Berderet masalah terus menyeruak, tak hanya Parigi dan Wadas, sederet kasus lainya sedang berlangsung. Seperti kasus penolakan tambang semen Kendeng, Jawa Tengah, tambang emas di Sangihe, Sulawesi Utara, dan lain sebagainya.
Konflik di daerah tambang terus berulang, seperti fenomena gunung es, menyisakan masalah serius kemanusiaan hingga meregangnya nyawa, trauma mendalam atas kekerasan yang terjadi, serta perpecahan perikatan sosial masyarakat akibat adu domba.
Di balik berbagai peristiwa kejahatan kemanusiaan tak terperi itu, kita saksikan secara kolosal di depan mata bagaimana negara telah kalah di depan kuasa korporasi kapitalis. Datangnya perusahaan tambang di daerah-daerah bukan menjadi berkah, namun justru jadi petaka bagi masyarakat setempat.
Dalam kasus yang terjadi, perusahaan tambang itu seperti sebuah jaringan mafioso yang mengangkangi hukum yang berlaku di republik ini. Kasus Kendeng adalah contoh yang buruk dalam penegakkan hukum. Gugatan petani sedulur sikep di Kendeng sudah menang di Pengadilan, namun perusahaan tetap beroperasi. Padahal putusan pengadilan sudah final (inkracht).
Pulau Sangihe yang masuk kelompok pulau kecil dan tak boleh ditambang menurut peraturan perundang-undangan juga tetap diberikan izin oleh pemerintah pusat untuk beroperasi. Penolakan masyarakat dan pemerintah daerah yang sangat masif terhadap korporasi PT. TMS ternyata tetap tak membuat perusahaan menyurutkan usahanya.
Perusahaan tambang yang berasal dari Kanada itu sudah dua kali mencoba untuk memasukkan mesin-mesin tambang melalui pelabuhan. Masyarakat berhasil mengusirnya, namun sampai saat ini masih terus mencari saat masyarakat lengah dan terus berusaha mengusik ketenangan masyarakat.
Tak hanya masalah kemanusiaan, perusahaan tambang itu juga telah ciptakan kerusakan lingkungan dan bahkan bekas tambang yang menganga lebar tanpa reklamasi telah banyak merengut nyawa anak-anak di berbagai tempat.
Modus operandi perusahaan tambang selalu masuk gunakan cara mengadu domba antar warga. Sebagian warga yang menolak dihadapkan dengan warga yang menerima dengan iming-iming sejumlah kompensasi uang maupun janji-janji tertentu, seperti peluang pekerjaan baru di perusahaan tambang.
Dengan dalih telah mendapatkan izin dari pemerintah, perusahaan tambang lalu biasanya meminta kepada aparat keamanan untuk mengamankan kegiatan operasi. Mereka merangsek masuk dan menggilas warga yang menolak. Investasi yang ada dijaga ketat aparat keamanan karena dianggap sebagai instalasi penting negara.
Berbagai riset menunjukkan, masyarakat di daerah tambang itu selalu menunjukkan kehidupan yang lebih buruk dari sebelumnya, baik ditinjau dari kualitas hidup maupun lingkunganya. Mereka tidak memberikan keuntungan jangka panjang apapun buat masyarakat sekitar kecuali kenikmatan sesaat ketika terima uang ganti rugi. Apalagi di daerah yang sulit dijangkau semacam Freeport di Papua, masyarakat di daerah itu jangankan keuntungan, akses informasi saja tidak punya.
Perusahaan tambang dimana-mana orientasinya adalah untuk mengejar keuntungan bagi segelintir orang pemilik perusahaan semata. Pemilik saham perusahaan bahkan mungkin tak pernah menginjakkan kakinya di daerah tambang tersebut.
Konspirasi global
Jika kita pahami lebih dalam, kasus di daerah tambang yang terjadi di negara-negara miskin dan berkembang sebetulnya adalah ekses dari sebuah konspirasi besar elite kapitalis dan negara imperialis.
Elit kapitalis dan negara imperialis melalui berbagai organisasi multilateral seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB), World Trade Organization (WTO) dan lain-lain itu masuk merangsek ingin kuasai terus ekonomi negara miskin dan berkembang. Mereka menjebak negara miskin dan berkembang melalui skema ketergantungan terhadap utang, investasi di sektor komoditi ekstraktif seperti tambang dan perkebunan monokultur dan importasi untuk konsumsi.
Utang dari lembaga lembaga multilateral maupun utang bilateral dari negara negara maju itu masuk dan dieskalasi di saat terjadi krisis ekonomi konjungtural maupun insidental. Sebut misalnya krisis ekonomi tahun 1997 lalu krisis tahun 2008 dan krisis ekonomi akibat pandemi saat ini.
Melalui "utang haram" yang penggunaannya dikomitmenkan untuk bangun proyek infrastruktur itu, negara-negara maju tak hanya mendapatkan keuntungan dari bunga, kepentingan lebih besar mereka adalah untuk jebak negara miskin dan berkembang seperti Indonesia agar kondisi fiskalnya menjadi bergantung pada utang.
Seperti Indonesia saat ini, utang yang meningkat secara agresif di masa pemerintahan Jokowi telah membuat ruang fiskal negara menjadi sangat bergantung dari utang.
Utang haram yang ada itu dikomitmenkan untuk bangun infrastruktur fisik seperti jalan raya, waduk, listrik, bandara, pelabuhan dan lain lain. Infrastruktur yang ada itu sebetulnya untuk dijadikan sebagai daya dukung bagi kepentingan investasi asing di komoditi ekstraktif tambang dan perkebunan monokultur semacam sawit dengan memberikan beban berat secara fiskal kepada negara.
Selain itu, mereka butuh daya dukung infrastruktur regulasi, seperti misalnya bentuk UU Cipta Kerja yang dibentuk secara inkonstitusional dan isinya sesungguhnya hanya untuk perlancar kepentingan investasi konglomerat dan investasi asing itu.
Mereka, sebetulnya juga telah secara sistematik lemahkan berbagai regulasi ekonomi yang ada. Misalnya, kita adalah pemilik UU terliberal di dunia untuk sektor perbankkan. Kepemilikan asing dibiarkan kepemilikannya hingga 99 persen sejak krisis ekonomi 1997.
Sebagaimana kita tahu, dalam ekonomi, sektor keuangan itu ibarat tubuh adalah darah. Kita bebaskan negara lain kuasai darah dalam tubuh kita. Sebut misalnya BRI, Bank yang katanya milik negara ini saja, 70 persen lebih saham publiknya telah dikuasai asing.
Sektor perbankkan kita bukan lagi berfungsi sebagai lembaga intermediasi apalagi sebagai agen pembangunan, namun justru jadi lembaga eksploitatif yang sedot keuntungan sektor riil yang jadi urat nadi ekonomi kita. Mereka juga terus mengeruk keuntungan dari kebijakan moneter bank sentral kita yang selalu pertahankan suku bunga tinggi.
Bank-bank yang dikuasai asing itulah yang secara taktis bekerja mendukung pembangunan infrastruktur fisik demi investasi di sektor komoditi ekstraktif semacam tambang dan perkebunan monokultur.
Tak cukup disitu, mereka juga mengeruk keuntungan kembali dengan kendalikan harga harga komoditi ekstraktif tersebut di pasaran internasional secara oligopolistik. Sehingga nilai tambahnya tak banyak yang kita terima.
Perusahaan tambang dan perkebunan monokultur itu juga sebabkan penyerobotan tanah dimana-mana. Sehingga petani kita saat ini 74 persennya hanya jadi buruh tani. Sisanya adalah petani gurem yang hanya kuasai lahan per kapita sebesar 0.33 ha.
Narasi Tanding
Kasus konflik di daerah tambang dan perkebunan monokultur itu sesungguhnya adalah bagian dari problem simtomik yang merupakan bagian dari ekses jalin kelindan konspirasi besar mafia elit kapitalis dan negara imperialis yang terus ingin keruk dan kuasai ekonomi kita. Namun masalah ini tak hanya cukup kita lawan hanya dengan penolakkan, tapi dengan ciptakan narasi tandingnya.
Kita pahami kebutuhan akan barang tambang memang sebuah keniscayaan bagi negara manapun. Sebut misalnya kebutuhan dasar seperti urugan, batu, pasir dan mineral logam, minyak dan lain lain. Hal ini tak dapat dipungkiri dan hidup tanpa tambang sama sekali itu hanya utopia.
Tapi masalahnya, bagaimana sebaiknya pertambangan itu dikerjakan secara bijak adalah hal yang penting. Termasuk untuk menangani masalah yang selalu muncul baik itu konflik dan masalah residu sosial ekonomi dan kerusakan lingkungan yang terjadi.
Tata kelola kelembagaan perusahaan tambang juga harus dikelola secara demokratis dengan kendali penuh oleh masyarakat bukan diserahkan kepada perusahaan yang semata mengejar keuntungan. Semua dilakukan agar ekonomi itu tetap mampu hadirkan keadilan.
*Penulis adalah Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)
(Tulisan ini direproduksi dari Buku antologi "Koperasi Lawan Tanding Kapitalisme", Suroto, Mata Kata Inpirasi, Yogayakarta, 2023)
BERITA TERKAIT: