Sebaliknya, Natal semestinya menjadi panggilan untuk melawan ketidakadilan struktural, sebagaimana hidup Yesus mencerminkan solidaritas dengan mereka yang tertindas.
Dalam refleksi ini, saya akan menganalisis realitas tersebut melalui tiga referensi utama:
dari John Howard Yoder (1994).
Ketiga buku ini saling terkait dan memperkuat satu sama lain dalam mengungkap bagaimana iman dapat menjadi landasan perjuangan melawan ketidakadilan.
Korupsi dan Ketidakadilan: Natal Sebagai Kritik StrukturalDi Indonesia, korupsi tidak hanya melibatkan penyelewengan dana, tetapi juga menyentuh setiap aspek kehidupan: dari jabatan, pengelolaan sumber daya alam, hingga kebijakan pajak. Pada tahun 2025, kenaikan pajak direncanakan sebagai bagian dari upaya meningkatkan penerimaan negara. Namun, bagaimana kita dapat mempercayai sistem yang sering kali disusupi oleh kepentingan oligarki?
Dalam bukunya
Rich Christians in an Age of Hunger, Ronald J Sider menekankan bahwa kekayaan dan kekuasaan sering kali digunakan untuk mengeksploitasi yang lemah.
Korupsi di Indonesia adalah manifestasi dari sistem ekonomi yang lebih besar, yang memberi keuntungan kepada segelintir orang di atas penderitaan banyak pihak.
Yesus sendiri hadir di dunia pada masa kekaisaran Romawi, di mana kekuasaan dan kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir elite. Dalam
The Politics of Jesus, John Howard Yoder menunjukkan bahwa misi Yesus tidak bisa dilepaskan dari kritik terhadap struktur kuasa yang menindas.
Kehadiran Yesus di dunia adalah pernyataan bahwa Allah berpihak pada mereka yang tertindas, bahwa kerajaan Allah bertentangan dengan logika dunia yang korup. Refleksi Natal yang sejati haruslah menantang sistem yang melanggengkan ketidakadilan dan mengingatkan kita bahwa iman Kristen tidak bisa dipisahkan dari perjuangan melawan korupsi.
Dalam konteks Indonesia, refleksi Natal juga harus mempertanyakan bagaimana kebijakan pembangunan yang dibiayai dengan dana publik sering kali lebih berpihak pada elite politik daripada pada rakyat kecil. Sistem yang mengutamakan kepentingan segelintir pihak ini adalah wujud nyata dari dosa struktural yang perlu dilawan dengan keberanian iman.
Penggusuran Masyarakat Adat: Ketidakadilan yang Menghancurkan HidupProyek-proyek besar yang dilakukan atas nama pembangunan, seperti transisi energi hijau dan swasembada pangan, sering kali menggusur masyarakat adat dari ruang hidup mereka.
Ironisnya, proyek-proyek ini sering kali dibungkus dengan narasi keberlanjutan dan keadilan lingkungan. Namun, bagi masyarakat adat, tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan sumber identitas, budaya, dan spiritualitas mereka.
Howard Thurman dalam "Jesus and the Disinherited" menggambarkan bagaimana Yesus lahir dan hidup di tengah masyarakat yang secara sistematis dipinggirkan. Pengalaman orang miskin dan tertindas adalah inti dari misi Yesus.
Dalam konteks masyarakat adat Indonesia, penggusuran atas nama pembangunan mencerminkan bentuk lain dari ketidakadilan struktural yang merampas martabat manusia. Natal mengingatkan kita bahwa Yesus lahir di kandang sederhana, di pinggiran masyarakat, sebagai bentuk solidaritas Allah dengan mereka yang disingkirkan.
Refleksi Natal juga harus mendorong kita untuk menentang narasi pembangunan yang mengabaikan keberlanjutan sosial dan lingkungan. Ketika tanah adat digusur untuk proyek yang mengatasnamakan "kemajuan", kita perlu bertanya: pembangunan untuk siapa? Apakah pembangunan ini sejalan dengan nilai-nilai kerajaan Allah yang mengutamakan keadilan dan kesejahteraan semua ciptaan?
Ekonomi yang Tidak Adil: Tantangan Natal bagi Sistem KapitalismeKetimpangan ekonomi semakin terasa di tengah ketidakpastian global. PHK massal dan lesunya perekonomian menambah penderitaan rakyat kecil. Di sisi lain, segelintir elite tetap menikmati kemewahan yang berlimpah.
Dalam
Rich Christians in an Age of Hunger, Sider (1978, 2015) menegaskan bahwa ketidakadilan ekonomi bukan hanya soal distribusi yang tidak merata, tetapi juga soal struktur yang memungkinkan penindasan ekonomi berlangsung. Kekayaan yang menumpuk di tangan segelintir orang sering kali dihasilkan dari eksploitasi mereka yang tidak memiliki kuasa.
Yesus dalam
The Politics of Jesus tidak hanya berbicara tentang keselamatan individu, tetapi juga tentang transformasi sosial. Ia menantang struktur ekonomi yang mengeksploitasi dan menyerukan solidaritas radikal di antara manusia.
Natal, dalam konteks ketimpangan ekonomi, adalah pengingat bahwa kerajaan Allah mengutamakan keadilan bagi semua orang. Kita dipanggil untuk menentang sistem yang mengorbankan banyak orang demi keuntungan segelintir pihak.
Dalam konteks ini, refleksi Natal harus melampaui sekadar belas kasih kepada yang miskin. Natal menuntut tindakan nyata untuk mengubah struktur yang tidak adil, mendorong redistribusi sumber daya, dan memastikan bahwa sistem ekonomi melayani semua orang, bukan hanya segelintir elite. Perlawanan terhadap kapitalisme yang eksploitatif adalah bagian integral dari panggilan iman Kristen.
Damai Natal Bukanlah Damai SemuNarasi Natal yang sering kali berfokus pada damai sejahtera dapat menjadi bumerang jika tidak disertai dengan refleksi kritis terhadap realitas. Damai yang ditawarkan Yesus bukanlah damai semu yang mengabaikan ketidakadilan.
Sebaliknya, itu adalah damai yang aktif melawan struktur yang menindas. Thurman (1949) dalam
Jesus and the Disinherited menjelaskan bahwa Yesus menawarkan keberanian kepada mereka yang hidup di bawah bayang-bayang ketakutan, kebencian, dan rasa tidak berdaya.
Di Indonesia, damai Natal harus dilihat sebagai panggilan untuk melawan ketidakadilan struktural yang meminggirkan banyak orang. Ini berarti berbicara melawan korupsi, menolak kebijakan yang menggusur masyarakat adat, dan menantang sistem ekonomi yang tidak adil.
Damai Natal tidak dapat dipisahkan dari perjuangan untuk keadilan. Dalam perlawanan inilah, kita menemukan makna sejati dari damai sejahtera yang ditawarkan Yesus.
Natal adalah perayaan kehadiran Allah di dunia, bukan di istana mewah, tetapi di kandang yang sederhana. Ini adalah simbol perlawanan terhadap sistem yang mengeksklusi mereka yang lemah dan tidak berdaya. Dalam konteks Indonesia, Natal mengundang kita untuk merenungkan bagaimana kita bisa menjadi bagian dari perjuangan melawan ketidakadilan.
Jika kita hanya merayakan Natal dengan lagu-lagu dan dekorasi yang indah tanpa memperhatikan mereka yang tertindas, kita kehilangan esensi dari Natal itu sendiri. Natal adalah panggilan untuk bertindak, untuk membawa kabar baik kepada yang miskin, dan untuk melawan sistem yang menindas.
Sebagaimana Yesus menunjukkan solidaritas dengan mereka yang disingkirkan, kita pun dipanggil untuk menunjukkan keberpihakan yang sama. Korupsi, penggusuran masyarakat adat, dan ketimpangan ekonomi adalah realitas yang harus dihadapi dengan keberanian dan iman.
Natal mengingatkan kita bahwa damai yang sejati hanya dapat tercapai ketika keadilan ditegakkan. Inilah pesan Natal yang kokoh, relevan, dan mendalam di tengah dunia yang penuh ketidakadilan.
Refleksi ini tidak hanya menuntut kontemplasi, tetapi juga komitmen nyata untuk memperjuangkan dunia yang lebih adil, sebagaimana yang dicontohkan oleh Yesus Kristus.
Penulis merupakan Peneliti di SHEEP Indonesia Institute
BERITA TERKAIT: