WAWANCARA

Amir Syamsuddin: Plt Jaksa Agung Berhak Terbitkan SKPP Baru Kasus Bibit-Chandra

Jumat, 15 Oktober 2010, 07:45 WIB
Amir Syamsuddin: Plt Jaksa Agung Berhak Terbitkan SKPP Baru Kasus Bibit-Chandra
RMOL. Mahkamah Agung (MA) dinilai tidak konsisten dalam menangani permohonan Peninjauan Kembali (PK) praperadilan.

PK yang diajukan Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait kasus Bibit Samad Riyanto dan Chan­dra Hamzah tidak diterima MA. Padahal, MA pernah menangani PK praperadilan yang diajukan penga­cara Hendra Rahardja.  

“Jadi, MA tidak konsisten. PK praperadilan kasus Bibit-Chandra tidak diterima dengan alasan itu bukan domainnya. Tapi kenapa PK praperadilan Hendra Ra­har­dja diterima,’’ ujar bekas anggota Tim 8 Kasus Bibit-Chan­dra, Amir Syamsuddin, kepada Rak­yat Merdeka, di Jakarta, kemarin.

Kasus Bibit-Chandra tergolong unik. Keduanya dituduh meneri­ma suap saat menangani perkara PT Masaro Radiokom. Tapi di­anggap kurang bukti, sehingga Kejagung mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penun­tutan (SKPP).    

Kemudian Anggodo Widjojo, orang yang dituduh menyuap Bibit- Chandra menggugat SKPP tersebut.

Pengadilan Negeri Jakarta Se­latan mengabulkan gugatan Anggodo, sehingga diperintah­kan agar kasus Bibit-Chandra dilanjutkan.

Kejagung melakukan ban­ding, tapi Pengadilan Tinggi ma­lah menguatkan putusan Pe­ngadilan Jakarta Selatan. Keja­gung mela­kukan PK, tapi tidak diterima MA.

Amir Syamsuddin yang bekas Sekjen Partai Demokrat itu selan­jutnya mengatakan, tidak dite­rima itu berbeda dengan ditolak. Kalau tidak diterima berarti MA tidak menangani esensi perkara. Kalau ditolak, berarti MA me­nangani perkaranya tapi permo­honan PK tersebut ditolak.

“Itu dua hal yang sangat ber­beda. Dalam kasus Bibit-Chan­dra, PK yang diajukan Kejagung tidak diterima MA,’’ ujar Sekre­taris Dewan Kehormatan Partai Demokrat itu.

Berikut kutipan wawancara dengan anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat tersebut:

Sebagai anggota Tim 8 Kasus Bibit-Chandra, bagaimana so­lusi terbaik?
 Berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, pasal 35 ayat C di situ disebutkan, Jaksa Agung mempu­nyai tugas dan wewenang  me­nge­­sam­pingkan perkara demi kepentingan umum. Ini yang disebut deponering. Jadi, depo­nering dikeluarkan demi kepen­tingan umum.

Apa demi kepen­tingan umum itu logis?
Sangat logis. Saya percaya, Bibit dan Chandra tidak takut kasusnya dibawa ke pengadilan. Tapi kalau itu dilakukan maka kinerja KPK pasti pincang. Arti­nya banyak kasus korupsi tidak akan tertangani. Sebab, tinggal dua Wakil Ketua. Sedang­kan calon pimpinan KPK yang lain­nya belum dilakukan fit and proper test oleh Komisi III DPR. Jadi, kalau kasus Bibit-Chandra diteruskan ke pengadilan, yang rugi tentu rakyat, karena kasus-kasus korupsi terbengkalai ka­rena KPK bekerja tidak optimal.

Bagaimana kalau SKPP baru?
Itu juga boleh. Tergantung Ke­jakgung saja. Mau deponering atau SKPP baru.

Nanti Anggodo menggugat praperadilan lagi?
Gak apa-apa. Tapi Kejagung dalam mengeluarkan SKPP baru itu dengan alasan hukum yang jelas, yakni tidak ditemukan bukti yang kuat bahwa Bibit-Chandra melakukan pemerasan, sehingga tidak layak dibawa ke penga­dilan. Jangan lagi dibuat alasan demi sosiologis, karena dalam hukum tidak dikenal istilah ter­sebut, sehingga sangat gampang dipatahkan di pengadilan.  

 Barangkali Kejagung ragu dengan alasan tidak ditemukan bukti pemerasan itu?
 Saya kira tidak ada yang perlu diragukan. Kami Tim 8 sangat yakin kasus ini memang sarat dengan rekayasa setelah men­dengar­kan rekaman pembicaraan di sidang Mahkamah Konstitusi, makanya kami meminta Kapolri agar Bibit-Chandra ditangguhkan penahanannya dan dikeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan).

Apalagi sekarang, setelah  ke­po­lisian tidak bisa membuktikan adanya rekaman pembicaraan an­tara Ary Muladi dan Ade Rahar­dja terkait pemberian uang ke Bibit di Pasar Festival, Ku­ningan. Ini sudah cukup jelas bahwa se­muanya rekayasa.

Apa ada alasan lain bahwa ka­sus ini sarat rekayasa?
Ada. Dalam persidangan kasus Anggodo tidak ada satu saksi pun yang menyebutkan Bibit-Chan­dra melakukan pemerasan. Bah­kan pengadilan memvonis Ang­godo yang bersalah. Jadi, semua­nya sudah terang benderang bahwa ini rekayasa, sehingga Ke­jagung tidak perlu ragu untuk mengeluarkan SKPP baru.

Tapi ada yang menilai SKKP baru itu tidak bisa dikeluarkan Plt Jaksa Agung Darmono ?
Itu pendapat keliru. Pelaksana tugas (Plt) Jaksa Agung mempu­nyai hak sama seperti Jaksa Agung. Itu sudah melekat, dari segi hak, tidak ada perbedaan antara Jaksa Agung atau Plt Jaksa Agung. Jadi, bisa saja terbitkan SKPP baru karena kasus ini me­mang nggak layak dibawa ke pengadilan. Kasus ini sarat deng­an rekayasa.

Siapa sih yang merekaya?
Saya nggak mau menuduh orang ya, itu nggak baik. Yang jelas banyak pengacara yang ku­rang puas terhadap KPK. Sebab, sejak ada­nya KPK tidak pernah ada kasus korupsi yang bebas. Setiap per­kara korupsi yang di­sidangkan di Pengadilan Tipikor, semuanya divonis bersalah.

Selain itu, banyak politisi yang terseret kasus korupsi. Ini semua gara-gara gebrakan KPK. Kalau kemudian ada politisi yang tidak suka, saya kira itu lumrah, manu­siawi saja. Tapi marilah kita ber­pikir untuk lebih besar, yakni demi penyelamatan bangsa ini. Jadi, kinerja KPK harus diopti­mal­kan. Untuk itu, kasus Bibit-Chandra sebaiknya tidak disele­sai­kan lewat penga­dilan, seperti harapan Pre­siden SBY agar ka­sus ini disele­saikan di luar penga­dilan.

Bukankah kalau diselesai­kan lewat pengadilan, itu lebih baik, sehingga rekayasa bisa dibongkar?
Memang ada pendapat seperti itu. Tapi bagi saya, buat apa di­bawa ke pengadilan kalau kasus ini sarat rekayasa. Ini mengha­biskan energi saja. Toh sudah bisa ditebak hasilnya, pasti menang. Bibit-Chandra nggak bakal ter­bukti melakukan pemerasan. Jadi, ini kerjaan sia-sia kalau ka­sus ini dibawa ke pengadilan.  [RM]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA