PK yang diajukan Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait kasus Bibit Samad Riyanto dan ChanÂdra Hamzah tidak diterima MA. Padahal, MA pernah menangani PK praperadilan yang diajukan pengaÂcara Hendra Rahardja.
“Jadi, MA tidak konsisten. PK praperadilan kasus Bibit-Chandra tidak diterima dengan alasan itu bukan domainnya. Tapi kenapa PK praperadilan Hendra RaÂharÂdja diterima,’’ ujar bekas anggota Tim 8 Kasus Bibit-ChanÂdra, Amir Syamsuddin, kepada
RakÂyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Kasus Bibit-Chandra tergolong unik. Keduanya dituduh meneriÂma suap saat menangani perkara PT Masaro Radiokom. Tapi diÂanggap kurang bukti, sehingga Kejagung mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian PenunÂtutan (SKPP).
Kemudian Anggodo Widjojo, orang yang dituduh menyuap Bibit- Chandra menggugat SKPP tersebut.
Pengadilan Negeri Jakarta SeÂlatan mengabulkan gugatan Anggodo, sehingga diperintahÂkan agar kasus Bibit-Chandra dilanjutkan.
Kejagung melakukan banÂding, tapi Pengadilan Tinggi maÂlah menguatkan putusan PeÂngadilan Jakarta Selatan. KejaÂgung melaÂkukan PK, tapi tidak diterima MA.
Amir Syamsuddin yang bekas Sekjen Partai Demokrat itu selanÂjutnya mengatakan, tidak diteÂrima itu berbeda dengan ditolak. Kalau tidak diterima berarti MA tidak menangani esensi perkara. Kalau ditolak, berarti MA meÂnangani perkaranya tapi permoÂhonan PK tersebut ditolak.
“Itu dua hal yang sangat berÂbeda. Dalam kasus Bibit-ChanÂdra, PK yang diajukan Kejagung tidak diterima MA,’’ ujar SekreÂtaris Dewan Kehormatan Partai Demokrat itu.
Berikut kutipan wawancara dengan anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat tersebut:Sebagai anggota Tim 8 Kasus Bibit-Chandra, bagaimana soÂlusi terbaik? Berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, pasal 35 ayat C di situ disebutkan, Jaksa Agung mempuÂnyai tugas dan wewenang meÂngeÂÂsamÂpingkan perkara demi kepentingan umum. Ini yang disebut deponering. Jadi,
depoÂnering dikeluarkan demi kepenÂtingan umum.
Apa demi kepenÂtingan umum itu logis?Sangat logis. Saya percaya, Bibit dan Chandra tidak takut kasusnya dibawa ke pengadilan. Tapi kalau itu dilakukan maka kinerja KPK pasti pincang. ArtiÂnya banyak kasus korupsi tidak akan tertangani. Sebab, tinggal dua Wakil Ketua. SedangÂkan calon pimpinan KPK yang lainÂnya belum dilakukan
fit and proper test oleh Komisi III DPR. Jadi, kalau kasus Bibit-Chandra diteruskan ke pengadilan, yang rugi tentu rakyat, karena kasus-kasus korupsi terbengkalai kaÂrena KPK bekerja tidak optimal.
Bagaimana kalau SKPP baru?Itu juga boleh. Tergantung KeÂjakgung saja. Mau deponering atau SKPP baru.
Nanti Anggodo menggugat praperadilan lagi?Gak apa-apa. Tapi Kejagung dalam mengeluarkan SKPP baru itu dengan alasan hukum yang jelas, yakni tidak ditemukan bukti yang kuat bahwa Bibit-Chandra melakukan pemerasan, sehingga tidak layak dibawa ke pengaÂdilan. Jangan lagi dibuat alasan demi sosiologis, karena dalam hukum tidak dikenal istilah terÂsebut, sehingga sangat gampang dipatahkan di pengadilan.
Barangkali Kejagung ragu dengan alasan tidak ditemukan bukti pemerasan itu?
Saya kira tidak ada yang perlu diragukan. Kami Tim 8 sangat yakin kasus ini memang sarat dengan rekayasa setelah menÂdengarÂkan rekaman pembicaraan di sidang Mahkamah Konstitusi, makanya kami meminta Kapolri agar Bibit-Chandra ditangguhkan penahanannya dan dikeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan).
Apalagi sekarang, setelah keÂpoÂlisian tidak bisa membuktikan adanya rekaman pembicaraan anÂtara Ary Muladi dan Ade RaharÂdja terkait pemberian uang ke Bibit di Pasar Festival, KuÂningan. Ini sudah cukup jelas bahwa seÂmuanya rekayasa.
Apa ada alasan lain bahwa kaÂsus ini sarat rekayasa? Ada. Dalam persidangan kasus Anggodo tidak ada satu saksi pun yang menyebutkan Bibit-ChanÂdra melakukan pemerasan. BahÂkan pengadilan memvonis AngÂgodo yang bersalah. Jadi, semuaÂnya sudah terang benderang bahwa ini rekayasa, sehingga KeÂjagung tidak perlu ragu untuk mengeluarkan SKPP baru.
Tapi ada yang menilai SKKP baru itu tidak bisa dikeluarkan Plt Jaksa Agung Darmono ?Itu pendapat keliru. Pelaksana tugas (Plt) Jaksa Agung mempuÂnyai hak sama seperti Jaksa Agung. Itu sudah melekat, dari segi hak, tidak ada perbedaan antara Jaksa Agung atau Plt Jaksa Agung. Jadi, bisa saja terbitkan SKPP baru karena kasus ini meÂmang nggak layak dibawa ke pengadilan. Kasus ini sarat dengÂan rekayasa.
Siapa sih yang merekaya?Saya nggak mau menuduh orang ya, itu nggak baik. Yang jelas banyak pengacara yang kuÂrang puas terhadap KPK. Sebab, sejak adaÂnya KPK tidak pernah ada kasus korupsi yang bebas. Setiap perÂkara korupsi yang diÂsidangkan di Pengadilan Tipikor, semuanya divonis bersalah.
Selain itu, banyak politisi yang terseret kasus korupsi. Ini semua gara-gara gebrakan KPK. Kalau kemudian ada politisi yang tidak suka, saya kira itu lumrah, manuÂsiawi saja. Tapi marilah kita berÂpikir untuk lebih besar, yakni demi penyelamatan bangsa ini. Jadi, kinerja KPK harus dioptiÂmalÂkan. Untuk itu, kasus Bibit-Chandra sebaiknya tidak diseleÂsaiÂkan lewat pengaÂdilan, seperti harapan PreÂsiden SBY agar kaÂsus ini diseleÂsaikan di luar pengaÂdilan.
Bukankah kalau diselesaiÂkan lewat pengadilan, itu lebih baik, sehingga rekayasa bisa dibongkar?Memang ada pendapat seperti itu. Tapi bagi saya, buat apa diÂbawa ke pengadilan kalau kasus ini sarat rekayasa. Ini menghaÂbiskan energi saja. Toh sudah bisa ditebak hasilnya, pasti menang. Bibit-Chandra nggak bakal terÂbukti melakukan pemerasan. Jadi, ini kerjaan sia-sia kalau kaÂsus ini dibawa ke pengadilan.
[RM]
BERITA TERKAIT: