Climate Action Tacker (CAT) mencatat, sampai 28 Februari lalu, hanya 18 negara yang telah mengumumkan kontribusi nasional atau nationally determined contribution (NDC) mereka--sebuah skema untuk menahan laju pemanasan global agar tidak meloncat di atas 1,5 derajat celcius dibandingkan era pra-revolusi industri. Inilah panduan yang tercetus satu dekade silam lewat Perjanjian Paris.
Negara asal muasal revolusi industri, yakni Inggris, terdepan dengan target mengurangi emisi karbon hingga 81 persen tahun 2035. Ini melonjak signifikan dibandingkan NDC sebelumnya (tahun 2030) yang sebesar 68 persen.
NDC adalah tekad, ambisi sekaligus cita-cita atau tujuan sebuah negara untuk menahan laju pemanasan global. Dalam NDC terkandung rute sebuah bangsa untuk membantu bumi agar tidak lebih panas lagi dan tetap layak dihuni oleh manusia. Di dalamnya juga termuat jalan sebuah pemerintahan untuk bertransisi dan bermigrasi atau sepenuhnya pindah dari energi kotor berbasis fosil ke energi bersih yang terbarukan.
Februari adalah tenggat akhir, tapi baru 18 negara yang telah menyerahkan NDC jilid ketiga. Masih ada 175 negara lagi, termasuk Cina dan negeri kita yang saat ini dinakhodai Prabowo, yang belum menyetor.
Cina sejauh ini merupakan kontributor terbesar emisi karbon global. Tahun ini emisi karbon bakal mencapai puncaknya di negeri Xi Jinping itu. Seterusnya, Cina menjanjikan pengurangan konsumsi batu bara mulai tahun 2026 serta menggeber kapasitas listrik dari energi surya dan energi angin hingga 1,2 miliar kilowatt.
Di luar sukses Cina mendulang energi surya sebesar 228 gigawatt (lebih besar dari gabungan seluruh negara) plus energi angin sebesar 310 gigawatt, catatan kritis layak dikemukakan. Benarkah ini menjelaskan komitmen iklim Cina? Atau kamuflase di atas eksploitasi terhadap batu bara? Ingat, sejauh ini Cina tetap rakus energi fosil itu, kejar-kejaran dengan India. Dan di luar penetrasi energi surya yang mencengangkan, 70 persen listrik Cina dipasok oleh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang melahap batu bara.
Kepada Cina atau kepada negara mana pun, kita sebaiknya tidak terpukau dengan data-data besar atau bahkan raksasa. Namun, tetap ada yang harus disyukuri dari negeri dengan populasi terbesar di planet bumi ini, yakni komitmen Cina melanjutkan Perjanjian Paris 2015. Itu kontras dengan Amerika Serikat di bawah Donald Trump yang untuk kali kedua keluar gelanggang dari Perjanjian Paris. Karena itu dunia tengah menunggu target NDC 2035 dari Cina. Seambisius apa Xi Jinping dalam membawa negerinya memimpin aksi iklim global.
Dalam target NDC keduanya, Cina bertekad memangkas emisi karbon antara 60-65 persen di tahun 2030. Ini angka yang serupa dengan NDC 2035 Amerika Serikat di bawah Joe Biden, tapi segera ditorpedo oleh Trump yang memenangkan Pemilihan Presiden AS tahun 2024. Trump menilai perubahan iklim sebagai tipuan. Alhasil ia teperdaya untuk mengeruk atau menggali energi fosil yang tersimpan di perut bumi Amerika hingga tandas. "Drill baby, drill," cetus Trump mengobarkan langkah konservatif dan urakan, kembali mengeksploitasi energi fosil.
Bagaimana dengan Indonesia yang kini dipiloti Prabowo Subianto?
Target NDC 2035 Indonesia telah berada di meja Presiden Prabowo dan menunggu persetujuan presiden hasil Pemilu 2024 itu. Begitu kata Kementerian Lingkungan Hidup, sebagaimana dilaporkan Antara, 13 Februari 2025.
Tapi kira-kira seperti apa politik hijau yang menyelimuti pikiran dan hati Prabowo Subianto? Mari menelusurinya lewat dokumen Visi, Misi dan Program Prabowo-Gibran 2024-2029. Paper trail ini adalah jalan cepat untuk meneropong komitmen iklim duet militer dan sipil itu.
Kesadaran atau pernyataan bahwa perubahan iklim bukan fiksi, tercantum dalam dokumen tadi. Bahkan perubahan iklim, atau krisis iklim, dimasukkan sebagai tantangan strategis buat bangsa kita. Ditorehkan data bahwa September 2023 sebagai September yang terpanas dalam catatan sejarah bumi. Lebih jauh dari itu, di tahun 2024, suhu bumi naik rata-rata 1,5 derajat celcius di atas saat pra-revolusi industri.
“Perubahan iklim bisa menyebabkan kekeringan dan hujan ekstrem yang menurunkan produksi pangan, meningkatkan kerawanan pangan, meningkatkan harga pangan, serta mengancam keselamatan jiwa,” tulis Prabowo-Gibran dalam dokumen tadi. Ini pengingat bahwa Prabowo-Gibran tidak antisains seperti Donald Trump.
Lebih lanjut, dokumen menyebut potensi energi baru dan terbarukan (EBT) Indonesia yang menembus 437 gigawatt. Ini pernyataan indah, setidak di atas kertas, karena dari potensi sebesar itu, yang termanfaatkan cuma 0,3 persennya hingga akhir kekuasaan Joko Widodo. Sebuah kenyataan yang muram dan menjelaskan jalan bermigrasi ke energi bersih itu amat terjal.
Salah satu Asta Cita Prabowo-Gibran, yakni butir kedua, menyatakan tekad “memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru.”
Bagaimana swasembada energi akan dilakukan?
Sekali lagi mari tengok dan cermati dokumen presiden dan wapres. Poin 44 menyatakan akan mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil sekaligus menjadikan Indonesia sebagai raja energi hijau dunia (super power) dalam bidang energi baru dan terbarukan (renewables) dan energi berbasis bahan baku nabati (bioenergy).
Poin 45, dengan mengembalikan tata kelola migas dan pertambangan nasional sesuai amanat Konstitusi, terutama Pasal 33 UUD 1945.
Poin 46, dengan memperbaiki skema insentif untuk mendorong aktivitas temuan cadangan sumber energi baru untuk meningkatkan ketahanan dan kedaulatan energi nasional.
Lalu poin 47 menyebut tentang revisi semua tata aturan yang menghambat untuk meningkatkan investasi baru di sektor energi baru dan terbarukan (EBT).
Poin 60, terkait langsung dengan topik yang saya sorot. Dalam dokumen, tegas-tegas disebut “akselerasi rencana dekarbonisasi untuk mencapai target net zero emission.”
Kata kunci akselerasi dari Prabowo-Gibran di atas berarti target NDC 2035 mustinya lebih tinggi atau lebih ambisius dibandingkan target NDC sebelumnya. Dalam target NDC 2030, negeri kita mematok pemotongan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen dengan ikhtiar mandiri, dan 41 persen dengan sokongan luar negeri.
Target ini lalu diperbarui di tahun 2022, dengan plot 31,89 persen dengan usaha sendiri serta 43,20 persen dengan bantuan internasional. Plot target pemotongan emisi karbon Indonesia terbilang moderat, kalau bukan tidak ambisius. Pemerintahan Joko Widodo, pendahulu Prabowo, juga menargetkan nol emisi baru di tahun 2060--alias sepuluh tahun lebih lambat dibandingkan banyak negara yang memasang target nol emisi di tahun 2050.
Mencermati dokumen visi, misi dan program Prabowo-Gibran, nyaris tak ada yang ambisius menyangkut transisi ke energi bersih. Swasembada energi diletakkan dalam kerangka ketahanan energi nasional atau domestik, dan tidak diletakkan dalam upaya bahu-membahu menjawab krisis iklim. Padahal, sekalipun industrialisasi yang tamak energi fosil belum mencapai puncaknya di negeri khatulistiwa ini, Indonesia nangkring di sepuluh besar negara penyumbang emisi karbon terbesar dunia.
Ini seharusnya menggoda atau bahkan menghasut pemerintahan Prabowo untuk lebih serius merespons krisis iklim. Itulah call tertinggi, sebuah panggilan yang sangat ditentukan oleh arah angin geopolitik serta komitmen para pembantu presiden di Kabinet Merah Putih.
Akhir Januari lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia menyatakan, Indonesia dalam posisi dilematis untuk mengikuti genderang Perjanjian Paris 2015. "Engkau (AS) yang memulai, engkau (AS) juga yang mengakhiri," ucap Bahlil (Antara, 30 Januari 2025). Ini dikatakan Bahlil sepuluh hari selepas pidato Trump saat dilantik menjadi presiden AS periode kedua. AS bagaimana pun adalah negara berpengaruh, tapi seharusnya tidak menjadi faktor determinan yang mengubah komitmen iklim global.
Bahlil bahkan cemas, karena menurutnya, "baseline yang kita punya tidak sebaik mereka, negara-negara G7 tersebut." Kecemasan yang beralasan, tapi tak pantas merontokkan nyali Indonesia untuk tersungkur dan menyerah dalam perlombaan berpindah secara lebih signifikan ke energi terbarukan.
Dalam skenario target NDC 2035, Inggris telah memberi contoh baik. Juga masih ada Cina yang kokoh mengikatkan diri pada Perjanjian Paris 2015. Prabowo Subianto sudah sepantasnya mengarahkan biduk Indonesia ke fase pemangkasan emisi karbon lebih tinggi dibandingkan yang sudah-sudah.
Di dalam dokumen visi, misi dan programnya, Prabowo menyebut produk domestik bruto (PDB) tahun 2022 yang menembus US$1,4 triliun serta pertumbuhan ekonomi di masa Jokowi yang sebesar 5 persen sebagai acuan. Apakah data-data ini ditambah target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen, akan membelenggu Prabowo sehingga tidak pro-iklim? Terlebih dalam dokumen tadi, Prabowo menegaskan akan mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil sekaligus menjadikan Indonesia sebagai raja energi hijau dunia (super power). Saya kira ini semacam harapan dan tekad, bukan bualan di siang bolong.
*Mantan Produser Eksekutif di Beritasatu TV.
BERITA TERKAIT: