Ibarat mengurai benang kusut, pelurusan terhadap akar masalah, siapa duluan yang salah, sepertinya sulit dimulai dari mana. Sebagai anak, Lolly kecil sudah dihadapkan dengan perceraian antara ayah dan ibunya. Sebagai ibu, NM merasanya dirinya dituntut untuk menjadi ibu yang bertanggung jawab terhadap pendidikan dan keselamatan hidup anaknya. Ini semua terjadi, tentu bermula dari hancurnya keluarga ditandai dengan masa perceraian antara NM dengan mantan suaminya (ayah Lolly).
Perceraian tentu saja berdampak pada perkembangan psikologis Lolly. Sehingga, masalah Lolly tentu sangat kompleks. Saya adalah orang dalam posisi yang diam, mengamati, hingga akhirnya tergerak untuk menulis ini. Mempertanyakan, bagaimana masalah keluarga antara anak dan ibu ini begitu dahsyatnya menjadi konsumsi publik? Mengapa seorang anak (Lolly) begitu emosional, meledak-ledak menyampaikan kemarahannya kepada ibunya dengan sebutan dan kata-kata yang sangat tidak pantas?
Di mana fungsi institusi keluarga bagi ibu dan anak yang berkonflik? Bagaimana seharusnya pola asuh dilakukan oleh keluarga di era yang sangat terbuka? Bagaimana masalah keluarga sedemikian rupa dapat menjadi konsumsi publik? Bagaimana seharusnya agar tercipta kelekatan dan kenyaman emosional antara orang tua dan anak agar tidak terjadi konflik?
Fungsi KeluargaDalam buku “Sosiologi Keluarga” (William G. Goode, 2004) mendefinisikan keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang menurut tipenya terbagi atas dua, yaitu keluarga batih yang merupakan satuan keluarga terkecil yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak (nuclear family) dan keluarga luas (extended family). Idealnya, hubungan antara anggota keluarga terjalin dengan baik karena mereka disatukan oleh ikatan darah, ikatan batin, dan ikatan tujuan hidup yang sama.
Menurut Parsons (1951, dalam Rustiana, 2019), keluarga memiliki dua fungsi; Pertama, keluarga sebagai tempat sosialisasi yang utama bagi anak-anak dan tempat mereka dilahirkan; kedua, tempat stabilitas kepribadian remaja atau orang dewasa.
Pendapat yang sama disampaikan oleh Koentjaraningrat (1983) bahwa fungsi utama keluarga adalah individu memperoleh bantuan utama berupa keamanan dan pengasuhan karena individu belum berdaya menghadapi lingkungan.
Selain fungsi inti tersebut, banyak ahli menyebutkan berbagai fungsi keluarga. Di antaranya adalah sebagaimana dikutip oleh Rustiana (2019), Jalaludin (1986) menyebutkan tujuh fungsi keluarga. Pertama fungsi ekonomi, yaitu keluarga sebagai satu unit kesatuan saling bersinergi dalam menciptakan kemandirian ekonomi keluarga. Basisnya adalah koordinasi dalam keluarga dalam mendapatkan dan mencukupi ekonomi untuk menghidupi sesame anggota keluarga.
Dua, fungsi sosial yaitu keluarga memberi status dan prestise kepada masing-masing anggotanya. Tiga, fungsi Pendidikan yaitu keluarga berfungsi untuk memberikan pendidikan kepada anak mulai dari awal pertumbuhan hingga terbentuknya pribadi anak.
Empat fungsi proyektif, maksudnya keluarga berfungsi untuk melindungi kemungkinan ancaman terjadi pada anggota keluarga, seperti fisik, ekonomi dan psikososial. Lima fungsi religious, bahwa keluarga berperan dalam memberi penanaman nilai keagamaan dan pengamalannya. Dan dua terakhir, fungsi rekreatif di mana keluarga sebagai pusat wahana rekreasi dan hiburan bagi setiap anggotanya serta fungsi afeksi, bahwa keluarga berperan dalam memberikan dan saling mengekspresikan cinta, kasih serta sayang.
Namun, seperti dalam kasus Lolly dan NM, fungsi keluarga bagi keduanya tidak berjalan sebagaimana mestinya berdasarkan komponen tersebut. Sebagai keluarga, ibu dan anak ini sudah berjuang menjalani kehidupan mereka tanpa kehadiran sosok ayah dalam keluarga.
Akibat perceraian orang tua, tentu dampaknya sangat serius bagi perkembangan emosional anak dan kematangan emosional seorang ibu, yang berperan ganda dalam rumah tangga, sebagai ibu dan pada saat bersamaan juga berperan menjadi ayah bagi anaknya. Adanya perceraian dengan sendirinya akan mempengaruhi fungsi keluarga. Fungsi keluarga akan mengalami gangguan, masing-masing anggota keluarga harus beradaptasi untuk menyesuaikan diri dengan situasi yang baru. Istri harus terpisah dengan suami dalam mengurus anak-anaknya, begitupun anak, harus tumbuh dan berkembang tanpa kehadiran sosok ayah dalam hidupnya.
Banyak penelitian menemukan bahwa perceraian selalu berdampak buruk bagi anak-anak. Sehingga anak yang orang tuanya bercerai sering hidup menderita, khususnya dalam hal keuangan dan masalah emosional. Masalah emosional ditandai dengan hilangnya rasa aman, munculnya gangguan kepercayaan diri, dan sebagainya.
Perceraian membawa dampak sangat kompleks terhadap anak. Seperti prestasi akademik/sekolah yang rendah, kenakalan dan agresivitas yang tinggi, tingkah laku yang maladaptive, depresi dan cemas, ketrampilan interpersonal yang rendah, dan masalah dalam hubungan heteroseksual yang dapat merusak sendi-sendi dalam keluarga (E. Karim, 1999 dalam Rustiana, 2019).
Kelekatan dan Pola PengasuhanKasus Lolly dan ibunya, NM, artis yang kerap membuat aksi kontroversial di masyarakat, menyita perhatian Sebagian public di tengah riuhnya tebar aksi yang dilakukan oleh para calon pemimpin daerah di Pilkada bulan Oktober 2024 mendatang. Ada yang marah memaki Lolly, ada yang menyalahkan NM karena dinilai salah dalam memberikan pengasuhan selama ini.
Secara psikologis, usia Lolly adalah masih anak-anak (transisi dari remaja menuju dewasa). Semakin besar anak, maka dirinya akan semakin ingin menunjukkan kemandiriannya dan menunjukkan bahwa ia mampu. Ia ingin mengatur hidupnya sendiri, ingin bebas menentukan sikap, dan menentukan keputusan untuk hidupnya. Entah itu keputusan dalam hal pendidikan, pertemanan, hingga pilihan orang terdekat dalam kehidupannya (pacar).
Dalam masa ini, sebaiknya orang tua, terutama ibu, harus dapat mendengarkan dan memahami apa yang diinginkan oleh anak. Orang tua, sebaiknya tidak memaksakan kehendaknya untuk semua hal dilakukan dan disetujui anak. Jika anak kebetulan tidak dapat menuruti apa kemauannya, sebaiknya sebagai orang tua adalah mendiskusikan jalan tengah dan merangkul baik-baik. Dengan cara empat mata, berdua, agar saling mendengarkan alasan masing-masing. Jika tidak bisa secara empat mata karena saling berjauhan dari rumah, bisa dengan saling telpon suara atau video. Teknologi komunikasi sudah banyak memberikan kemudahan bagi anggota keluarga untuk saling berkomunikasi secara intim jika mereka kebetulan tidak hidup satu rumah. Bukan sebaliknya, menyalahkan anak, menuduh anak, dan bahkan mengekspos ke publik.
Terdapat ragam pola pengasuhan yang berbeda antara keluarga satu dengan keluarga lain di masyarakat. Yang paling umum disampaikan oleh para tokoh adalah terdapat empat tipe pola asuh dalam keluarga. Yaitu: otoriter, demokratis, permisif, dan lalai. Tidak ada paksaan bagi keluarga dalam masyarakat untuk memilih dan menganut jenis pola asuh yang seperti apa yang dianggap tepat untuk diterapkan oleh suatu keluarga. Karena masing-masing orang tua memiliki pertimbangan dan kondisi yang berbeda-beda yang memengaruhi bagaimana mengasuh anak-anak mereka. Apakah dengan pendekatan otoriter melalui aturan ketat yang anak-anak harus mematuhinya; apakah dengan pendekatan demokratis, di mana orang tua memberlakukan komunikasi yang responsive dan partisipatif; apakah dengan pendekatan yang lebih permisif; dan terakhir apakah dengan pendekatan “cuek”, orang tua tidak menerapkan apa-apa bahkan cenderung lalai dan tidak peduli terhadap anak.
Lebih lanjut, untuk memahami kasus Lolly, merujuk teori kelekatan (attachment theory), yang dikembangkan oleh John Bowlby dan Mary Ainsworth, hubungan antara anak dan orang tua (pengasuhnya) sejak kecil akan membentuk dasar keamanan dan keterikatan yang dapat memengaruhi perkembangan anak. Ikatan awal ini diyakini memiliki dampak yang signifikan dan berkelanjutan sepanjang hidup anak. Lebih lanjut dari teori ini, terdapat empat tipe kelekatan, yaitu: kelekatan aman (secure attachment), kelekatan cemas-prihatin (anxious-preocupied), kelekatan menghindar (avoidant attachment), dan kelekatan tidak konsisten (disorganized attachment).
Dari keempat jenis kelekatan, tipe kelekatan aman merupakan yang paling ideal, di mana terjadi saling tercipta rasa aman dan nyaman antara anak dan orang tua. Kedua akan saling percaya diri, dan saling memberi kepercayaan satu sama lain. Tidak ada saling memaksa, karena keduanya bisa saling bebas mengutarakan keinginannya tanpa harus ada saling memaksakan kehendak. Karena keamanan dan kenyamanan emosional adalah kunci dari lekatnya hubungan antara anak dan orang tua, ibu.
Pada akhirnya, keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan seseorang. Manusia pertama kali memperhatikan keinginan orang lain. Belajar, bekerja sama dan belajar membantu orang lain dalam keluarga. Pengalaman berinteraksi dalam keluarga akan menentukan tingkah laku dalam kehidupan sosial di luar keluarga. Dalam adagium Arab disebutkan bahwa ibu, adalah sekolah pertama bagi anak (al um madrosatul ula) bahkan sebagai sekolah terbesar bagi anak (al um madrosatul qubro). Jadi, anak akan mengikuti orang tuanya, ayahnya dan ibunya baik dalam berperilaku, bertindak dan berkata-kata.
Semoga seiring dengan bergulirnya masalah antara Lolly dan NM yang masing-masing sudah melibatkan pihak lain dan kepolisian, kasus ini segera berakhir dengan baik. Keduanya kembali menjalin hubungan yang lekat yang saling memberikan kenyamanan, dan saling memberi dukungan. Jangan sampai seorang anak, lebih merasa nyaman bersama orang lain dibanding dengan ibunya.
Dan bagi kita semua, mari jadikan kasus ini sebagai pembelajaran untuk memperbaiki pola pengasuhan kita sebagai orang tua bagi anak-anak kita. Kepada anak-anak yang seusia dengan Lolly, atau yang mungkin memiliki kesamaan kasus seperti situasi yang Lolly hadapi saat ini, mari jadikan ini sebagai pembelajaran dalam hal mengelola emosi, semarah apapun kepada seorang ibu, tidak baik jika anak mengumbar makian kepada ibu di publik.
Terakhir kepada masyarakat umum lainnya, mari hentikan untuk menonton konflik keluarga Lolly dan NM, hentikan turut menghujat anaknya atau menghujat ibunya. Karena hanya mereka sebenarnya yang paling tahu masalah mereka berdua, dan merekalah yang tahu bagaimana menyelesaikannya.
[***]
*Penulis adalah Dosen Program Studi Kesejahteraan Sosial Universitas Islam Negeri Jakarta.
BERITA TERKAIT: