Kemudian pada 6/10/2016, Buni Yani mengunggah video rekaman pidato itu di akun Facebooknya dengan judul
Penistaan terhadap Agama? dengan transkripsi pidato Ahok namun memotong kata 'pakai'.
Bagian penting dari pidato Ahok sejatinya berbunyi, "
Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, nggak pilih saya karena dibohongi (orang) pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak Bapak Ibu. Kalau Bapak Ibu merasa nggak bisa pilih karena takut masuk neraka, dibodohin, begitu, oh nggak apa-apa, karena ini panggilan pribadi Bapak Ibu."
Salah satu politisi yang kencang merespons pidato Ahok ini adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Pada 2/11/2016, SBY antara lain mengatakan, "
Kalau ingin negara ini tidak terbakar oleh amarah para penuntut keadilan, Pak Ahok mesti diproses secara hukum. Jangan sampai beliau dianggap kebal hukum. Kalau (pendemo) sama sekali tidak didengar, diabaikan, sampai lebaran kuda masih ada unjuk rasa itu. Saya kira pasangan Agus-Sylvi, pasangan Anies-Sandi tidak bangga kalau Pak Ahok tidak bisa bersaing karena WO (walk out). Jangan, biarkan ruang dan kesempatan berkompetisi secara sehat."
Hampir sebulan sebelum pernyataan SBY di atas,
Liputan6.com 7/10/2016 melaporkan, SBY menelepon Rais Aam PBNU, KH Ma'ruf Amin, ketika putranya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) datang ke Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama untuk meminta restu dalam menghadapi Pilkada DKI Jakarta 2017. Ma'ruf memang tidak menyebut apa isi pembicaraan dengan SBY melalui telepon itu.
Sebagaimana diketahui, sidang lanjutan Ahok pada 31/1/2017 menghadirkan saksi Ma'ruf Amin (saat itu menjabat Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia/MUI).
Dalam sidang itu salah seorang kuasa hukum Ahok, Humphrey Djemat, mempertanyakan soal komunikasi via telepon antara Ma'ruf Amin dengan SBY selaku Ketua Umum Partai Demokrat.
Menurut Humphrey, SBY mempertanyakan kepada Ma'ruf soal permintaan pertemuan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta Agus-Sylvi di PBNU dan juga seruan agar MUI segera mengeluarkan fatwa sehubungan dengan kasus Ahok.
Meski tidak mengelak adanya percakapan dirinya dan Ma'ruf pada 7/10/2016 ketika AHY dan Sylviana Murni menemui pemimpin PBNU untuk minta restu, tetapi SBY mempertanyakan pernyataan kuasa hukum Ahok soal bukti transkrip percakapan itu.
Dalam konferensi pers di Wisma Proklamasi Jakarta, 1/2/2017, SBY mengatakan, jika pernyataan itu benar maka merupakan suatu kejahatan karena telah melakukan penyadapan ilegal. Tiga belas kata terakhir dari pernyataan SBY ini perlu digarisbawahi.
Pidato Ahok di Kepulauan Seribu Ibarat HandballPenulis tidak bisa memastikan apakah ingatan warga bangsa kita pada umumnya pendek atau tidak. Penulis hanya bisa memastikan bahwa ingatan Ahok itu panjang. Bahkan ingatan Ahok pada orang yang paling beruntung atas fatwa MUI benar-benar terpatri.
Memang tidak ada yang salah dengan itu. Yang tidak adil itu jika orang terpaku dan terpatri pada peristiwa hilir dan dampaknya, seraya melupakan rangkaian peristiwa yang berawal dari hulunya dan sejumlah tokoh sentral yang mencoba mengambil keuntungan darinya.
Bila Ahok menyediakan waktunya untuk merenung dalam-dalam dan berintrospeksi, mungkin dendamnya pada seseorang tidak separah ini. Ahok tampaknya perlu menonton sepakbola yang menjadi tontonan olahraga (
sport) yang terfavorit di dunia.
Sebagai bagian dari
sport, salah satu kata kunci yang menjadi pegangan setiap pihak adalah sportivitas yang merupakan turunan dari kata “sport” tersebut. Meski ada nilai sportivitas dalam permainan sepakbola dan harus dijunjung tinggi, setiap kesebelasan dibenarkan memasang jebakan, termasuk perangkap
offside.
Offside sejatinya bertujuan menggagalkan lawan memasukkan bola ke gawang atau membuat wasit tidak mengesahkan gol yang sudah masuk. Namun, offside bukan pelanggaran.
Beda dengan
offside, handball, disengaja atau tidak, merupakan pelanggaran. Bila dilakukan di area penalti pemain yang melakukan pelanggaran, hukuman untuk
handball ini adalah tendangan penalti. Dalam kedudukan seri di menit-menit terakhir,
handball di kotak penalti membuka peluang besar bagi kesebelasan yang memperolehnya memenangkan pertandingan.
Pidato Ahok di Kepulauan Seribu sesungguhnya serupa dengan peristiwa handball dalam sepakbola. Meski dipastikan Ahok melakukan
handball secara tidak sengaja, sedari awal Ahok dan para pendukungnya harus sportif dan legowo jika MUI kemudian mengeluarkan fatwa penistaan agama, terlepas apakah itu terjadi karena permintaan pihak lawan atau tidak.
Dari sisi waktu, Ahok melakukan
handball di Kepulauan Seribu lebih dari empat setengah bulan sebelum Pemilihan Umum DKI Jakarta 2017 putaran pertama.
Karena popularitas dan kinerjanya yang dipersepsikan baik, Ahok-Djarot mengalahkan Anies-Sandi dengan selisih 3,04 persen dan AHY-Sylvi dengan selisih hampir 26 persen. Namun di pertandingan final (putaran kedua), Anies-Sandi mengalahkan Ahok-Djarot secara telak dengan selisih mendekati 18 persen.
Mungkin lantaran kalah telak, Ahok tidak mudah melupakan kekalahan ini. Ingatan Ahok pada kekalahan ini semakin terpatri karena dalam pidato perdananya usai dilantik 16/10/2017 Anies dianggap
offside lantaran menggunakan kata “pribumi”.
Walau Anies sudah memberikan klarifikasi, sepertinya di mata Ahok, Anies tetap bersalah dan tak termaafkan. Dari segi sportivitas, meskipun Anies
offside, Anies tidak melakukan pelanggaran ketika menggunakan kata “pribumi” yang disandingkan dengan kata “kolonialisme” “dulu”, dan “merdeka”.
Penulis menduga, saat menggunakan kata “pribumi”, Anies tidak tahu soal adanya Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi. Kalaupun Anies tahu, minimal Anies tidak ingat dengan instruksi Presiden Habibie tersebut.
Kembali ke perihal sportivitas. Ahok jelas tidak sportif bila mematri dalam ingatannya kekalahan telaknya, namun dengan mudah melupakan kesalahan orang yang dulu dia duga memesan fatwa kepada MUI untuk memenangkan pasangan calon (paslon) tertentu.
Kalaupun benar tidak menghendaki pendiskualifikasian (WO-nya) Ahok-Djarot, orang tersebut jelas berharap putaran kedua bakal mengikutsertakan paslon dukungannya versus paslon Ahok-Djarot. Mengapa?
Tampaknya yang bersangkutan mengacu pada hasil konvensi Partai Demokrat yang menempatkan Anies pada peringkat kelima jauh di bawah Dahlan Iskan yang elektabilitasnya berada di posisi teratas dari 11 peserta konvensi.
Sekadar mengingatkan, ada 3 lembaga survei yang digunakan menakar elektabilitas peserta konvensi itu, yakni Lembaga Survei Indonesia, dan MarkPlus, dan Populi Center. Survei yang dilakukan pada Januari dan Mei 2014 tersebut menghasilkan angka rata-rata elektabilitas Dahlan Iskan 18,6 persen dan Anies 2,3 persen.
Hasil lembaga survei nyatanya tidak dapat dijadikan acuan. Yang jelas, yang paling diuntungkan dari
handball-nya Ahok adalah pasangan Anies-Sandi tanpa mengesampingkan sejumlah hal yang dilakukan Tim Pemenangan Anies-Sandi kemudian.
Terpulang kepada kita, apakah fair dan sportif ketika masih ingat terus dan membuat kita ikut-ikutan menjegal Anies dan menjadi abai pada pembegal demokrasi dan pembangun dinasti secara malu-malu dan terang-terangan?
Penulis adalah Pemerhati Etika dan Dosen Universitas Katolik Santo Thomas Medan
BERITA TERKAIT: