Cirus Tak Masuk Daftar 22 Jaksa Yang Dipecat

Dia Hanya Tidak Boleh Tangani Perkara

Kamis, 10 Maret 2011, 06:56 WIB
Cirus Tak Masuk Daftar 22 Jaksa Yang Dipecat
Cirus Sinaga
RMOL. Sejak Januari lalu hingga awal Maret ini, Kejaksaan Agung telat memecat 22 jaksa dari seluruh Indonesia. Jaksa Cirus Sinaga yang diduga terlibat kasus bocornya rencana penuntutan terhadap Gayus Tambunan, tak termasuk dalam daftar jaksa yang dipecat tersebut.

Cirus hanya dicopot dari jaba­tan­nya sebagai Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. “Dia masih jaksa. Dia sedang menjalani sanksi karena diduga terlibat ka­sus penyusunan rencana tuntutan ganda atas Gayus Tambunan,” kata Kepala Pusat Penerangan Hu­kum Kejaksaan Agung, Nur Rochmad kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Meski masih sebagai jaksa, lanjut Kapuspenkum, Cirus tidak diberikan kuasa untuk menangani perkara selama satu tahun. “Namanya tidak termasuk dalam 22 jaksa yang dipecat. Dia hanya tidak boleh menangani perkara karena masih menjalani sanksi berat,” ujarnya.

Menurut Nur Rochmad, peme­catan membutuhkan proses yang mendalam. “Tidak sembarangan memecat seorang jaksa, kita lihat dulu masalahnya seperti apa. Tapi, Cirus telah diberikan sanksi,” alasannya.

Kapuspenkum menegaskan, pemberhentian 22 jaksa tersebut ka­rena terbukti melakukan per­bua­tan tercela dan pelang­ga­ran berat. “Mereka diberhentikan de­ngan tidak hormat karena m­e­lakukan perbuatan tercela. Me­r­eka itu dari seluruh Indonesia,” katanya.

Sementara itu, Jaksa Agung Muda Pengawasan Marwan Ef­fendy berencana menekan jumlah jaksa nakal dengan mengubah sis­tem penindakan. Tahun ini, sudah ada 22 jaksa dipecat karena melakukan perbuatan tercela.

“Ke depan kami akan tangani sendiri korupsinya. Kita lihat nanti, 2011 semakin bertambah atau berkurang jumlahnya. Kalau bertambah, artinya instrumen yang sekarang kami gunakan penindakan secara tegas, tidak ada manfaatnya,” ujar Marwan di Kejagung, kemarin.

Selain memecat 22 jaksa, pi­hak­nya juga menindak 40 jaksa de­ngan mencopot jabatan struk­tural dan fungsional mereka. Mar­wan menjelaskan, pemecatan dikenakan pada jaksa yang ter­bukti mengonsumsi narkoba, me­meras, maupun melakukan pe­nipuan dalam perekrutan pegawai baru. “Ada yang terlibat kasus korupsi, penyuapan, memeras, penggelapan uang dan lainnya,” kata Marwan.

Marwan menyebutkan, para jak­­sa yang dipecat itu antara lain dua orang Asisten Kejaksaan Ne­geri (Kejari) Kalimantan Timur, Asisten Kejari Papua, Kajari Buol, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Majalengka, Kajari Gu­nung Sugi, dan Kajari Arga Mak­mur. “Antara lain mereka itu. Ba­nyaklah yang sudah dicopot dari jabatannya,” katanya.

Jumlah jaksa yang ditindak pa­da 2010, terhitung naik ke­tim­bang 2009. Pada 2010, 288 jaksa di­kenakan sanksi administratif. Se­dangkan tahun sebelumnya, ter­­dapat 192 jaksa nakal yang di­kenai sanksi itu. Kenaikan terse­but, dipandang Marwan, cukup tinggi.

“Saya tidak tahu apakah me­mang sekarang jajaran penga­wa­­san giat menindak, atau me­mang jaksa nakal makin me­ning­kat. Kami sudah mulai ber­geser, meng­hukum berat. Soal­nya, hu­kuman-hukuman yang lalu tidak memberikan efek pen­cegahan,” ujarnya.

Lantaran sering memecat jak­sa, Marwan mengaku pernah di­la­porkan ke Presiden karena menggunakan cara-cara preman dalam menindak jaksa-jaksa na­kal. “Sehingga, ada yang menulis ke Presiden bahwa Jamwas seka­rang ini model preman, main hu­kum orang saja,” tandasnya.

Marwan membantah tudingan ter­sebut. Menurut dia, pihaknya tengah berupaya memberikan hu­kuman yang berdampak pada pen­cerahan serta memberikan efek jera terhadap pelakunya. “Per­cuma dihukum teguran tertulis. Enam bulan nanti selesai, dia kembali lagi melakukannya,” kata dia.

Pria kelahiran kota Lu­buk­linggau, Sumatera Selatan, 13 Agus­tus 1953 itu berjanji tidak main-main menjatuhkan hu­ku­man. Menurut dia, sudah saatnya kejaksaan mengubah paradigma, pola pikir, dan perilaku. “Sebab orang semakin tidak percaya penegakan hukum saat ini,” ucapnya.

Cerita Tentang Cirus dan Gayus

Jaksa Cirus Sinaga resmi di­te­tapkan sebagai tersangka ber­sama advokat Haposan Hu­ta­ga­lung oleh Mabes Polri dalam per­kara pemalsuan surat rencana pe­nuntutan (rentut) Gayus Tam­bu­nan pada Jumat, 12 November 2010.

Sebelumnya, Kepala Pusat Pe­ne­rangan Hukum (Kapus­pen­kum) Kejaksaan Agung saat itu, Babul Khoir Harahap menya­ta­kan, Kejagung pada 8 November 2010, telah menerima SPDP (Su­rat Pemberitahuan Dimulai­nya Penyidikan) nomor B/191/XI/2010/Dit Pidum tanggal 2 No­vember 2010 dari Mabes Polri.

“Setelah SPDP itu diterima, se­lanjutnya Direktur Pra Penun­tutan pada Jaksa Agung Muda Tin­dak Pidana Umum me­ner­bit­kan Surat Perintah Penuntutan Jak­sa Penuntut Umum untuk me­ngikuti perkembangan penyi­di­kan perkara tindak pidana umum atas nama tersangka Cirus Sinaga dan Haposan Hutagalung,” katanya.

Pasal yang disangkakan ke­pa­da Cirus dan Haposan adalah Pa­sal 263 ayat (1) dan ayat (2) KUHP tentang Pemalsuan Surat dengan ancaman hukuman enam tahun penjara. “Kami meng­gu­na­kan pasal tersebut karena Cirus diduga telah melakukan pemal­suan surat atas nama Gayus Tam­bunan,” ujarnya.

Nama Cirus mulai disebut-se­but Gayus saat menjadi saksi un­tuk terdakwa Haposan Huta­ga­lung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Menurut Gayus, Ha­po­san pernah memberikan selembar kertas rencana tuntutan (rentut) jaksa penuntut umum (JPU).

Di situ tertulis Gayus akan di­tun­tut pidana selama satu tahun penjara terkait kasus pencucian uang dan penggelapan senilai Rp 370 juta. Setelah diusut jajaran Jak­sa Agung Muda Pengawasan, rentut tersebut didapat Haposan dari Cirus yang saat itu me­ru­pakan ketua jaksa peneliti kasus Gayus.

Menurut Gayus, Haposan se­be­lumnya berjanji tuntutan yang akan dikenakan kepadanya hanya hukuman percobaan selama satu tahun. Gayus mengaku sudah me­nyerahkan uang Rp 5 miliar kepa­da Haposan untuk diserahkan ke pihak kejaksaan. Uang itu dise­rahkan sebelum pelimpahan ter­sangka berikut barang bukti dari Bareskrim Polri ke Kejaksaan Negeri Tangerang.

Lantaran ada rentut penjara se­la­ma satu tahun, menurut Gayus, dia disarankan Haposan agar kembali menyerahkan uang ke­pa­da pihak kejaksaan. Gayus lalu mem­­beri 50.000 dolar AS ke Hapo­san. Setelah itu, Haposan me­nye­rah­kan lembaran rentut baru de­ngan hukuman satu tahun percobaan.

Menurut Gayus, lembaran ren­tut itu ditandatangani Pohan Las­phy, Direktur Penuntutan pada Jampidum Kejagung. “Suratnya masih ada sama saya. Nanti si­dang berikutnya saya bawa,” kata Gayus seusai sidang pada Jumat (15/10/2010). Namun, Gayus tak tahu apakah lembaran rentut itu asli atau rekayasa. “Yang jelas itu dari Haposan,” kata dia.

Sikap Transparan Jadi Modal Penting
Rindhoko Wahono, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Rindhoko Wahono menilai Ke­jaksaan Agung tidak transparan kepada masyarakat perihal 22 jak­sa yang dipecat serta 40 jak­sa yang dicopot dari jabatan struk­turalnya. Padahal, sikap transparan merupakan modal pen­ting untuk membangun ke­per­cayaan masyarakat di tengah terpuruknya citra kejaksaan.

“Saya lihat mereka tetap ti­dak transparan dalam me­ngung­kap siapa saja yang di­pecat dan dicopot dari ja­b­a­tan­nya. Jangan-jangan itu pen­cit­raan saja,” katanya.

Rindhoko menambahkan, sikap transparan bagi sebuah institusi penegak hukum dapat menjaga nama baik lembaga itu sendiri. “Buruknya citra suatu lembaga di masyarakat diawali lembaga tersebut tidak tran­spa­ran kepada masyarakat,” katanya.

Selain itu, katanya, 22 jaksa yang kena pecat tersebut masih tergolong sangat kecil ketim­bang jumlah jaksa yang diduga melakukan pelanggaran berat. “Saya perkirakan jumlah jaksa nakal lebih dari 22 orang. Tapi, ke­napa mereka baru memecat 22 orang saja. Apa yang lainnya tidak mereka sentuh,” imbuhnya.

Lantaran itu, politisi Gerindra ini mendesak Jaksa Agung Basrief Arief untuk meme­rin­tah­kan kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan segera me­me­cat jaksa nakal lainnya. “Ja­ngan hanya bisa pecat 22 jaksa. Tapi, yang lainnya harus di­pi­kirkan juga, sehingga reformasi birokrasi di kejaksaan dapat terwujud,” ucapnya.

Rindhoko menambahkan, sanksi pemecatan merupakan hukuman yang sangat cocok bagi para pelakunya. Sebab, pemecatan akan memberikan efek jera bagi jaksa lainnya.

“Pemecatan bisa dijadikan sebagai pelajaran. Kalau Cuma dicopot dari jabatannya, dua atau tiga bulan kemudian akan terjadi pelanggaran lagi,” tegasnya.

Rindhoko juga memper­ta­nya­kan, mengapa Cirus Sinaga tidak masuk daftar jaksa yang dipecat tersebut. “Lantas, apa yang membuat mereka takut dengan pemecatan Cirus,” tandasnya.

Menurut Rindhoko, status Cirus yang sebagai tersangka bisa dijadikan alasan untuk segera melakukan pemecatan. “Jika tidak, maka saya khawatir status Cirus akan berubah lagi menjadi saksi,” ucapnya.

Pemecatan Jaksa Tak Transparan
Bambang Sri Pujo, Pengamat Hukum

Pengamat hukum dari Uni­versitas Bung Karno, Bam­bang Sri Pujo Sukarno Sakti me­minta Kejaksaan Agung ter­buka me­ngenai identitas 22 jak­sa yang dipecat.

Menurut dia, Kejaksaan Agung masih tidak terbuka ke­pada ma­syarakat karena belum mem­be­ber­kan siapa saja jaksa yang dipecat itu. Padahal, keter­bukaan itu penting agar ma­sya­rakat be­tul-betul percaya ke­jak­saan telah memecat para jaksa tersebut. Bahkan, bisa membuat jaksa lain malu melakukan hal serupa.

Semestinya, menurut Bam­bang, kejaksaan terbuka lanta­ran sudah berani memecat 22 jaksa tersebut. Soalnya, lanjut dia, pe­mecatan itu sudah me­nun­jukkan bahwa ada bukti-buk­ti yang cukup kuat bahwa para jaksa tersebut melakukan ke­salahan.

“Pemecatan ini ku­rang trans­paran. Sebagai lem­baga penegak hukum, mereka seharusnya bisa terbuka kepada masyarakat ka­rena sudah mengantongi bukti-bukti,” kata Bambang.

Kompartemen hukum Persa­tuan Alumni GMNI ini juga me­ngatakan, sanksi pemecatan terhadap 22 jaksa merupakan konsekuensi yang sangat logis bagi pulihnya kejaksaan dari citra tak sedap. “Selain tentunya sanksi pemecatan itu untuk mem­berikan efek jera bagi jak­sa yang bersangkutan,” ucapnya.

Sanksi tegas itu, kata dia, se­mestinya juga bisa d­i­ber­la­ku­kan dalam penanganan kasus bo­cornya surat rencana penun­tutan (rentut) terhadap Gayus Tam­bunan. “Cirus yang diduga terlibat dalam bocornya rentut Gayus, pantas diberikan sanksi tegas berupa pemecatan dengan tidak hormat. JAMwas tidak perlu ragu,” katanya.

Bambang berpendapat, jika Kejaksaan Agung tidak mampu memecat Cirus, maka Komisi Ke­jaksaan seharusnya mem­perkuat bukti-bukti. Hal itu, se­suai dengan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2005 tentang Ko­misi Kejaksaan. “Sesuai fung­sinya, maka saya harap Ko­misi Kejaksaan mau ikut menyoroti masalah ini,” ujarnya.

MengenaiÄisu Cirus meme­gang kartu truf perkara Antasari Azhar, dosen ilmu hukum ini meminta Korps Adhyaksa sege­ra melakukan eksaminasi Cirus pada perkara bekas Ketua KPK itu. “Inilah yang masih jadi mis­teri. Saya harap Kejagung se­ge­ra lakukan eksaminasi terha­dap perkara pembunuhan Nas­ru­din Zulkarnaen itu,” tandasnya.

Namun, katanya, jika terbukti ada benang merah antara Cirus de­ngan perkara Antasari, maka Korps Adhyaksa tidak perlu me­nutupinya dari masyarakat.   [RM]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA