INI di antara cuplikan isi pidato Presiden Prabowo Subianto pada peringatan HUT Partai Golkar ke-61, kemarin.
Meski mengaku mengutip pemikiran Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia, sepertinya itu juga menjadi pemikiran Prabowo.
Sistem demokratis yang murah, adakah itu? Sayang, contoh-contoh yang disebutkan Presiden Prabowo seperti Malaysia, India, Australia, termasuk Inggris dan Kanada, umumnya menganut sistem parlementer, sementara Indonesia menganut sistem presidensial. Jadi, tak bisa disama-samakan.
Dalam HUT Partai Golkar ke-60 tahun lalu, kurang lebih dalam sambutannya, Presiden Prabowo juga mengomentari sistem politik kita yang mahal. Tak hanya yang kalah, yang menang pun, sama-sama habis uang, lelah, dan tak bahagia.
Entah kenapa Presiden Prabowo memilih mengomentari sistem politik yang mahal hanya di hadapan Partai Golkar? Di hadapan partai-partai lain, termasuk di internal Partai Gerindra sendiri, tak terlalu.
Agaknya Golkar satu-satunya partai yang siap dalam sistem politik yang mahal, dalam artian pemilihan langsung, juga sistem pemilihan perwakilan di DPRD, misalnya.
Sistem politik kita mahal, itu sudah menjadi rahasia umum. Mahal, tapi mungkin paling demokratis di dunia, mengalahkan negara paling demokrasi itu sendiri, yakni Amerika Serikat. Semua dipilih secara langsung,
one man one vote. Amerika Serikat saja tak begitu.
Paling mahal, karena tak hanya negara yang mengeluarkan uang hingga ratusan triliun, tapi juga parpol dan calon itu sendiri.
Hasilnya juga relatif tak ada. Baik antara pemilih dan yang dipilih, maupun terhadap kesejahteraan pemilih itu sendiri. Inilah yang ingin diubah Presiden Prabowo, tapi tak mudah, karena terlanjur dinikmati banyak orang.
Sistem perwakilan sebetulnya cocok dengan orang Indonesia, tapi sistem ini terbukti gagal dan pernah diselewengkan Orde Baru selama 32 tahun.
Istilah Prabowo sekali saja memilih, lalu gubernur, bupati, dan walikota dipilih di DPRD. Ini memang jauh lebih simpel.
Tapi siapa pula yang akan percaya di tengah krisis kepercayaan seperti saat ini? Sedang dipilih secara langsung saja, yang terpilih masih banyak yang bermasalah.
Apalagi dipilih lewat perwakilan di DPRD? Kongkalikongnya akan lebih tinggi dan kasat mata. Murah dan mahalnya hanya bagi elite, bukan bagi rakyat (pemilih). Elite semakin jauh dari rakyat.
Demokratis, tapi jangan buang-buang uang. Negara terkaya di dunia pakai sistem politik yang murah. Ini benar sekali.
Pidato Presiden Prabowo di HUT ke-61 Partai Golkar itu tak ada yang salah. Yang salah, bisa jadi, kalau caranya adalah kembali pada sistem yang lama.
Selain sudah kedaluwarsa, mayoritas rakyat dan Hakim MK pun kiranya tak akan mendukung. Sistem pemilihan langsung ini adalah yang terbaik dan paling esensial dalam demokrasi.
Yang paling mungkin, Gubernur dipilih secara tidak langsun, karena alasan perwakilan dari Pemerintah Pusat. Itupun belum tentu bisa diterima.
DPR belum menjadikan pembahasan Paket UU Pemilu prioritas tahun 2026 nanti. Artinya, diskursus masalah sistem Pemilu kita masih akan tertunda. Padahal paket UU Pemilu itu sudah compang-camping dipreteli oleh putusan Mahkamah Konstitusi.
Misalnya, soal ambang batas Parlemen dan ambang batas Pencapresan. Termasuk, soal pemisahan keserentakan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal.
Sementara pemikiran Presiden Prabowo cenderung pemilihan cukup satu kali saja. Kepala daerah cukup dipilih oleh DPRD.
Meski semua kekuatan politik sudah ambil ancang-ancang untuk menyambut politik 2029, tapi sistemnya masih kabur.
Ini akan mengulang situasi politik sebelumnya, di mana paket UU Pemilu dibahas dalam waktu yang kasip dan tergesa-gesa.
Kalau sudah di ujung peket UU Pemilu baru dibahas, maka itu bukan lagi demokratis tapi jangan buang-buang namanya, melainkan demokratis, tapi asal jadi saja untuk kepentingan politik jangka pendek.
ErizalDirektur ABC Riset & Consulting
BERITA TERKAIT: