Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pengkhianatan yang Terulang

Oleh: Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla*

Senin, 17 Februari 2025, 22:51 WIB
Pengkhianatan yang Terulang
Ilustrasi/Ist
SEJARAH adalah saksi bisu atas perjalanan sebuah bangsa. Palestina, negeri yang sejak dahulu dikenal dengan keramahan dan ketulusan warganya, pernah menjadi satu-satunya tempat yang mau menerima kaum Yahudi yang terusir dari Eropa. Namun, siapa sangka, mereka yang dulu datang dengan keadaan hina dan memohon perlindungan, kini berubah menjadi penjajah yang mengusir, menindas, dan membantai rakyat yang pernah menolong mereka.

Sejak awal abad ke-20, ketegangan di Eropa semakin memuncak terhadap kaum Yahudi. Mereka dianggap sebagai sumber masalah ekonomi, politik, dan sosial. Hitler, dalam propaganda Nazi-nya, bahkan menyebut mereka sebagai “race-tuberculosis of the peoples”, yakni ras yang menjadi penyakit bagi peradaban manusia. Kampanye antisemitisme ini mencapai puncaknya ketika Nazi mulai melakukan pengusiran besar-besaran.

Dalam kondisi putus asa, kaum Yahudi mencari perlindungan ke berbagai negara. Sayangnya, hampir seluruh negara di Eropa menolak kehadiran mereka. Bahkan, pada Konferensi Evian tahun 1938, yang dihadiri oleh 32 negara, tak satu pun yang bersedia menampung mereka.

Di saat dunia menutup pintu bagi mereka, Palestina—yang saat itu berada di bawah kendali pemerintahan Islam—dengan penuh belas kasih menerima mereka. Masyarakat Muslim Palestina membuka rumah-rumah mereka, memberikan tempat berlindung, serta memperlakukan mereka dengan penuh kemanusiaan. Mereka tidak melihat perbedaan agama atau latar belakang, melainkan melihat kaum Yahudi sebagai manusia yang membutuhkan pertolongan.

Seiring waktu, jumlah kaum Yahudi yang bermigrasi ke Palestina semakin bertambah. Antara tahun 1940 hingga 1947, gelombang besar pengungsi Yahudi masuk ke wilayah Palestina. Namun, ada yang berubah. Mereka yang awalnya datang sebagai tamu yang membutuhkan perlindungan, mulai menunjukkan ambisi tersembunyi mereka.

Dukungan dari kelompok Zionis internasional semakin memperkuat mereka. Senjata mulai diselundupkan, kelompok paramiliter seperti Haganah, Irgun dan Stern Gang mulai terbentuk. Perlahan, mereka mulai merongrong kedaulatan Palestina, membangun pemukiman secara ilegal, dan menciptakan ketegangan di wilayah yang dulu menyelamatkan mereka dari kehancuran.

Pengkhianatan Dimulai 


Bermula Hitler ingin memusnahkan kaum Yahudi dari permukaan bumi, tetapi ia menyisakan sebagian agar kelak dunia mengerti mengapa ia membinasakan mereka. Kata Hitler, “I Would have killed all the Jews of the world, but i kept some to show the world why I killed them”. (Aku akan membunuh seluruh orang Yahudi di muka bumi, tetapi aku menyisakan sebagian untuk menunjukkan mengapa aku membunuh mereka).

Pada 14 Mei 1948, tanpa rasa terima kasih kepada bangsa yang menolong mereka, kaum Yahudi secara sepihak memproklamasikan berdirinya negara Israel di tanah Palestina. Dengan dukungan penuh dari Inggris dan Amerika Serikat, mereka mengklaim wilayah yang bahkan setahun sebelumnya masih menjadi tempat perlindungan mereka.

Hari itu menjadi awal dari penderitaan panjang bagi rakyat Palestina. Kaum Yahudi, yang dulu datang dalam keadaan lemah dan terusir, kini berubah menjadi agresor yang kejam. Dalam peristiwa yang dikenal sebagai Nakba (malapetaka), lebih dari 750.000 rakyat Palestina diusir dari tanah mereka. Kota-kota Palestina dibakar, desa-desa dihancurkan, dan ribuan rakyat sipil dibantai dalam berbagai peristiwa pembantaian massal seperti:

Pada 9 April 1948, Pembantaian di Deir Yassin, di mana lebih dari 250 warga sipil, termasuk wanita dan anak-anak, dibunuh oleh kelompok paramiliter Yahudi.

Pada 22 Juli 1948, Pembantaian di Lydda dan Ramle, yang menyebabkan lebih dari 70.000 warga Palestina diusir dari rumah mereka.

Pada 28 Oktober 1948, Pembantaian di Al-Dawayima, di mana lebih dari 500 orang dibantai dalam satu hari.

Penindasan yang Tak Berkesudahan

Sejak saat itu, penderitaan Palestina terus berlanjut. Wilayah mereka semakin menyusut, hak-hak mereka semakin dirampas. Sejumlah perang terjadi antara Israel dan negara-negara Arab, namun Israel dengan dukungan penuh dari negara-negara Barat terus memperluas wilayahnya.

Pada 1967, dalam Perang Enam Hari, Israel merebut Yerusalem Timur, Tepi Barat, Jalur Gaza, Dataran Tinggi Golan, dan Sinai. Rakyat Palestina semakin kehilangan tanah mereka, sementara dunia internasional hanya bisa menyaksikan tanpa tindakan nyata.

Hari ini, di tahun 2025, kejahatan yang dilakukan Israel terhadap Palestina masih berlangsung. Pemboman di Gaza, pencaplokan tanah di Tepi Barat, hingga pembunuhan warga sipil terus terjadi. Bahkan, mereka tak segan menutupi sejarah kelam mereka dengan propaganda dan manipulasi media.

Pelajaran Bagi Dunia

Firman Allah dalam Al-Qur’an telah memperingatkan bagaimana kaum yang suka berkhianat ini telah ada sejak dahulu kala :

“Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: ‘Jadilah kamu kera yang hina’.” (QS. Al-Baqarah: 65)

Sejarah telah menunjukkan bahwa mereka yang dahulu diusir dari Eropa justru mengkhianati bangsa yang menolong mereka. Mereka memutarbalikkan fakta, menguasai media, dan menyebarkan kebohongan untuk menutupi kejahatan mereka.

Namun, satu hal yang pasti, kezaliman tidak akan bertahan selamanya. Islam tidak membutuhkan sosok seperti Hitler untuk membalas pengkhianatan ini, karena Islam mengajarkan keadilan, bahkan dalam peperangan. Tetapi, dunia harus membuka matanya. Palestina adalah pelajaran besar bagi umat manusia—bahwa kebaikan bisa dikhianati, dan bahwa kebenaran harus terus diperjuangkan.

Kini, saat dunia masih diam menyaksikan penderitaan Palestina, kita harus bertanya: sampai kapan kita membiarkan kejahatan ini berlangsung? rmol news logo article

*Penulis adalah Ketua Presidium Pejuang Bela Negara

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA