Malam itu, Hotel Sultan Jakarta seperti biasa, lampu temaram, karpet empuk, dan prasmanan yang nasinya selalu lebih lengket dari hubungan antar-ormas.
Tapi siapa sangka, ballroom yang biasanya cuma jadi tempat seminar “Strategi Digitalisasi Dakwah 4.0” mendadak berubah jadi teater kudeta tersopan dalam sejarah Nusantara. Tanpa keributan, tanpa teriakan, tanpa drama lempar sandal, cukup dengan tatapan serius Syuriyah dan ketukan palu Rais Aam.
Boom. KH Zulfa Mustofa resmi diangkat sebagai Pj Ketua Umum PBNU, menggantikan kursi KH Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya yang malam itu kosong seperti hati mantan setelah ditinggal pas akad.
Kiai Zulfa bukan nama baru di orbit Nahdliyin. Lahir 7 Agustus 1977, darah ulama mengalir deras dalam dirinya.
Kiai Zulfa keponakan KH Ma’ruf Amin, mantan Wakil Presiden sekaligus Avenger Fatwa Nasional dan cucu Nyai Hajjah Maimunah, keturunan Syekh Nawawi al-Bantani. Kalau silsilah keluarga rata-rata cuma dua halaman, keluarga ini bisa bikin ensiklopedia volume tiga.
Tapi bukan cuma silsilah. Sebelum jadi Pj Ketum PBNI, Kiai Zulfa sudah jadi Wakil Ketua Umum PBNU. Lebih dari itu, Kiai Zulfa penulis kitab Tuhfatul Qashi wa Dani, nadzam campuran nahwu, sharaf, fiqih, tasawuf, dan tauhid.
Kitab ini semacam paket kombo, kalau anda hafal, kamu bisa ceramah, bisa mengajar, bisa mengadili perdebatan antar-RT. Bahkan bisa jadi solusi bagi acara tahlilan yang MC-nya mendadak hilang.
Masuklah kita ke malam 9 Desember 2025. Para Syuriyah berkumpul, rapatnya serius, tapi tetap ditemani kopi hotel yang harganya bisa bikin mahasiswa mengucap istighfar tiga kali.
Gus Yahya tak hadir. Menghilang seperti file penting yang tiba-tiba tidak muncul di desktop. Entah sedang tugas luar, atau sedang mencari ketenangan batin. Yang jelas, kursinya kosong. Di NU, kursi kosong itu magnet keputusan besar.
Rais Aam KH Miftachul Akhyar lalu mengetuk palu. Satu ketukan. Sunyi. Seperti adegan klimaks film yang plotnya halus tapi menikam.
Tiba-tiba, tanpa baliho, tanpa deklarasi panggung, tanpa
jingle kampanye, muncullah Pj Ketum baru, Kiai Zulfa. Secepat itu. Sakitnya mungkin tidak berdarah, tapi terasa sampai langit-langit struktural.
Tak lama kemudian, Gus Ipul tampil memberi klarifikasi, “Saya dan Gus Yahya baik-baik saja.” Wak, kalimat itu sudah jadi meme politik.
Sebab publik tahu, kalau harus menjelaskan “semuanya baik-baik saja,” biasanya berarti tidak seindah itu. Apalagi kalau disampaikan sambil senyum simpul dan nada suara setengah oktav lebih tinggi dari biasanya. Itu bahasa diplomasi Nahdliyin, elegan tapi pedas.
Kini PBNU memasuki episode baru. Bukan episode final, lebih mirip episode penting sebelum
plot twist besar di Muktamar 2026.
Kiai Zulfa membawa modal lengkap, darah ulama, kitab nadzam, pengalaman struktural, dan ketenangan yang bikin suasana kayak pengajian subuh, tapi listriknya 250 watt.
Apakah ini awal era baru? Atau hanya pemanasan sebelum drama berikutnya? Hanya Tuhan, Rais Aam, dan karpet Hotel Sultan yang tahu. Tapi satu hal pasti, jangan pernah meremehkan orang yang bisa menulis nadzam. Di NU, kadang yang paling puitis justru yang paling strategis.
Selamat bekerja, Kiai Zulfa. Semoga peci tetap tegak, langkah tetap lurus, dan angin politik tidak bikin nadzam berubah jadi nasyid galau. Semoga Hotel Sultan tetap siap kalau nanti ada rapat mendadak yang bisa mengubah sejarah.
Sidang Syuriyah malam berbintang
Pecah sunyi di Hotel Sultan
Kalau Zulfa diangkat memegang
Peci miring pun jadi tanda jabatanPohon bidara tumbuh di rawa
Daunnya jatuh ditiup angin
Kalau PBNU berubah ketua
Biasanya akan ada nantangin"Bang, Gus Yahya masih ngotot ialah Ketum hasil muktamar. Gimana tu?"
"Kalau beliau masih ngotot, berarti prahara masuk babak kedua, Koptagul lagi kita, wak." Ups.
Rosadi JamaniKetua Satupena Kalbar
BERITA TERKAIT: