Harga Tiket Mahal dan Pelayanan Buruk

OLEH: ISMAIL RUMADAN*

Rabu, 13 Agustus 2025, 01:12 WIB
Harga Tiket Mahal dan Pelayanan Buruk
Ismail Rumadan. (Foto: Dok. Pribadi)
BAYANGKAN sebuah rute penerbangan domestik yang dulu dilayani oleh tiga atau empat maskapai berbeda. Persaingan harga membuat konsumen bisa memilih sesuai kebutuhan dan budget. 

Namun, setelah sebagian maskapai berhenti melayani rute tersebut, hanya tersisa satu atau dua maskapai besar yang menguasai pasar. Harga pun melonjak tajam, bahkan kadang lebih mahal dari penerbangan internasional dengan jarak tempuh lebih jauh. 

Anehnya, harga di kedua maskapai tersebut cenderung sama, seolah sudah ada “kesepakatan tak tertulis”. Inilah salah satu contoh indikasi adanya praktik monopoli di industri penerbangan -- minimnya pilihan membuat konsumen terpaksa menerima harga tinggi dan layanan yang buruk. 

Data harga tiket penerbangan pada Februari 2025 menunjukkan anomali mencolok antara rute domestik dan internasional. 

Misalnya, penerbangan Jakarta-Medan dengan durasi sekitar 2 jam 15 menit memiliki rata-rata harga Rp 2,1 juta untuk kelas ekonomi sekali jalan, lebih mahal dibanding Jakarta-Singapura yang berdurasi 1 jam 50 menit dengan harga rata-rata hanya Rp 1,4 juta. 

Begitu pula Jakarta-Makassar yang memakan waktu 2 jam 25 menit dibanderol sekitar Rp 2,3 juta, jauh di atas harga Jakarta-Kuala Lumpur yang berdurasi 2 jam 10 menit dengan tarif rata-rata Rp 1,5 juta. 

Bahkan untuk rute populer Jakarta-Bali saat musim liburan, harga berkisar antara Rp 1,8 juta hingga Rp 2,5 juta, sementara penerbangan Jakarta-Bangkok yang berdurasi lebih dari 3 jam justru rata-ratanya hanya Rp 1,7 juta. 

Fakta ini memperlihatkan bahwa penerbangan domestik sering kali jauh lebih mahal dibandingkan penerbangan internasional dengan jarak tempuh sama atau bahkan lebih jauh, sehingga menguatkan dugaan adanya pengendalian harga di pasar penerbangan domestik. 

Konsumen pengguna jasa penerbangan di Indonesia saat ini memang tidak memiliki banyak pilihan. Mereka terpaksa membeli tiket pesawat domestik dengan harga mahal dan menerima layanan yang jauh dari kata memuaskan. 

Kenyamanan perjalanan kian dipertaruhkan karena keterlambatan berulang, pembatalan sepihak, dan minimnya kepastian jadwal -- kondisi ini sering dialami oleh hampir setiap pengguna jasa penerbangan saat ini tanpa adanya kompensasi dan tanggung jawab yang jelas atas kerugian konsumen.  Harga tiket yang tinggi ini tidak sebanding dengan kualitas layanan. 

Berdasarkan pengalaman pribadi, dalam satu bulan terakhir saja saya mengalami empat kali penundaan penerbangan secara sepihak oleh maskapai. Tidak ada kompensasi, tidak ada permintaan maaf yang memadai, dan risiko kerugian sepenuhnya dibebankan kepada konsumen.

Bahkan saya terpaksa mengeluarkan biaya lagi untuk membeli tiket baru dengan harga yang mahal. Kondisi serupa tentu banyak dialami pengguna jasa transportasi udara lainnya. 

Fenomena ini patut dicurigai sebagai indikasi adanya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat dalam industri penerbangan. 

Praktik monopoli dapat terjadi ketika satu atau beberapa maskapai memiliki kekuatan pasar yang besar sehingga mampu mengendalikan harga sekaligus kualitas layanan. 

Akibatnya, konsumen kehilangan alternatif pilihan dan terpaksa membayar harga yang tidak wajar. Tidak adanya persaingan juga menghambat inovasi dan perbaikan kualitas layanan, karena maskapai tidak memiliki tekanan untuk meningkatkan mutu produknya. 

Harga tiket yang mahal dan layanan yang buruk merupakan dua indikator kuat dari adanya potensi praktek monopoli. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sendiri pernah menemukan kasus dugaan monopoli dalam industri penerbangan di Indonesia, termasuk kasus Lion Air Group yang diduga melakukan pengaturan harga tiket. 

Temuan ini memperkuat kekhawatiran bahwa persaingan sehat memang belum berjalan sebagaimana mestinya. 

Dampak dari praktik monopoli ini tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga merembet pada perekonomian nasional. Harga tiket yang mahal membatasi mobilitas masyarakat, memperlambat arus barang dan jasa, serta merugikan sektor pariwisata. 

Padahal, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 secara jelas melarang pengaturan harga dan pembagian pasar yang merugikan konsumen. Lemahnya pengawasan serta minimnya transparansi harga membuat praktik semacam ini sulit dibuktikan di mata publik, tetapi bukan berarti ia tidak terjadi. 

Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, maka akan tercipta preseden buruk bagi perlindungan konsumen di Indonesia. Pemerintah, Kementerian Perhubungan, dan KPPU harus segera melakukan langkah tegas: investigasi menyeluruh terhadap struktur pasar, penegakan hukum bagi pelanggar, serta pembukaan ruang bagi pemain baru untuk menghidupkan kembali kompetisi harga dan kualitas.
 
Industri penerbangan adalah tulang punggung konektivitas Nusantara. Menjadikannya ajang mencari keuntungan berlebihan tanpa memikirkan kepentingan publik adalah bentuk pengkhianatan terhadap masyarakat dan perekonomian daerah. 

Sudah saatnya publik bersuara keras, menuntut perubahan, dan memastikan langit Indonesia terbuka untuk persaingan yang sehat demi harga yang wajar dan pelayanan yang layak. rmol news logo article

*Penulis adalah peneliti pada Pusat Riset Hukum-BRIN dan pengajar Hukum Persaingan Usaha dan Perlindungan Konsumen pada Program Pascasarjana Universitas Nasional Jakarta



Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA