Saatnya Rakyat Diberi Hak Mengoreksi Wakilnya

Jumat, 21 November 2025, 17:54 WIB
Saatnya Rakyat Diberi Hak Mengoreksi Wakilnya
Ilustrasi gedung MPR/DPR. (Foto: Antara)
GUGATAN lima mahasiswa -Ahmad Rizky Akbar, Nadya Pramesti, Bagus Wirayudha, Citra Maharani, dan Leonardus Ardi Prakoso- terhadap Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) tengah menjadi perhatian publik. Mereka meminta Mahkamah Konstitusi menafsirkan ulang mekanisme pemberhentian antarwaktu (PAW) agar tidak hanya menjadi kewenangan partai politik, tetapi juga memberi ruang bagi rakyat sebagai pemilih untuk mengusulkan pemberhentian anggota DPR.

Inisiatif ini terasa penting karena menyentuh persoalan mendasar dalam demokrasi Indonesia: sejauh mana rakyat memiliki kontrol terhadap wakil yang mereka pilih? Selama ini, setelah pemilu selesai, ruang partisipasi politik warga mengecil drastis. Rakyat hanya menjadi penonton, sementara partai politik memegang kendali penuh atas nasib kader yang duduk di kursi legislatif.

Padahal, prinsip representasi demokratis menempatkan rakyat sebagai pemegang mandat. Ketika seorang anggota DPR terlibat pelanggaran etika, mengabaikan konstituen, atau menunjukkan konflik kepentingan, masyarakat tidak memiliki saluran formal untuk memberikan koreksi. Mekanisme PAW yang seluruhnya berada di tangan partai membuat akuntabilitas publik tereduksi.

Gagasan yang diajukan para mahasiswa ini bukanlah ancaman terhadap partai politik. Mereka tidak hendak melemahkan lembaga legislatif. Sebaliknya, usulan ini merupakan dorongan untuk memperkuat kualitas demokrasi. Dengan membuka ruang bagi konstituen untuk mengusulkan PAW, hubungan antara wakil rakyat dan rakyat sebagai pemilih akan kembali diperdalam.

Sebagian pihak mungkin khawatir rakyat bisa menggunakan mekanisme ini secara emosional atau politis. Namun, kekhawatiran itu dapat dijawab melalui desain prosedur yang ketat, terverifikasi, dan berbasis bukti. Negara dapat mengatur batas ambang dukungan, mekanisme verifikasi independen, serta prosedur etik yang menjaga stabilitas. Banyak negara demokratis telah menerapkan mekanisme recall tanpa meruntuhkan sistem politik mereka.

Dalam konteks Indonesia yang masih berjuang memperbaiki kualitas representasi, inisiatif mahasiswa ini justru membuka pintu bagi demokrasi yang lebih partisipatif. Kontrol rakyat tidak harus berhenti pada bilik suara; ia harus dipelihara selama masa jabatan berlangsung. Dan gagasan ini memberi peluang untuk itu.

Terlepas dari putusan Mahkamah Konstitusi nantinya, langkah lima mahasiswa ini patut diapresiasi. Mereka menunjukkan bahwa generasi muda tidak hanya menjadi pengamat, tetapi mengambil peran substantif dalam merawat demokrasi. Indonesia membutuhkan keberanian semacam ini: keberanian untuk mengusulkan perubahan yang mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat.

Demokrasi yang sehat bergantung pada dua pilar: legitimasi dan akuntabilitas. Pemilu memberi legitimasi, tetapi akuntabilitas hanya dapat berjalan bila rakyat memiliki ruang untuk mengoreksi. Usulan ini, betapapun kontroversialnya, adalah upaya untuk memperkuat pilar itu. Dan karena itu, layak untuk didengar dengan serius.

Agung Nugroho
Direktur Jakarta Institute.
EDITOR: ADE MULYANA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA