Keindahan bawah laut Raja Ampat menjadi magnet pariwisata. Jumlah wisatawan asing melonjak hampir sepuluh kali lipat dalam lima tahun terakhir, menyentuh angka 25 ribu kunjungan pada 2024. Kekayaannya pun mengalir deras--diketahui sektor pariwisata menyumbang sekitar Rp850 miliar per tahun, berimbas positif hingga ke sektor jasa lokal, kuliner, transportasi, dan kerajinan masyarakat sekitar.
Walau bagaimanapun, di balik semua keuntungan dan prospek ekonomi yang ditawarkan oleh aktivitas pertambangan nikel, ada bahaya yang menyelinap. Pulau-pulau kecil seperti Gag, Kawe, Manuran, dan Batang Pele kini menjadi lokasi operasi perusahaan tambang. Sengketa meletup dari akar rumput: warga lokal, aktivis, maupun akademisi menolak keras. Alasannya adalah bahwa eksploitasi nikel berpotensi menghancurkan ekosistem di darat dan laut, pada gilirannya akan mengganggu sektor ekonomi yang bergantung pada pariwisata dan perikanan.
Menyikapi pro-kontra tersebut, pemerintah akhirnya mencabut empat izin usaha pertambangan (IUP) nikel pada Juni 2025. Yang dibatalkan adalah izin PT Anugerah Surya Pratama, PT Mulia Raymond Perkasa, PT Kawei Sejahtera Mining, serta PT Nurham. Pencabutan ini dipicu penemuan pelanggaran lingkungan dan gelombang tekanan publik. Sekalipun satu IUP dibiarkan beroperasi--PT Gag Nikel, dengan argumen telah memenuhi standar pengelolaan limbah dan berada di luar kawasan Geopark Raja Ampat. Keputusan ini lantas disorot pasalnya dianggap diskriminatif dan bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Konstitusi, Yurisprudensi, dan Prinsip Perlindungan
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.35/PUU/XXI/2023 menjadi kesempatan untuk melindungi pulau kecil dari aktivitas tambang. Prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan keadilan antar generasi ((intergenerational justice) adalah dasar dari keputusan ini. Menurut MK, pulau kecil memiliki daya tampung lingkungan yang sangat terbatas, sehingga eksploitasi semacam tambang nikel potensinya merusak secara permanen, menghilangkan hak generasi mendatang untuk menikmati lingkungan yang sehat.
Selain itu, putusan Mahkamah Agung (MA) No.57 P/HUM/2022 pertambangan di pulau kecil dianggap sebagai "abnormally dangerous activity", sebuah kategori tindakan berbahaya yang efeknya sulit dipulihkan. Kedua putusan ini menjadi payung hukum pemerintah saat mencabut empat IUP di pulau-pulau kecil Raja Ampat. Menteri LHK (8/06/2025) menyatakan bahwa keputusan MK dan MA telah membentuk yurisprudensi nasional tentang larangan tambang di pesisir, dengan ancaman sanksi administratif dan pidana jika melanggarnya.
Dari perspektif hukum administrasi negara, penerbitan izin tambang di pulau-pulau kecil sempat melanggar UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil--pasal 23 jelas-jelas melarang aktivitas pertambangan mineral kecuali untuk “kepentingan nasional terbatas” dan dengan syarat lingkungan yang ketat. Kendati sejumlah perusahaan nekat menjalankan operasi tambang meski belum lengkap dokumen lingkungan seperti amdal, izin kawasan hutan, dan sesuai tata ruang. Padahal UU No.32/2009 dan UU No.41/1999 sudah mengatur sanksinya bila melanggar izin lingkungan atau kawasan hutan.
Biaya Ekologis dan Sosial
Abrasi hutan akibat tambang berawal saat pepohonan ditebang untuk membuka akses operasional. Hilangnya tutupan hutan memacu erosi tanah, mengganggu siklus air, dan memperbesar risiko longsor atau banjir. Air bersih jadi langka, flora dan fauna endemik kehilangan habitat, dan basis daya tarik pariwisata melemah.
Sementara itu, limbah tambang padat dan cair bocor ke sungai dan laut. Sedimentasi terjadi: lumpur menutupi karang, menghambat fotosintesis alga simbiosis, dan menyebabkan karang rapuh. Ditambah pencemaran logam berat seperti nikel dan kromium, yang resikonya toksik tinggi ke biota laut: ikan, udang, dan organisme kehidupan laut lain mati massal, atau migrasi menjauh.
Reaksinya, terumbu karang Raja Ampat yang selama ini jadi magnet wisata bahari tergerus. Biodiversitas turun drastis, lama-lama wisatawan asing pun kehilangan minat. Sektor pariwisata mengalami penurunan kunjungan, dan otomatis pendapatan masyarakat pun ikut merosot.
Nelayan setempat semakin sengsara. Hasil tangkapan menurun tajam lantaran ikan menjauh atau mati. Biaya operasional makin besar pasalnya kapal mesti melaut lebih jauh. Belum lagi ketidakpastian jangka panjang; soal pulau yang rusak hanya bisa diperbaiki perlahan, kalau pun bisa.
Konsekuensi sosialnya pun berat: potensi kemiskinan meningkat, migrasi lokal pun tak bisa dihindari, dan pola kehidupan masyarakat berubah. Mirisnya, dengan sedikit sekali jaminan kesejahteraan.
Tambang atau Ekowisata?
PT Gag Nikel tercatat memberikan kontribusi sekitar Rp2,15 triliun ke kas negara dari 2018 hingga 2024. Industri nikel sendiri memang diburu global tatkala jadi bahan baku baterai dan kendaraan listrik, komoditas strategis zaman sekarang.
Kendati setimpal, distribusi ke daerah tidak proporsional. Meskipun Dana Bagi Hasil (DBH) Minerba yang diberikan ke Kabupaten Raja Ampat pada tahun 2025 sebesar Rp63,65 miliar, jumlah total yang diberikan ke Papua Barat Daya adalah Rp157,78 miliar. Dana Bagi Hasil (DBH) Minerba ke Kabupaten Raja Ampat tahun 2025 hanya Rp63,65 miliar. Padahal alokasi total Papua Barat Daya Rp157,78 miliar. Itu berarti Raja Ampat hanya mendapat sekitar 40 persen dari alokasi regional, dan hanya 6,37 persen dari total DBH nasional terasa sangat timpang, apalagi mengingat resiko biaya kerusakan lingkungan yang ditanggung masyarakat lokal.
Dibanding tambang, ekowisata justru memberi manfaat yang lebih berkelanjutan. Pada 2024, sektor ini menyumbang sekitar Rp150 miliar ke Pendapatan Asli Daerah (PAD) Raja Ampat, dengan 30 ribu wisatawan, 70 persen di antaranya mancanegara. Nilai itu belum mencakup efek domino ke sektor lain: perhotelan, kuliner, transportasi, jasa pemandu, dan industri kreatif lokal. Ekowisata tidak hanya menghasilkan keuntungan finansial, selebihnya menjaga ekosistem, memperkaya budaya lokal, dan mempromosikan identitas masyarakat. Ini adalah nilai tambahan yang tak ternilai yang dihasilkan dari eksploitasi tambang.
Refleksi Penegakan Hukum
Sebagai penutup, penerbitan izin tambang nikel di pulau-pulau Raja Ampat sejatinya melanggar pasal 23 UU No. 1/2014, belum lagi dokumen lingkungan--Amdal, izin hutan, dan tata ruang yang kerap tidak lengkap. Secara administratif dan pidana, pelaku bisa berhadapan dengan pencabutan izin, denda, atau bahkan penjara (UU 32/2009; UU 41/1999).
Oleh karena itu, urgen bagi pemerintah baik pusat dan daerah untuk melakukan audit transparan dan menegakkan hukum tanpa kompromi. Hanya dengan pengawasan berkelanjutan dan penegakan sanksi yang konsisten, kedaulatan hukum dan kelestarian ekologis Raja Ampat dapat terjaga bagi generasi mendatang.
*Penulis adalah Pemerhati Sosial dan Kebijakan Publik
BERITA TERKAIT: