Hutan Baru Dianggap Penting setelah Korban Tembus 1.003 Jiwa

Senin, 15 Desember 2025, 03:31 WIB
Hutan Baru Dianggap Penting setelah Korban Tembus 1.003 Jiwa
Petugas gabungan mengevakuasi korban meninggal dunia akibat banjir Sumatera. (Foto: BNPB)
KITA kembali menengok saudara kita yang tertimpa bencana tanda tangan di tanah Sumatera. Update terkini, sudah 1.003 jiwa meninggal. 

Al Fatihah untuk seluruh korban. Ketika korban sudah mencapai seribu lebih, barulah pemerintah memandang pentingnya hutan. Perusahan perusak lingkungan mulai disikat satu per satu. 

1.003 orang mati di Sumatera. Angka yang ditulis rapi, lurus, sopan, mirip laporan laba rugi perusahaan tambang. Seribu tiga. Bukan typo. Bukan salah hitung. Seribu tiga nyawa diseret lumpur dan air bah, tenggelam bersama dosa panjang yang selama ini kita sebut pembangunan. 

Di balik angka itu ada anak yang tak sempat dewasa, ibu yang tak sempat pamit, bapak yang tak sempat menarik gaji terakhir. Rumah-rumah hilang, bukan pindah alamat, tapi pindah alam.

Hampir seribu orang lain mengungsi. Tidur di tenda tipis, beralas tanah basah, ditemani hujan yang bunyinya seperti pengingat dosa yang jatuh berulang. Mereka tak lagi sibuk menunggu bantuan. Mereka hanya berharap malam ini tidak ikut jadi angka baru besok pagi.

Bantuan tentu datang. Datang dengan gaya pidato kenegaraan. Puluhan ton beras, ribuan selimut, ratusan toilet portabel, dapur umum yang katanya bisa memasak ratusan ribu bungkus nasi sehari. Di berita, semua tampak megah. 

Di posko terpencil, masih ada ibu membagi satu telur untuk tiga anak. Masih ada lansia menggigil tanpa obat. Masih ada bayi menangis karena susu telat datang. Rp80 miliar dari Kemensos, kata siaran pers. Angka besar, sampai kita sadar, tak satu pun dari seribu tiga nyawa itu bisa ditebus, bahkan dengan stimulus rumah rusak berat enam puluh juta rupiah per kepala keluarga.

Tapi jangan larut dalam duka, lae. Ada kabar baik. Per 14 Desember 2025 pukul 15.30 WIB, Indonesia berada di peringkat kedua klasemen sementara SEA Games 2025 dengan 32 medali emas. 

Luar biasa. Negeri ini tetap berlari kencang di arena olahraga, meski di arena kehidupan, rakyatnya sedang berjuang bertahan dari banjir dan longsor. Kita boleh bangga, di saat alam runtuh dan manusia hanyut, bendera tetap berkibar gagah di podium.

Negara pun hadir dengan gaya heroik. Menteri Lingkungan Hidup mencabut persetujuan lingkungan delapan perusahaan. Delapan! Perusahaan yang selama ini membabat hutan seperti membersihkan halaman rumah sendiri.

Di Batang Toru, tiga sampai empat raksasa, PT Agincourt Resources, PTPN III, North Sumatera Hydro Energy, dihentikan operasionalnya. Tapi tenang, ini hanya sementara. Mau audit lingkungan ketat, katanya. Sementara, wak. Alam boleh rusak puluhan tahun, perusahaan cukup istirahat sejenak.

Belum puas, Menteri Kehutanan ikut unjuk ketegasan. Dua puluh izin pemanfaatan hutan seluas tujuh ratus lima puluh ribu hektare akan dicabut karena “kinerjanya buruk”. Bukan karena hutan mati. Bukan karena sungai berubah jadi algojo massal. Tapi karena kinerja. 

Langkah tegas ini diambil tepat setelah seribu tiga orang meninggal. Timing-nya rapi, seperti pemadam kebakaran yang datang setelah api berubah jadi abu.

Moratorium diberlakukan. Investigasi di dua belas lokasi berjalan. Penegakan hukum dikoordinasikan. Bahasa-bahasa negara yang terdengar kokoh dan berwibawa. 

Sayangnya, semua itu muncul setelah gelondongan kayu hanyut bersama mayat, setelah tanah longsor lebih dulu menagih korban.

Kita pun diminta lega. Katanya perusahaan perusak hutan mulai “disikat satu per satu”. Satu per satu, gam. Pelan. Sabar. Seolah korban bisa antre menunggu keadilan. Seolah seribu tiga nyawa itu sekadar angka pemanasan sebelum kebijakan serius benar-benar diterapkan.

Maafkan kami, para korban. Kami baru peduli setelah kalian mati. Kami baru tegas setelah rumah kalian rata. Kami baru ribut setelah alam berubah jadi senjata. 

Kini kami sibuk menghitung hektare hutan yang akan dicabut izinnya, sambil sesekali menengok klasemen SEA Games, bangga pada medali emas, sambil menutup mata dari lumpur yang masih mengubur cerita manusia.

Seribu tiga nyawa melayang, dan kita masih menyebut ini musibah. Padahal ini hasil. Hasil dari izin yang ditandatangani sambil tersenyum, dari hutan yang dianggap angka, dari kesadaran yang selalu datang terlambat. Tragis? Jelas. Menyedihkan? Pasti. Manusiawi? Terlalu manusiawi, sampai kita lupa bahwa alam juga punya batas kesabaran.

Hutan gundul tinggal cerita
Sungai meluap bawa nestapa
Medali emas kita bersorak ria
Seribu nyawa hilang tak terbaca

Kayu hanyut ke muara sepi
Lumpur naik menutup halaman
Podium tinggi negeri dirayai
Tenda pengungsi jadi halaman depan

Izin diteken tinta berkilau
Alam runtuh kian membara 
Klasemen naik hilang galau
Kubur massal sunyi tanpa suara


Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA