Melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP), negara berupaya memutus rantai kemiskinan antargenerasi dengan menjamin anak-anak dari keluarga tidak mampu tetap berada di jalur pendidikan.
Keberhasilan program ini bergantung pada dua kunci utama, keadilan alokasi dan ketepatan sasaran.
Namun, di tengah urgensi ini, muncul mekanisme PIP Aspirasi -- jalur di mana usulan penerima berasal dari anggota legislatif (DPR/DPD).
Secara legal formal, jalur ini dianggap sah sebagai bagian dari mekanisme pengusulan, tetapi secara etika politik, ia menciptakan sebuah paradoks: sebuah program kesejahteraan murni yang dihijack (dibajak) oleh kepentingan elektoral.
Politisasi dan Konflik Peran Legislatif yang FundamentalInti masalah PIP Aspirasi terletak pada konflik peran yang mencederai prinsip dasar trias politica. DPR sendiri memiliki tiga fungsi utama: legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Namun sejak PIP Aspirasi ini muncul fungsi pengawasan DPR khususnya yang duduk di di Komisi X (bidang pendidikan) bergeser menjadi pelaksana atau eksekutor program.
Anggota Dewan secara aktif ikut serta dalam menentukan daftar nama penerima di Daerah Pemilihan (Dapil), mereka secara efektif telah bergeser menjadi eksekutor program. Bahkan melalui tim nya, mereka juga langsung membagikan KIP kepada warga.
Padahal seharusnya, Anggota DPR yang duduk di Komisi X memegang teguh fungsi pengawasan. Tugas mereka adalah memastikan mitra kerja mereka yakni, Kementerian Pendidikan menjalankan PIP dengan data yang akurat berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), distribusinya merata, dan anggarannya efisien.
Menurut saya, pergeseran peran ini melanggar check and balance. Siapa yang akan mengawasi jika pengawas itu sendiri menjadi pelaksana? Ini menciptakan lingkaran tertutup yang meminimalkan akuntabilitas dan potensi untuk manipulasi.
Konflik Kepentingan dan Nuansa Vote Buying TerselubungPraktik PIP Aspirasi secara inheren membuka ruang bagi dua masalah etika politik yang serius, pertama Potensi
Vote Buying atau Pembelian Suara:
Melalui kemasan politik -- dengan foto caleg, logo partai, atau acara seremonial saat pembagian KIP, manfaat ini diklaim seolah-olah sebagai 'kebaikan' atau 'hadiah' personal sang politisi.
Padahal, bantuan PIP ini murni berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang merupakan uang rakyat dan hak konstitusional warga miskin, bukan donasi pribadi politisi.
Dampak dari klaim ini mendistorsi persepsi publik, mengubah kewajiban negara menjadi komoditas politik, dan menciptakan ketergantungan suara di basis pemilih. Masyarakat secara psikologis dipaksa merasa 'berutang budi' atas hak yang seharusnya mereka terima tanpa syarat politik.
Masalah kedua yakni,
Abuse of Power atau penyalahgunaan wewenang. Hal ini karena anggota Dewan tidak memiliki instrumen verifikasi sosial yang komprehensif (seperti DTKS).
Keterlibatan langsung mereka membuka pintu bagi praktik kolusi, di mana penerima yang diusulkan adalah mereka yang memiliki loyalitas politik atau kekerabatan, meskipun tidak memenuhi kriteria kelayakan kemiskinan.
Distorsi Keadilan dan Akuntabilitas Program KesejahteraanPolitisasi PIP Aspirasi bukan hanya masalah etika individu, tetapi masalah sistemik yang mengikis tujuan luhur program kesejahteraan. Sebab PIP yang seharusnya didasarkan pada basis kebutuhan warga miskin diubah menjadi berbasis dukungan politik.
Akibatnya, banyak keluarga yang benar-benar miskin dan layak justru terlewatkan karena tidak memiliki koneksi atau tidak berafiliasi dengan politisi tertentu.
Kemudian masyarakat, terutama di daerah pemilihan yang rentan, akan menganggap bahwa akses terhadap pendidikan (melalui PIP) adalah sesuatu yang dinegosiasikan secara politik, bukan kewajiban mutlak negara. Hal ini merusak kepercayaan pada institusi negara yang netral dan berkeadilan.
Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah menyoroti bahwa peran DPR dalam penentuan beasiswa sebagai akar masalah, menguatkan dugaan bahwa mekanisme aspirasi ini lebih berorientasi pada kepentingan elektoral daripada kepentingan pendidikan rakyat miskin.
Rekomendasi Pengembalian Marwah PIPUntuk mengembalikan Program Indonesia Pintar ke jalur kesejahteraan murni dan menjauhkannya dari bias politik, diperlukan langkah tegas dari institusi negara.
Pertama Pengembalian Fungsi Pengawasan:
Komisi X DPR harus kembali ke fungsi hakiki mereka, mengawasi implementasi eksekutif. Fokus mereka seharusnya adalah memastikan validitas DTKS, efektivitas pencairan dana, dan sanksi tegas bagi penyimpang, bukan menentukan nama penerima.
Kedua Sentralisasi Data Penerima
Penentuan dan verifikasi penerima harus dikembalikan sepenuhnya ke tangan eksekutif Kementerian Pendidikan dengan basis data resmi dan terpadu (DTKS, P3KE, dsb.).
Ketiga Audit dan Transparansi
Wajib dilakukan audit rutin terhadap penerima PIP Aspirasi untuk membandingkan kelayakan mereka dengan penerima jalur reguler.
Pemerintah harus menyediakan portal yang transparan dan mudah diakses untuk menunjukkan sumber pendanaan (APBN) dan kriteria kelayakan, tanpa embel-embel nama atau foto politisi.
Catatan penting; PIP harus hadir sebagai Wajah Negara yang Adil, yang melayani semua warga negara berdasarkan kebutuhan, bukan dukungan politik.
Jangan biarkan program yang bertujuan mulia ini menjadi alat kampanye yang murah bagi oknum anggota DPR, yang justru mengkhianati amanat untuk memeratakan akses pendidikan.
Engkos KosasihWartawan senior
BERITA TERKAIT: