korupsi di IndoÂneÂsia masih merupakan jenis kejahatan yang paling susah diÂatasi. “Yang utama itu pencÂegaÂhannya dulu, baru penindakan,†ucapnya. [RM]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: