Sesat Pikir Neoliberalisme Konstitusional

Oleh: Muchamad Andi Sofiyan*

Selasa, 10 Juni 2025, 22:37 WIB
Sesat Pikir Neoliberalisme Konstitusional
Ilustrasi/Ist
INDONESIA kini berdiri di persimpangan jalan yang sangat menentukan. Sebuah negara dengan konstitusi yang lahir dari semangat kemerdekaan dan keadilan sosial, justru terjebak dalam dogma pasar bebas yang kaku dan membelenggu, terutama usai amandemen empat kali periode 1999-2002. 

Paradoks ini hanya bisa dipecahkan dengan satu cara: tafsir konstitusional yang progresif, bukan tafsir legalistik yang membenarkan neoliberalisme–yang merugikan rakyat.

UUD 1945 bukan sekadar teks hukum, melainkan ideologi hidup yang membimbing bangsa ini. Pasal 33 jelas menegaskan, bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Ini bukan kalimat kosong, tapi manifesto ekonomi kerakyatan yang harus ditegakkan.

Namun, praktik saat ini jauh melenceng. Mahkamah Konstitusi dan pembentuk UU sibuk dengan prosedur dan teks literal, tanpa melihat konteks sosial-politik dan keadilan substantif. Inilah yang melahirkan neoliberalisme konstitusional: doktrin pasar bebas yang dianggap suci, padahal menindas kedaulatan ekonomi bangsa.

Tafsir progresif melihat konstitusi sebagai dokumen hidup, harus dibaca dengan konteks sejarah, sosial, dan aspirasi rakyat. Misalnya, UU Bank Indonesia yang memisahkan otoritas moneter dari tanggung jawab pembangunan nasional harus dikaji ulang. UU Perdagangan, Penanaman Modal, Minerba yang mengedepankan pasar bebas dan asing pun wajib direvisi. Semua ini bertentangan dengan semangat Pasal 33 dan wajib menjadi prioritas revisi untuk membangun ekonomi berdaulat dan berkeadilan.

Daftar revisi prioritas meliputi: UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan revisinya, UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba, dan undang-undang lain yang mengukuhkan dominasi pasar bebas tanpa kontrol negara.

Mahkamah Konstitusi (MK) harus berani keluar dari jebakan formalitas dan legalisme sempit. Sikap MK yang menolak menguji materi berdasar “ideologi” hanya memperkuat neoliberalisme. Padahal konstitusi adalah perwujudan Pancasila dalam hukum dan harus diinterpretasi sebagai ideologi hidup, bukan teks hukum dingin.

MK harus jadi garda terdepan mengawal cita-cita kemerdekaan dan kedaulatan ekonomi, bukan notaris yang membenarkan kebijakan pasar bebas selama prosedur terpenuhi.

Negara tidak boleh terus jadi budak dogma pasar bebas yang hanya menguntungkan segelintir elite dan asing. Tafsir progresif adalah jalan agar konstitusi tidak kehilangan jiwa dan ideologi sosialnya. Undang-undang dan kebijakan ekonomi harus dikembalikan ke jalan yang benar–yang mengedepankan kedaulatan rakyat dan keadilan sosial sesuai amanat UUD 1945.

Tidak ada jalan lain kecuali berpihak pada konstitusi sebagai ideologi hidup bangsa dan merevisi aturan yang bertentangan dengannya. Kalau tidak, kita hanya akan terperangkap dalam lingkaran sesat pikir neoliberalisme konstitusional yang menghancurkan masa depan Indonesia. Kembali ke UUD 1945 naskah asli menjadi salah satu cara untuk meluruskan pemikiran bangsa dari dogma neoliberalisme. rmol news logo article


*Penulis adalah penggiat literasi dari Republikein StudieClub

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA