Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia sejak 2024, Bahlil Lahadalia, yang menginisiasi kebijakan ini tampaknya tidak selaras dengan janji ekonomi kerakyatan Prabowo. Prabowo selama kampanye menyatakan akan menjaga stabilitas ekonomi rakyat kecil, tetapi kebijakan ini justru memperberat beban mereka. Jika kebijakan ini terus berjalan, wajar jika muncul kekecewaan publik terhadap pemerintahan yang baru, yang pada akhirnya bisa merusak citra Prabowo sejak awal menjabat.
Jika alasan utama pelarangan warung-warung kecil menjual gas 3 kg adalah agar subsidi tepat sasaran, maka pemerintah seharusnya lebih dulu memperbaiki sistem distribusi di level atas. Selama ini, mafia energi yang menyelewengkan gas alam dan sumber daya negara dengan keuntungan besar tetap beroperasi dengan leluasa. Sementara rakyat kecil yang hanya menjual gas dalam jumlah terbatas untuk menyambung hidup justru dipersulit. Ini menunjukkan standar ganda dalam penegakan kebijakan subsidi.
Pelarangan ini bukan hanya berdampak pada sulitnya akses masyarakat terhadap gas 3 kg, tetapi juga merugikan ekonomi kecil. Warung-warung kecil yang menjual gas elpiji selama ini memiliki perputaran ekonomi yang mendukung kehidupan banyak keluarga. Jika mereka dilarang berjualan, bukan hanya masyarakat yang dirugikan, tetapi juga pemilik warung yang kehilangan sumber pendapatan mereka. Rencana kebijakan ini harus segera dievaluasi karena lebih banyak mudarat daripada manfaatnya. Jika benar pemerintah ingin merapikan distribusi gas subsidi agar tepat sasaran, maka langkah pertama yang harus diambil adalah menindak mafia distribusi gas di level atas, bukan justru menekan rakyat kecil. Jika kebijakan ini terus dipaksakan, bukan hanya akan menyulitkan ekonomi rakyat, tetapi juga berpotensi memicu instabilitas politik yang merugikan pemerintahan Prabowo sendiri.
Mafia Migas Indonesia Periode 2020Sejak tahun 2020, kerugian negara akibat praktek mafia migas masih menjadi masalah serius, pada tahun 2023, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap kasus korupsi pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) di PT Pertamina (Persero) yang menyebabkan kerugian negara sekitar Rp2,1 triliun. Kasus ini melibatkan mantan Direktur Utama PT Pertamina periode 2011-2014, yang mengambil keputusan tanpa persetujuan pemerintah, mengakibatkan kelebihan pasokan LNG yang harus dijual dengan harga lebih rendah di pasar internasional. (Sumber: KPK.go.id)
Sebelumnya, pada tahun 2014, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa kerugian negara akibat mafia migas mencapai Rp1 triliun per bulan, atau sekitar Rp12 triliun per tahun. Mafia migas ini diduga mengambil keuntungan besar dan menghambat pembangunan kilang minyak di Indonesia selama lebih dari tiga dekade. (Sumber: Tempo.co)
Meskipun data spesifik untuk periode 2020 hingga 2025 terbatas, kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa praktek mafia migas terus menimbulkan kerugian signifikan bagi negara. Oleh karena itu, upaya pemberantasan mafia migas harus menjadi prioritas untuk mencegah kerugian lebih lanjut dan memastikan distribusi energi yang adil bagi masyarakat, bukan malah mempersulit rakyat dalam mendapatkan gas subsidi 3 kg dengan kebijakan pembatasan penjualan eceran gas di warung-warung yang mudah diakses warga.
Kelangkaan Gas Elpiji 3 Kg Bukan Karena Cadangan Gas Alam yang MenipisBerdasarkan data terbaru, Indonesia memiliki cadangan gas alam terbukti sebesar 54,83 triliun kaki kubik (TSCF), dengan proyek strategis seperti Gendalo-Gehem dan Indonesia Deepwater Development (IDD) yang diperkirakan akan meningkatkan produksi gas nasional hingga 9.786,7 MMSCFD pada tahun 2025-2027. Dengan cadangan sebesar ini, Indonesia tidak mengalami krisis gas alam yang berpotensi menyebabkan kelangkaan gas elpiji 3 kg. (Sumber: ESDM.Go.Id, dll)
Namun, kelangkaan yang terjadi di akhir Januari 2025 lebih disebabkan oleh perubahan kebijakan distribusi subsidi yang menghilangkan peran warung-warung kecil sebagai pengecer. Kebijakan ini mengharuskan masyarakat membeli gas di agen resmi, menyebabkan antrean panjang dan pasokan yang tidak merata.
Selain itu, praktik mafia migas juga berkontribusi terhadap gangguan pasokan. Kerugian negara akibat mafia migas mencapai Rp2,1 triliun dalam kasus LNG Pertamina, serta dugaan penyelewengan distribusi gas subsidi yang sudah terjadi bertahun-tahun. Alih-alih memberantas mafia di tingkat atas, pemerintah justru memperketat akses bagi masyarakat kecil, sehingga kesulitan memperoleh gas elpiji 3 kg.
Kelangkaan gas elpiji 3 kg yang terjadi bukan disebabkan oleh berkurangnya cadangan gas alam Indonesia, melainkan akibat kebijakan distribusi yang tidak berpihak pada rakyat kecil serta masih maraknya praktik mafia migas. Jika pemerintah ingin memastikan ketersediaan gas bagi masyarakat, solusinya bukan melarang warung-warung kecil berjualan, melainkan memperbaiki sistem distribusi dan memberantas mafia yang menguasai pasokan energi di level atas.
*Penulis adalah pegiat sosial media, aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo).
BERITA TERKAIT: