Sejarah konflik teritorial antara Indonesia dan Malaysia tidak dapat dilepaskan dari putusan Mahkamah Internasional (
International Court of Justice atau ICJ) tahun 2002 yang menyerahkan kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia. Putusan tersebut menimbulkan trauma psikologis bagi Jakarta dan memperkuat skeptisisme terhadap jalur ajudikasi internasional. Di sisi lain, Malaysia pun memiliki pengalaman pahit ketika kalah dari Singapura dalam kasus Pedra Branca pada tahun 2008.
Kedua peristiwa ini menegaskan bahwa mekanisme hukum internasional tidak pernah memberikan jaminan kemenangan, melainkan hanya melahirkan pihak yang menang dan pihak yang kalah. Konteks historis inilah yang mendorong kedua negara kini berusaha menghindari jalur pengadilan, meski ketidakpastian batas maritim tetap menghadirkan potensi gejolak instan.
Konteks Geopolitik dan Tekanan Domestik
Secara geopolitik, ketidakpastian yang berlarut dapat menciptakan ruang bagi eskalasi yang sulit dikendalikan. Ambalat sendiri memiliki nilai strategis yang luar biasa, dengan estimasi cadangan minyak mencapai hampir 764 juta barrel di beberapa area yang disengketakan. Tekanan domestik, baik dari politisi Sabah di Malaysia maupun sentimen nasionalis di Indonesia, dapat sewaktu-waktu mendorong kebijakan berisiko tinggi yang mengancam stabilitas kawasan. Oleh karena itu, keputusan pada 27 Juni 2025, ketika Presiden Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Anwar Ibrahim secara resmi menyepakati pengembangan bersama di Ambalat, tampak sebagai sebuah oase pragmatisme. Kedua pemimpin membingkai langkah ini sebagai strategi untuk menunda keputusan final, berbagi manfaat ekonomi, sekaligus merawat semangat kerja sama bertetangga.
Dalam kerangka
Action Research, tahap
see menuntut pengamatan objektif terhadap realitas. Dari sisi Indonesia, Ambalat bukan hanya soal sumber daya alam, tetapi juga menyangkut wibawa hukum maritim yang ditegakkan sejak era Orde Baru hingga pasca-reformasi. Kehadiran kapal-kapal patroli TNI AL di perairan tersebut mencerminkan komitmen negara dalam mempertahankan kedaulatan, sekaligus menegaskan bahwa wilayah ini bukan ruang kosong yang dapat diabaikan. Dari sisi Malaysia, terdapat kepentingan politik internal untuk menenangkan aspirasi Sabah, wilayah yang sejak lama menuntut perhatian lebih dari pemerintah federal Kuala Lumpur. Kedua negara sama-sama memiliki alasan domestik yang kuat, sehingga kompromi dalam bentuk
joint development tampak sebagai pilihan realistis yang dapat diterima publik masing-masing.
Tahap
judge mengajak kita menilai secara kritis pilihan kebijakan ini. Indonesia dan Malaysia sama-sama telah membangun reputasi sebagai champion tatanan berbasis aturan atau
rules-based order. Keduanya merupakan penandatangan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (
United Nations Convention on the Law of the Sea atau UNCLOS) 1982, serta secara konsisten menyuarakan supremasi hukum dalam forum regional ASEAN. Ketika kini mereka memilih menunda kepastian hukum demi kenyamanan politik, risiko yang muncul adalah lahirnya preseden berbahaya. Tiongkok, misalnya, dapat menjadikan pendekatan ambigu di Ambalat sebagai legitimasi bagi klaim sepihaknya di Laut Cina Selatan, sebuah klaim yang secara tegas telah ditolak dalam putusan arbitrase PCA tahun 2016. Dengan demikian, apa yang diputuskan Indonesia dan Malaysia tidak hanya berdampak pada hubungan bilateral, tetapi juga pada persepsi regional mengenai konsistensi komitmen terhadap hukum internasional.
Kita tidak bisa serta-merta menolak gagasan
joint development. Dalam literatur hukum internasional, mekanisme ini dipandang sebagai solusi transisional yang memungkinkan koeksistensi damai di wilayah sengketa. Namun, keberhasilan mekanisme tersebut hanya dapat dicapai bila ditopang oleh prinsip transparansi, akuntabilitas, dan adanya roadmap yang jelas menuju kepastian hukum akhir. Tanpa jaminan itu,
joint development hanya akan menjadi mekanisme penundaan permanen, yang pada akhirnya melemahkan integritas hukum maritim.
Menentukan Aksi Konkret
Tahap
Act dari
Action Research menuntut langkah-langkah implementatif. Pertama, Indonesia dan Malaysia harus membangun mekanisme pengawasan bersama yang melibatkan institusi maritim, kementerian luar negeri, serta parlemen, sehingga keputusan strategis tidak semata bergantung pada elit eksekutif. Kedua, kerja sama harus dituangkan dalam dokumen hukum yang jelas, disertai garis waktu (
timeline) menuju penyelesaian status final. Dengan demikian, joint development benar-benar berfungsi sebagai jembatan, bukan sebagai tujuan akhir. Ketiga, keterlibatan publik dan akademisi maritim sangat penting untuk menjaga transparansi, mengingat isu ini tidak hanya bersifat teknis tetapi juga menyangkut legitimasi politik dan nasionalisme.
Dengan demikian, kasus Ambalat harus diperlakukan sebagai sebuah laboratorium diplomasi berisiko tinggi. Jika Indonesia dan Malaysia berhasil menjaga keseimbangan antara inovasi diplomasi dan prinsip hukum, Ambalat dapat menjadi blueprint resolusi damai di Asia Tenggara. Tetapi jika mekanisme ini dibiarkan tanpa arah, ia berpotensi menjadi kisah peringatan atau
cautionary tale yang justru melemahkan kemampuan kolektif ASEAN menghadapi tantangan eksternal, khususnya dari kekuatan besar seperti Tiongkok. Kawasan sedang memperhatikan, dan sejarah akan mencatat apakah Ambalat menjadi batu loncatan bagi tata kelola maritim berbasis hukum, atau justru awal dari erosi prinsip-prinsip tersebut.

*Penulis adalah Penulis adalah Purnawirawan TNI AL berpangkat Laksamana Muda, sehari-hari sebagai Anggota FOKO, Kadep Kejuangan PEPABRI, Executive Director, Indonesia Institute for Maritime Studies (IIMS).
BERITA TERKAIT: