Peringatan Harteknas

Negara Cukup Jahat Buat Anak-anak Cerdas

Oleh: Ahlan Zulfakhri

Minggu, 10 Agustus 2025, 01:50 WIB
Negara Cukup Jahat Buat Anak-anak Cerdas
Ilustrasi/Ist
BRAIN drain atau pelarian otak bukanlah fenomena baru bagi Indonesia. Namun, tren ini semakin mengkhawatirkan ketika melihat bagaimana negeri ini memperlakukan anak-anak cerdas bangsa. Seperti yang digambarkan dalam fenomena Hari Teknologi Nasional (Harteknas) yang hanya menjadi seremonial tanpa implementasi nyata, Indonesia seolah kehilangan kompas dalam mengelola talenta terbaiknya.

Pola yang Berulang

Cerita seorang lulusan teknik perkapalan yang harus berkelana dari Korea Selatan, Batam, hingga akhirnya bekerja untuk perusahaan Norwegia di China bukanlah kasus tunggal. Ribuan lulusan terbaik Indonesia mengalami nasib serupa–mencari pengakuan dan kesempatan berkembang di luar negeri karena sistem di tanah air tidak memberikan ruang yang memadai.

Pola ini telah berlangsung puluhan tahun. Dari era Habibie dengan pesawat N250 Gatotkaca yang dikubur, hingga Ricky Elson yang dicampakkan setelah memilih pulang ke Indonesia. Sejarah mencatat betapa konsistennya Indonesia dalam menyia-nyiakan talenta terbaiknya.

Brain drain Indonesia tidak hanya soal kehilangan individu-individu cerdas, tetapi juga kehilangan potensi inovasi dan kemajuan teknologi yang seharusnya bisa dikembangkan di dalam negeri. Ketika talenta-talenta terbaik memilih berkarya di luar negeri, Indonesia kehilangan:

Transfer knowledge yang seharusnya bisa terjadi di dalam negeri. Penelitian dan pengembangan yang seharusnya menguntungkan Indonesia. Mentoring untuk generasi muda yang seharusnya bisa dilakukan oleh para ahli berpengalaman. Network internasional yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kemajuan Indonesia.

Ironi Bonus Demografi

Menjelang 2045, Indonesia sering menyebut-nyebut bonus demografi sebagai modal menuju Indonesia Emas. Namun, bonus demografi akan menjadi bencana demografi jika tidak dikelola dengan baik. Bagaimana mungkin Indonesia bisa memanfaatkan bonus demografi ketika sistem pendidikan dan penelitiannya tidak mampu menghasilkan dan mempertahankan talenta berkualitas?

Lulusan-lulusan terbaik yang seharusnya menjadi pemimpin di usia 50-60 tahun pada 2045 kini tersebar di berbagai negara, mengabdi untuk kemajuan bangsa lain. Mereka yang dulunya bangga mewakili Indonesia di kompetisi internasional, kini menjadi aset berharga bagi negara-negara yang lebih menghargai kemampuan mereka.

Brain drain menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus. Ketika talenta terbaik pergi, kualitas institusi pendidikan dan penelitian di Indonesia menurun. Penurunan kualitas ini membuat lulusan-lulusan baru juga kurang kompetitif, atau jika kompetitif, mereka juga memilih pergi karena melihat senior-senior mereka tidak mendapat tempat yang layak di Indonesia.

Akibatnya, Indonesia terus tertinggal dalam inovasi dan pengembangan teknologi. Negara-negara lain yang menerima talenta Indonesia justru semakin maju, sementara Indonesia kehilangan daya saing.

Kebijakan yang Setengah Hati

Pemerintah memang pernah mencanangkan berbagai program untuk menarik kembali diaspora Indonesia atau mencegah brain drain. Namun, program-program ini sering kali bersifat temporer dan tidak menyentuh akar masalah. Birokrasi yang rumit, sistem merit yang tidak jalan, dan budaya senioritas yang masih kental membuat banyak talenta muda memilih mencari peluang di tempat lain.

Harteknas yang seharusnya menjadi momentum membangun ekosistem inovasi malah menjadi ajang pamer tanpa tindak lanjut. Program-program penelitian sering terhenti di tengah jalan karena pergantian kepemimpinan atau perubahan prioritas politik.

Sementara Indonesia kehilangan talenta terbaiknya, negara-negara lain menuai keuntungan besar. Korea Selatan, Singapura, Australia, Amerika Serikat, dan negara-negara Eropa dengan senang hati menerima lulusan-lulusan terbaik Indonesia. Mereka memberikan fasilitas penelitian yang memadai, jenjang karir yang jelas, dan penghargaan yang layak.

Ironi terbesar adalah ketika inovasi-inovasi yang diciptakan oleh putra-putri Indonesia di luar negeri kemudian "diimpor" kembali ke Indonesia dengan harga mahal. Indonesia menjadi konsumen teknologi yang diciptakan oleh anak bangsanya sendiri.

Jika tren ini terus berlanjut, Indonesia akan semakin tertinggal dalam persaingan global. Ketika negara-negara lain sudah memasuki era industri 4.0 dan society 5.0 dengan dukungan talenta-talenta terbaik mereka, Indonesia masih berkutat dengan masalah-masalah struktural yang tidak kunjung selesai.

Generasi muda Indonesia yang cerdas akan terus memandang ke luar negeri sebagai tempat untuk mengaktualisasikan diri. Mereka akan belajar dari pengalaman senior-senior mereka yang lebih dihargai di luar negeri daripada di tanah sendiri.

Harteknas: Simbolisme Tanpa Substansi

Harteknas yang diperingati setiap 10 Agustus seharusnya menjadi momentum refleksi dan evaluasi terhadap kemajuan teknologi Indonesia. Tanggal ini dipilih untuk mengenang penerbangan perdana pesawat N250 Gatotkaca karya Habibie pada 1995. Namun, ironi terbesar adalah bahwa pesawat yang menjadi simbol Harteknas itu sendiri berakhir tragis, dihentikan dan dilupakan.

Harteknas kini hanya menjadi ritual tahunan yang mengumpulkan anak-anak berprestasi untuk difoto bersama pejabat, tanpa ada program berkelanjutan yang benar-benar mengembangkan ekosistem inovasi. Para juara olimpiade sains, pemenang kompetisi robot internasional, dan mahasiswa berprestasi diundang untuk ceremonial, namun setelah itu mereka kembali menghadapi sistem yang sama, sistem yang tidak memberikan ruang untuk berkembang.

Harteknas menjadi cerminan sempurna dari bagaimana Indonesia memperlakukan anak-anak cerdas: dipamerkan sesaat untuk kepentingan citra, namun diabaikan dalam jangka panjang. Mereka yang pernah mengharumkan nama Indonesia di kompetisi internasional, seperti peraih peringkat 6 besar kompetisi robot kapal dunia di Virginia tahun 2011, akhirnya harus mencari tempat di luar negeri untuk mengaktualisasikan kemampuan mereka.

Brain drain Indonesia bukan hanya soal kehilangan individu, tetapi kehilangan masa depan bangsa. Selama Harteknas masih menjadi simbolisme kosong tanpa substansi, selama sistem tidak berubah, selama birokrasi masih rumit, dan selama penghargaan terhadap talenta masih rendah, Indonesia akan terus kehilangan anak-anak terbaiknya. Dan ketika saatnya tiba untuk memetik hasil bonus demografi di 2045, Indonesia mungkin akan menemukan bahwa talenta-talenta terbaiknya sudah menjadi aset negara lain, sementara Harteknas tetap menjadi peringatan kosong akan mimpi teknologi yang tak pernah terwujud. rmol news logo article

*Penulis adalah praktisi teknologi kemaritiman

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA