Aktivis, Idealisme, dan Pertarungan di Era Digital

Senin, 13 Oktober 2025, 17:24 WIB
Aktivis, Idealisme, dan Pertarungan di Era Digital
Ilustrasi. (Foto:Ant/Wahyu Putro)
SETIAP kali ruang demokrasi disempitkan, rakyat selalu menemukan celah untuk bicara. Begitu juga dengan para aktivis di masa Orde Baru. Mereka bukan sekadar pembangkang; mereka adalah suara yang menolak diam di tengah sunyi yang dipaksakan.

Ketika kampus dibungkam lewat aturan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK/BKK), dan media diawasi ketat oleh Departemen Penerangan, para mahasiswa, buruh, petani, dan cendekiawan justru membangun gelanggang baru di luar tembok resmi negara. Dari situ lahirlah apa yang kita sebut “kelompok penekan” -bayangan demokrasi yang menjaga denyut kebebasan di tengah sistem yang menolak dikoreksi.

Dari peristiwa Malari 1974 hingga gerakan 1998, jalan panjang aktivisme di Indonesia adalah kisah tentang keberanian yang terus berevolusi. Di awal 70-an, mahasiswa tampil sebagai “kekuatan moral” -idealis, keras kepala, tapi jujur dan berani. Masuk ke dekade 80-an, tekanan militer membuat perlawanan bergeser dari teriak di jalan menjadi diskusi di ruang-ruang kecil, membentuk kelompok studi dan lembaga advokasi.

Dari situ lahir organ organ yang mendampingi petani, memetakan ketimpangan agraria yang tak tersentuh, pembangunan kesadaran berbasis hukum, politik, sosial dan isu isu perlawanan terhadap penindasan dan anti status quo. Itulah masa di mana aktivisme mulai punya akar, bukan hanya demonstrasi, tapi pengetahuan dan data serta penggalangan kekuatan berbasis masa.

Lalu datang antara dekade 80-90-an, masa ledakan ide dan jaringan,.dimana banyak muncul organ organ baru sebagai wajah dan bentuk konkrit gerakan mahasiswa. Mereka sudah tidak lagi bergerak sendiri-sendiri, tapi membangun koneksi nasional lintas kota, lintas isu, bahkan lintas teknologi. 

Dari Nuku Sulaiman yang berani menyebar stiker bertuliskan “Soeharto Dalang Segala Bencana”, sampai Pius Lustrilanang dan Standar Kia Latief yang membangun jaringan ALDERA di kampus-kampus besar, sampai Syaiful Bahari dengan Bina Desa yang turun ke pelosok kampung yang tak tersentuh gerakan populis yang beredar di kota kota besar, dimana semangatnya sama: menolak tunduk.

Tekanan dan represi bukan alasan untuk berhenti, tapi bahan bakar untuk melangkah. Setiap kali satu ruang ditutup, mereka menciptakan ruang baru. Itulah kenapa, meski Orde Baru menguasai politik formal, moral dan intelektual publik tetap dimenangkan oleh para aktivis.

Kini, setelah Reformasi menjadi sejarah dan demokrasi berubah bentuk, medan pertempurannya juga berubah. Bukan lagi jalan raya dan spanduk yang menentukan, tapi layar dan algoritma. Aktivisme kini berjalan di ruang digital — tempat siapa pun bisa bersuara, tapi juga tempat kebenaran bisa tenggelam dalam kebisingan.

Teknologi adalah paradoks. Ia membuka kebebasan, tapi juga menciptakan kekacauan. Di tangan aktivis yang paham strategi, media sosial bisa menjadi senjata yang tajam; tapi di tangan yang salah, ia bisa menjadi cermin yang memantulkan kebohongan dengan sangat meyakinkan. 

Tantangannya sekarang bukan sekadar berani bicara, tapi mampu menjaga integritas informasi di tengah arus manipulasi. Namun satu hal tak berubah: idealisme. Itulah bahan bakar yang membuat gerakan tetap hidup, bahkan ketika dunia berubah terlalu cepat. Idealisme bukan tentang keras kepala menolak kompromi, tapi tentang tidak kehilangan arah ketika peluang dan kekuasaan datang.

Banyak aktivis kini tersebar di berbagai ruang -ada yang masuk partai politik, ada yang duduk di pemerintahan, ada yang tetap di LSM atau NGO, ada yang jadi akademisi, bahkan ada yang membangun gerakan dari desa. Inilah diaspora aktivis lintas generasi: dari kampus ke kabinet, dari jalanan ke parlemen, dari organisasi ke media. Tidak semua berhasil menjaga jarak dari pragmatisme, tapi tidak sedikit pula yang tetap tegak menjaga nilai.

Kita tidak perlu romantisasi masa lalu. Setiap zaman punya ladangnya sendiri. Dulu, aktivis berhadapan dengan senjata dan penjara; sekarang mereka berhadapan dengan algoritma, kapital digital, dan politik pencitraan. Tapi esensinya tetap sama: melawan ketimpangan, menuntut keadilan, dan menjaga nurani publik agar tidak padam.

Perlawanan masa kini bukan hanya tentang turun ke jalan, tapi juga tentang bagaimana menguasai data, menyusun narasi, dan menciptakan jejaring. Aktivis yang melek teknologi bisa menandingi propaganda dengan fakta, dan melawan ketakutan dengan pengetahuan. Tapi syaratnya satu: jangan kehilangan akar. Sebab perjuangan tanpa akar hanya melayang di awan wacana, sementara rakyat tetap berjalan di tanah yang keras.

Kalau dicermati dan dilihat sekarang, banyak wajah lama yang dulu berteriak di jalan kini duduk di kursi empuk kekuasaan. Ada yang berubah, ada yang tetap setia pada garis perjuangannya. Tapi sejarah tidak menuntut semua orang tetap di luar sistem; ia hanya menuntut satu hal: agar siapa pun yang berada di dalam, tidak lupa dari mana dia datang.

Aktivisme sejati bukan soal di mana kita berdiri, tapi untuk siapa kita berdiri. Entah di parlemen, di kampus, di redaksi, atau di ladang-ladang desa -aktivisme adalah tentang kesetiaan terhadap kebenaran, terhadap rakyat, dan terhadap akal sehat. Di zaman yang serba cepat ini, mungkin idealisme terlihat kuno, tapi justru di situlah nilainya: ia menjadi jangkar di tengah pusaran.

Maka, jika generasi baru ingin tahu apa itu aktivisme, mungkin jawabannya sederhana: itu adalah kesediaan untuk tetap jujur ketika semua orang memilih nyaman. Itu adalah keberanian untuk tetap peduli, bahkan ketika tidak ada yang menonton. 

Dan di atas segalanya, itu adalah kemampuan untuk terus belajar, menyesuaikan strategi tanpa menggadaikan prinsip. Sebab zaman bisa berubah, tapi hati yang jujur terhadap kebenaran tidak pernah kadaluarsa.

Luqman Hakim
Co.Founder Lingkar Study Data dan Informasi (LSDI).
EDITOR: ADE MULYANA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA