Lalu pertanyaannya, berapakah jumlah total penerimaan negara dari bea cukai selama ini dan kemana dana tersebut disimpan atau dialokasikan dan dialirkan? Lebih khusus lagi tentu pengenaan cukai melalui pita rokok per-bungkus yang ditempel pada merek sebuah rokok.
Apalagi, Indonesia merupakan negara dengan persentase penduduk terbesar sebagai perokok aktif di dunia yaitu 82,3 persen pria dan wanita. Berdasarkan laporan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) yang lebih mencengangkan lagi, jumlah perokok ini mencakup usia 10-19 tahun.
Yang mana, kelompok perokok aktif terbesar didominasi oleh anak-anak kategori memasuki jenjang sekolah dasar dan menengah (SD-SLTA) dengan jumlah perokok usia 10-14 tahun sebesar 18,4 persen atau mendekati 20 persen. Yang lebih tak masuk akal, justru sekitar 80 persen perokok aktif dunia hidup di negara berpenghasilan rendah dan menengah dan 226 juta di antaranya adalah kelompok masyarakat miskin.
Lalu, berapa sebenarnya penerimaan negara dari hasil pungutan cukai rokok ini dan seperti apa pola penyetorannya, langsung ataukah tidak langsung?
Ternyata yang masuk ke negara tidak sampai seperempat apalagi separuhnya atau 50 persen. Disaat pertumbuhan jenis rokok dan industri rokok semakin meluas dikala hadirnya rokok elektrik yang justru lebih membahayakan kesehatan. Adakah sumbangan para produsen rokok ini untuk pembangunan sektor kesehatan negara?
Sementara, pemerintah hanya menetapkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 10 persen dan cukai rokok elektrik sebesar 15 persen saja. Atas kebijakan CHT ini, dana cukai rokok yang menjadi penyumbang terbesar bagi penerimaan negara menurut Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Ditjen Bea Cukai Kemenkeu, Juli 2024) hanya tercatat sejumlah Rp111,3 triliun, atau tumbuh 0,1 persen secara tahunan (year on year/yoy). Tidakkah jumlah ini terlalu kecil dibanding pendapatan dan laba para produsen rokok?
Kenyataannya, Ketua Gaprindo (Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia)Benny Wachjudi beserta anggotanya telah banyak diuntungkan oleh kebijakan cukai rokok yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96 Tahun 2024. Selain itu, meskipun terdapat kenaikan tarif cukai pada hasil tembakau berupa sigaret, cerutu, rokok daun atau klobot, dan tembakau iris sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 97 Tahun 2024 tetap tidak signifikan bagi penerimaan negara. Apalagi, terdapat pengenaan tarif cukai dan pajak atas rokok yang beragam atau tidak sama dan seragam.
Artinya, dari jumlah perokok aktif lebih dari 70 juta orang, para produsen rokok menikmati pendapatan lebih dari Rp800 triliun. Jumlah penerimaan cukai sebesar itu jelas proporsi yang tidak adil atas penerimaan negara dibanding berbagai fasilitas yang telah diberikan pemerintah kepada Gaprindo.
Apa peran dan kontribusi para anggota Gaprindo selama ini terhadap pendapatan yang lebih besar dibanding hasil penerimaan bea cukai negara? Juga, seberapa besar porsi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan/TJSL (
Corporate Social Responsibility/CSR) yang telah dikeluarkan dari yang diwajibkan UU?
Seandainya cukai rokok ditetapkan oleh pemerintah sebesar 50 persen sekalipun para pengusaha rokok masih memperoleh pendapatan lebih dari Rp400 triliun dan program prioritas Makan Bergizi Gratis (MBG) Presiden Prabowo Subianto. Program MBG tidak hanya dibebankan pada pengurangan atau efisiensi APBN kementerian/lembaga negara dan BUMN saja melainkan juga "sumbangan" Gaprindo. Pilihan kebijakan menaikkan cukai rokok ini adalah salah satu cara efektif dalam menyelesaikan kendala anggaran program prioritas MBG. Atau tidak membutuhkan efisiensi APBN secara berlebihan yang justru kontraproduktif untuk mencapai pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari 5 persen.
Pertanyaan publik tentu saja adalah soal transparansi dan akuntabilitas penerimaan cukai tersebut selama ini, kemana dana itu disimpan atau mengalirnya? Oleh karena itu, perlu menuntut otoritas berwenang Ditjen Bea dan Cukai terbuka memberikan penjelasan terkait pengelolaan pungutan cukai rokok ini. Bila perlu, pihak aparat penegak hukum juga memeriksa Dirjen Pajak, Dirjen Bea Cukai dan Dirjen lainnya di Kemenkeu tidak hanya Dirjen Anggaran. Jadi, perlu tindakan berkeadilan terkait kasus di jajaran Kemenkeu agar tidak muncul kegaduhan lainnya Pak Presiden Prabowo Subianto!
*Ekonom Konstitusi
BERITA TERKAIT: