Karena itu pulalah, kita pun dapat “mendengar” suara Tuhan melalui kicauan burung, desauan angin, perubahan cuaca, jeritan, pintu gerbang yang roboh, dan lain sebagainya.
Kita pun dapat “melantunkan pujian kepada Tuhan bersama segala ciptaan-Nya” seperti Paternus Nicholas Johannes Cornelius Geise. Rahib Katolik asal Belanda itu, ketika diangkat menjadi pemimpin Prefektur Apostolik Sukabumi (cikal bakal Keuskupan Bogor) pada 17 Desember 1948, mengeluarkan semboyan, “Pujilah Tuhan Hai Gunung-Gemunung.”
Bila semboyan di atas keluar dari mulut seorang rahib (pendeta) Katolik yang memilih tarekat (ordo) Fransiskan, sesungguhnya tidak mengherankan. Fransiskus, pendiri ordo ini, karena lahir dari keluarga kaya dan bangsawan, sempat hidup glamor (hedonis), namun berbalik 180 derajat menjadi hidup dalam kemiskinan (menjalani hidup miskin bersama kaum papa dan terpinggirkan).
Tidak hanya mencintai
wong cilik (yang serba memiliki sedikit dalam segala aspek kehidupan), Fransiskus dikenal sebagai pencinta damai dan juru damai yang ulung. Ia pun terkenal sebagai pencinta lingkungan yang gigih memperjuangkan keutuhan ciptaan Tuhan.
Karena itu pula, Fransiskus, sebagai pengkhotbah ulung, berkhotbah bukan hanya kepada manusia, tetapi juga kepada tumbuhan dan hewan.
Peduli pada Suara SemestaPaus Fransiskus adalah contoh pemimpin dunia yang “belajar” dari Fransiskus dari Asisi yang hidup pada 1181-1226 dan untuk itulah beliau mengambil nama itu begitu ditahbiskan sebagai Paus pada 19 Maret 2013 silam.
Bagaimana dengan Jokowi dan kita? Tidak perlu jauh-jauh, Jokowi hanya perlu “mendengar” suara di Tanah Air yang sudah riuh terdengar di awal tahun ini melalui sejumlah guru besar UGM, UI, dan sejumlah akademisi dari berbagai perguruan tinggi plus aktivis, budayawan, ilmuwan, dan ulama, termasuk dari Kardinal Mgr Ignatius Suharyo.
Lantaran ingatan kita yang pendek, kita dengar saja ucapan orang terdekat kita. Untuk Jokowi, sebagai contoh, simaklah pernyataan Bahlil tentang “Raja Jawa” ketika berbicara di forum Musyawarah Nasional XI Partai Golkar di Jakarta Convention Center, Jakarta, Rabu, 21 Agustus 2024 dan ucapan Prabowo tentang pihak yang haus kekuasaan dalam penutupan Kongres PAN VI, di Hotel Kempinski, Jakarta Pusat pada Sabtu, 24 Agustus 2024.
Jokowi dan kita pun tidak salah memperhatikan video yang mirip Bahlil dengan sebotol whisky yang harganya lebih dari Rp30 juta dan video Kaesang dan istrinya Erina yang disebut-sebut berangkat ke California, Amerika Serikat dengan jet pribadi Gulfstream yang sewanya mencapai Rp250 juta per jam dan roti seharga Rp400 ribu.
Perhatikan juga suara ketika nama Bobby dan Kahiyang disebut dengan istilah “Blok Medan” dalam sidang dengan terdakwa Abdul Ghani Kasuba di Pengadilan Negeri Ternate pada 31 Juli 2024.
Perhatikan juga suara hakim MK melalui Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024. Telaah juga suara mayoritas DPR yang semula hendak merevisi UU Pilkada pascakedua putusan dikeluarkan MK 20/8/2024 yang lalu.
Revisi yang dibuat DPR dalam sehari yang semula untuk membatalkan kedua putusan MK tersebut, akhirnya DPR sendiri yang membatalkannya untuk mendengarkan suara semesta ketimbang memenuhi ambisi Jokowi.
Simak baik-baik “perubahan sikap” mendadak dari Bahlil lewat pernyataannya setelah menjadi Ketua Umum Partai Golkar dan suara-suara akademisi partai-partai KIM Plus, politisi yang mulai “cetho welo-welo” dan berani menyebut nama, dan lain-lain.
Bila ditilik baik-baik, Prabowo pun sudah berubah, mulai dari pernyataannya soal IKN hingga tidak kuorumnya kehadiran anggota DPR dalam Rapat Paripurna, 22 Agustus 2024 dan kemarin (25/8/2024) DPR secara resmi menyetujui draf revisi PKPU Pilkada yang memuat putusan MK.
Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan “kita” tentu termasuk Prabowo. Sekadar mengingatkan, 20 Maret 2024 yang lalu di kediaman sendiri Prabowo meminta kita agar tidak mau menari di gendang orang lain. Prabowo tentu harus sadar betul nasihatnya itu juga berlaku untuk diri sendiri.
Yang paling penting dan genting, Prabowo harus mencermati dengan serius “Suara Semesta” dalam 55 hari ke depan. Kurun waktu ini bisa pendek, bisa juga panjang. Bukan hanya bagi Jokowi, tetapi juga untuk Prabowo.
Dalam kurun 55 hari ini sudah bukan waktunya lagi Prabowo menjadi “perpanjangan lidah” Jokowi dan “menari di gendang yang dimainkan Jokowi”.
Karena itu, Prabowo (dan KIM Plus) tidak perlu ikut membangun dinasti Jokowi, seraya menghalang-halangi peluang Anies Baswedan, entah sebagai Gubernur, entah itu sebagai Presiden. Biarkanlah Semesta (baca: Tuhan) yang menentukan takdir setiap orang. Tidak ada perlunya merebut takdir orang.
Sebagai penutup, bila ditilik dengan teliti, tulisan ini sejatinya memuat pesan moral agar Prabowo sebagai mantan orang nomor 1 Kopassus tidak perlu takut pada bayang-bayang orang lain, apalagi yang sudah menjadi bebek lumpuh.
Artinya, ketika Prabowo masih bersikap seperti Presiden terpilih dan tidak berani “cetho welo-welo” seperti hakim MK yang sudah melunasi utangnya melalui Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024, Prabowo berarti tuli di saat “Semesta sudah berbicara terang-benderang”. Bila seperti itu, rupanya Prabowo sudah puas dengan sebutan “Presiden Terpilih”.
Penulis adalah Dosen Universitas Katolik Santo Thomas Medan
BERITA TERKAIT: