Terkadang, kita bias dengan sudut pandang HAM, karena sarat dengan kepentingan politik. 3 Juli 2013 Presiden Morsi tumbang, rakyat merayakan kemenangan di lapangan "tahrir" kebebasan, seraya menyuarakan "the people and the army are one hand", teriakan puluhan ribu rakyat Mesir itu menggemparkan dunia.
Gejolak mesir di era Morsi cukup mengkhawatirkan, kelompok IM melakukan aksi teror di mana-mana demi menjaga kekuasaan Sang Presiden, dalam keadaan yang sama ekonomi Mesir hancur mengalami krisis berkepanjangan, rakyat sengsara dan negara tidak hadir melindunginya, bahkan yang terjadi Morsi malah mengeluarkan kebijakan yang memperburuk keuangan Mesir.
Gilanya lagi 22 November 2012 Morsi mengeluarkan dekrit penghapusan kekuasaan kehakiman dan pemecatan kejaksaan agung. Dekrit tersebut mengindikasikan bahwa Morsi ingin membangun sebuah rezim kekuasaan yang absolut, otoriter dan kebal hukum.
Konon juga, di negeri antah berantah ada presiden yang menginginkan 3 periode, namun upaya itu digagalkan banyak pihak. Kiranya sama-sama ingin membangun rezim otoriter.
Berkaca pada Mesir, apakah di masa fitnah (kekacauan) baik itu kekacauan sosial atau kekacauan sebuah negara, patutkah dalam kondisi seperti itu para aparat dijatuhi hukum sebagai pelanggar HAM berat? Padahal aparat hanya menjalankan tugas dari pimpinannya.
Jika hari ini kita melihat itu pada sosok Presiden Prabowo apa yang akan kita identifikasi dari sosok Prabowo? Pelanggar HAM kah, atau penjaga stabilitas negara dan menjaga rakyat dari efek para demonstran yang sporadis.
Itu hanya bisa dijawab dengan ketulusan hati para pembaca dan apa yang kita lihat selama ini pada sosok Prabowo.
Ajaibnya Prabowo tetap gagah berdiri tegak, meski diterpa berbagai isu tentang HAM. Langkahnya yang teruji, diakui atau tidak diakui Prabowo adalah satu dari sedikit Presiden di dunia yang membentuk Kementerian HAM.
Tercatat sudah dua kali pemerintahan Indonesia yang membentuk Kementerian HAM yakni Kabinet Persatuan Nasional di era Gus Dur dan Megawati pernah membentuk Kementerian HAM yang waktu itu dipimpin oleh menteri dari Aceh, Dr. Hasballah M. Saad, dan yang kedua Kabinet Merah Putih saat ini.
Memang, yang cocok memimpin lembaga HAM adalah orang yang setiap hari bersinggungan dengan kasus HAM, dulu orang Aceh, sekarang orang Papua, ujung barat ke ujung timur, keduanya sama-sama aktivis HAM.
Indonesia adalah satu dari lima negara yang memiliki Kementerian HAM, empat di antaranya Somalia, Brasil, Pakistan, dan Selandia Baru. Dari empat negara ini, kalau kita lihat tidak ada yang seserius Prabowo dan Natalius Pigai dalam mengelola lembaga HAM.
Cita-cita Pigai ingin membangun ekosistem HAM dan menjadikan Indonesia sebagai pusat studi HAM secara internasional, perkembangan baiknya terciptanya laboratorium HAM. Pikiran ini melampaui empat negara tersebut, sangat
genuine.
Kejelian Prabowo memilih Natalius Pigai perlu kita acungi jempol, karena salah satu pelanggaran HAM yang jarang kita sadari adalah intoleransi, Pigai adalah sosok yang berdiri di tengah kaum minoritas, baik secara ras, ataupun agama. Seringkali Pigai jadi objek kekerasan HAM baik secara verbal atau non-verbal.
Dari sini kita melihat bahwa secara simbolis penunjukan Natalius Pigai sebagai Menteri HAM adalah simbol keadilan dan kesetaraan atas hak-hak yang mengikat pada seluruh umat manusia. Seperti yang dikatakan Gus Dur "perbedaan itu fitrah, dan ia harus diletakkan dalam prinsip kemanusiaan universal".
Don't look back with regret, look forward with hope. Tak perlu lagi melihat ke belakang dengan penuh penyesalan, mari kita merajut masa depan dengan berbagai harapan. Kita tidak bisa selamanya memelihara dendam dan kebencian.
Mungkin Prabowo salah, dan beliau mengakui sudah meminta maaf ke beberapa korban yang masih hidup, tapi saat itu memang Prabowo sedang menjalankan tugas, dan juga Prabowo
ngopeni para aktivis yang ia culik bahkan diberdayakan.
Bisakah kita menjadi manusia pemaaf seperti yang tersurat dalam al-Quran; Wal Ka?im?n al-ghay?a wa al-'?f?n 'an al-n?s, mampukah kita menjadi golongan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain?
Saya kira, tak ada sedikitpun niat Prabowo mencelakai rakyatnya, apalagi melakukan tindakan HAM berat. Sudah terlalu lama kita berada dalam kubangan amarah, mari kita bangun bersama untuk keadilan HAM kedepannya, cita-cita bangsa ini sangat besar.
Menteri Natalius Pigai menekankan keadilan HAM memiliki jangkauan yang sangat luas, meliputi hak atas pendidikan, pangan, kesehatan, keamanan, dan memelihara kehidupan banyak orang. Kita perlu fokus terhadap kerja-kerja HAM, karena manusia dilahirkan bersama hak-haknya, dan hak itu adalah fitrahnya.
Tidak kah kita melihat tindakan Prabowo yang baik, sehingga kesalahannya terus menutupi kebaikannya? 300 lebih TKW/TKI diselamatkan Prabowo, yang terbaru Wilfrida seorang TKW Malaysia yang dibebaskan Prabowo dari hukuman mati, juga Annisah seorang TKW yang terlantar dan terlunta-lunta di Negeri Jiran itu akhirnya dibawa pulang ke Tanah Air, dipulangkan kepada keluarganya secara terhormat oleh Presiden Prabowo.
Tidak kah kita melihat itu sebagai keadilan HAM? Ketidaksenangan kita terhadap seseorang atau suatu kaum jangan sampai menyebabkan kita berlaku tidak adil dalam memutuskan sesuatu.
Catatan akhir, kita semua bersepakat bahwa HAM memang bukan hak istimewa, melainkan hak dasar yang juga bagian dari fitrah manusia, siapa yang menentang hak asasi manusia, maka ia menentang kemanusiaannya sendiri. Mari kita berkolaborasi, gotong royong, membangun keadilan dan kesetaraan HAM dan kita akhiri ketidakadilan, kebrutalan, dan diskriminatif di negeri tercinta ini.
Penulis adalah Aktivis Nahdlatul Ulama
BERITA TERKAIT: