Langkah besar ini menjadi pilar utama industrialisasi Indonesia, mengubah wajah ekonomi nasional dari eksportir bahan mentah menjadi produsen bernilai tambah tinggi.
Namun di balik derap percepatan investasi dan ambisi ekonomi, muncul pertanyaan fundamental: apakah perangkat hukum dan kelembagaan nasional telah siap menopang agenda besar ini?
Prof. Brian Yuliarto dan Babak Baru Hilirisasi Nasional
Momentum penting hadir dengan telah resminya Prof. Brian Yuliarto menjabat sebagai Kepala Badan Hilirisasi Nasional (BHN), lembaga lintas sektor yang bertugas mengintegrasikan kebijakan, regulasi, dan pelaksanaan proyek hilirisasi di seluruh Indonesia.
Akademisi dan peneliti teknologi material dari Institut Teknologi Bandung ini kini memimpin upaya restrukturisasi kebijakan hilirisasi berbasis ilmu dan tata kelola hukum. Prof. Brian menegaskan bahwa BHN harus segera lengkap secara struktural dan fungsional, agar percepatan proyek tidak kehilangan legitimasi hukum.
“Semua perangkat kelembagaan harus onboard lebih dulu. Kita tidak bicara sekadar percepatan proyek, tapi penataan hukum dan tata kelola sumber daya nasional,” kata Prof. Brian Yuliarto.
Langkah pertama BHN adalah membentuk tim hukum dan kepatuhan nasional, melibatkan kementerian teknis, ahli legal drafting, serta perwakilan sektor industri. Tim ini akan memastikan seluruh proyek hilirisasi berlandaskan izin, kontrak, dan kepatuhan hukum yang sah.
18 Proyek Strategis: Dari Minerba hingga EnergiDari total 18 proyek prioritas yang sedang dikaji, sebagian besar berada pada sektor mineral dan energi:
Smelter aluminium di Kalimantan Barat,
Pabrik stainless steel di Sulawesi Tengah,
Copper rod plant di Jawa Timur,
Kilang minyak dan tangki penyimpanan energi, serta
Gasifikasi batu bara menjadi DME senilai lebih dari Rp 160 triliun.
Proyek-proyek tersebut diharapkan menciptakan lebih dari 300 ribu lapangan kerja langsung dan tidak langsung, sekaligus menekan ketergantungan impor energi serta bahan baku industri.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Ahmad Erani Yustika, menegaskan bahwa percepatan kajian 18 proyek ini menjadi langkah awal menuju kemandirian energi dan mineral nasional.
“Kita ingin nilai tambahnya dirasakan di dalam negeri. Karena itu, aspek legal, lingkungan, dan investasi harus berjalan paralel,” ujarnya di Jakarta.
Dimensi Hukum: Pilar Hilirisasi yang Sering DiabaikanDari sisi regulasi, percepatan hilirisasi harus berpijak pada kerangka hukum yang kompleks namun saling terkait:
UU 3/2020 tentang Pertambangan Minerba,
PP 96/2021 tentang Pelaksanaan Usaha Pertambangan,
UU 25/2007 tentang Penanaman Modal, serta
UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
BHN berperan sebagai simpul koordinasi agar seluruh aturan tersebut berjalan serasi — tidak tumpang tindih antar-kementerian.
Lembaga ini bukan regulator baru, melainkan pengintegrasi kebijakan dan pengawal kepatuhan hukum dalam setiap tahapan hilirisasi.
Dari sisi tata kelola, BHN juga menyiapkan peta jalan regulasi hilirisasi nasional, yang menjadi panduan hukum terpadu dari hulu ke hilir mencakup mineral strategis, biomassa, energi baru, hingga logam tanah jarang.
Tantangan Kelembagaan dan Kepastian HukumMeski visi besar telah terbentuk, tantangan nyata terletak pada sinkronisasi kelembagaan dan kesiapan hukum proyek.
Tumpang tindih izin antar-instansi,
Lambatnya proses AMDAL dan perizinan investasi, serta
Ketidakselarasan antara regulasi hulu dan hilir,
masih menjadi hambatan klasik yang harus diselesaikan di bawah kepemimpinan BHN.
Menurut pengamat hukum energi, Dr. Rizal Mahendra, pembentukan BHN menjadi langkah strategis untuk meminimalisir potensi sengketa hukum di masa depan.
“Sengketa kontrak tambang dan investasi bisa muncul bila tidak ada otoritas tunggal yang memastikan kepatuhan hukum. BHN hadir untuk menutup celah itu,” ujarnya kepada Bloomberg Technoz.
Hilirisasi sebagai Agenda Hukum dan KedaulatanSecara hukum tata negara, hilirisasi bukan hanya program ekonomi, tetapi juga agenda kedaulatan hukum dan pengelolaan aset negara.
Keberhasilan hilirisasi akan bergantung pada:
1. Kekuatan dasar hukum dan kejelasan kontrak,
2. Akuntabilitas tata kelola lembaga pelaksana, dan
3. Sinergi antara riset, inovasi, dan kebijakan publik.
Prof. Brian menegaskan, hilirisasi tidak boleh hanya diukur dari jumlah pabrik atau nilai investasi, melainkan dari kepastian hukum dan keberlanjutan nilai tambah bagi bangsa.
“Nilai tambah sejati muncul ketika hukum, ilmu, dan kebijakan berjalan beriringan. Itulah fondasi hilirisasi yang berdaulat,” tegasnya.
Dengan Prof. Brian Yuliarto memimpin Badan Hilirisasi Nasional dan seluruh perangkatnya segera onboard, pemerintah menegaskan bahwa hilirisasi bukan lagi jargon politik atau proyek sesaat.
Ini adalah gerakan sistemik untuk memastikan kekayaan alam Indonesia dikelola secara berkeadilan, legal, dan berkelanjutan.
Bila aspek hukum dan kelembagaan mampu berjalan serempak dengan kecepatan investasi, maka Indonesia tidak sekadar menjadi pemain industri baru, tetapi menjadi negara hukum yang berdaulat atas nilai tambahnya sendiri.
Kenny WistonPendiri Kenny Wiston Law Offices
BERITA TERKAIT: